Jakarta (ANTARA) - London Book Fair (LBF) 2019 yang memberi kesempatan Indonesia sebagai Negeri Fokus Pasar telah usai, dengan hasil yang cukup menggembirakan.

Dalam ajang transaksi hak penerbitan dan penerjemahan itu, Indonesia telah berhasil menjual 23 hak cipta buku karya penulis Indonesia dari sejumlah penerbit domestik.

Di luar penjualan hak cipta buku itu, sejumlah distributor di Amerika, Inggris dan negara-negara Uni Eropa juga siap memasarkan buku-buku Indonesia yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Bukan cuma subsektor penerbitan, di subsektor ekonomi kreatif lain, seperti film animasi, dalam hal ini film “Battle of Surabaya”, berhasil dipasarkan lewat LBF 2019. Toko daring terkemuka Amazon.com siap memasarkan secara global film garapan Aryanto Yuniawan itu.

Keberhasilan itu tentu disertai dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Pemerintah mengajak dan membiayai sebagian besar dari sekitar 100 delegasi berbagai kalangan, yakni penulis, kreator game, chef, pemusik, pendukung pameran, perancang mode, arsitek, dan jurnalis.

Itu sebabnya, Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf mengatakan bahwa peran pemerintah di masa mendatang harus semakin berkurang. Artinya, LBF ke depan harus menjadi ajang bagi para pebisnis Indonesia subsektor penerbitan untuk bertransaksi hak cipta buku dengan pebisnis perbukuan internasional.

Dengan demikian, pemerintah tak perlu lagi menyewa paviliun atau stan pameran untuk dijadikan ajang pameran buku-buku dari penerbit partikelir di Inonesia.

Untuk memenuhi harapan Kepala Bekraf itu, salah satu yang perlu diwujudkan adalah lahirnya karya-karya penulis Indonesia berkualitas internasional. Setidaknya, novelis Eka Kurniawan sudah membuktikan.

Tanpa harus diundang oleh pemerintah untuk ikut pameran dalam LBF 2019, karya-karya Eka sudah dibeli hak penerbitan dan penerjemahannya oleh penerbit luar negeri.

Diharapkan penulis-penulis lain seperti Eka, tak perlu lagi dibantu pemerintah untuk mengglobalkan nama mereka di mata penerbit internasional.

Mempromosikan produk ekonomi kreatif Indonesia di mata konsumen internasional saat ini memang menjadi salah satu misi Bekraf yang dibentuk di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Sektor ekonomi kreatif akan menjadi sumber kekuatan Indonesia di masa depan seiring dengan semakin dikenalnya karya-karya kreatif Indonesia oleh dunia internasional.

“Ekonomi kreatif dari subsektor penerbitan selama ini menyumbang secara signifikan sebagai satu dari subsektor ekonomi kreatif Indonesia,” kata Triawan.

Selama perhelatan LBF 2019, sejumlah penulis Indonesia diberi panggung berbicara di hadapan publik London melalui sesi percakapan tentang proses kreatif mereka dalam tajuk 17.000 Islands of Imagination: Indonesian Literature Today.

Dalam acara yang diselenggarakan di Knowledge Centre, British Library yang dihadiri ratusan orang dari komunitas internasional itu, Triawan mengatakan bahwa dengan makin dikenalnya karya-karya kreatif penulis Indonesia oleh pembaca dunia, sumbangan subsektor penerbitan akan semakin besar.

Triawan menegaskan pemerintah memiliki komitmen untuk mengembangkan ekonomi kreatif, dalam hal ini subsektor penerbitan, dengan kolaborasi bersama institusi lain, seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dewi Lestari, satu dari tiga penulis buku yang tampil di British Library dalam rangka LBF 2019 itu, mengatakan sejak kehadiran Indonesia sebagai tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015, buku-buku karya penulis Indonesia semakin dibaca oleh publik dunia.

"Penerjemahan karya-karya kreatif seperti novel ke bahasa asing telah diperbanyak dan hal itu makin membuat penulis Indonesia mendunia," kata penulis Filosofi Kopi itu.

Dewi optimistis bahwa dalam empat atau lima tahun ke depan, perkembangan yang positif dalam dunia perbukuan akan terjadi dengan semakin banyaknya buku-buku Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa asing.

Selain Dewi, yang tampil berbicara juga malam itu adalah penulis buku perjalanan Agustinus Wibowo dan pengarang yang juga esais Seno Gumira Ajidarma.

Ketiga penulis itu memaparkan kredo kepenulisan dan perspektif mereka tentang identitas dan kemajemukan Indonesia yang membingkai mereka sebagai pencipta karya-karya kreatif.


Dalam acara yang dipandu Louise Doughty, penulis fiksi dan nonfiksi berbahasa Inggris itu, Seno mengatakan bahwa bahasa Indonesia telah membebaskannya dari situasi yang mengungkungnya.

“Sebagai Muslim, saya tak bisa berbahasa Arab,” ujarnya.


Agustinus Wibowo menceritakan pengalaman hidupnya yang menimbulkan pertanyaan eksistensial tentang makna identitas diri dan arti rumah yang sejati. Baginya, rumah yang menjadi tempat tinggal identitas adalah keadaan dalam pikiran.

Agustinus yang beretnis Tionghoa itu merasa menemukan identitasnya lewat berbagai perjalanan yang ditempuhnya, di berbagai kawasan Asia, seperti Afghanistan, India, dan Nepal.


Dalam LBF 2019, ketiga penulis karya-karya kreatif itu menjadi bagian dari 12 penulis yang diundang untuk berbicara dan memamerkan karya-karya mereka.

Bekraf berkolaborasi dengan Kementerian Pendidikan dan Komite Buku Nasional didukung British Council dan pelaku ekonomi kreatif mengemas LBF 2019 dalam berbagai ajang pameran tak cuma buku-buku tapi juga karya kreatif dalam bentuk kreasi permainan, karya grafis, arsitektur, mode busana, dan kuliner.

Di samping acara-acara diskusi di Olympia, London, yang menghadirkan ratusan penerbit dari 135 negara, dan British Library, para penulis, ilustrator dan kreator game Indonesia, umumnya mereka yang masih di bawah usia 40 tahun, juga tampil berbicara di Studio 249 London, SOAS Universitas London.

Para penulis seperti Nirwan Dewanto, Intan Paramaditha, Leila S. Chudori, dan Dewi Lestari dalam kesempatan di LBF 2019 itu juga melakukan percakapan dengan novelis, penulis, atau jurnalis Inggris sebagai pewawancara.

Mereka, para penulis Indonesia itu, menyuarakan diri mereka dan Indonesia untuk publik internasional. Mereka adalah para pengharum keindonesiaan. Para kreator itu jelas bukan beban ketika negara membiayai mereka untuk tampil di LBF 2019.

Tapi ada saatnya, ketika peran pemerintah mengecil dengan memberikan dunia bisnis penerbitan berperan lebih besar, para penulis itu sepatutnya hadir di pentas global dengan pembiayaan dari penerbit yang memublikasikan karya-karya mereka.

Begitulah yang ideal, yang dilakukan oleh penerbit-penerbit kelas dunia yang mempromosikan para penulis mereka. Begitu pulalah yang diharapkan Kepala Bekraf Triawan Munaf.

Biarlah pemerintah berperan "tut wuri handayani", mendorong dari belakang kekuatan bisnis penerbitan swasta untuk tampil ke depan, dengan peran yang semakin besar. 


Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019