Samarinda (ANTARA) - Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) koridor orang utan liar di Wehea-Kelay, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur berupaya menjadi model dalam penyelamatan orang utan dan habitatnya.

"Keberhasilan KEE Wehea-Kelay saat ini adalah terwujudnya basis data potensi populasi orang utan dan keanekaragaman hayati lain. Data ini yang akan dijadikan rujukan penyusunan Rencana Aksi Forum KEE 2019-2021," ujar Manajer Kemitraan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Edy Sudiono di Samarinda, Jumat.

Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) koridor orang utan liar di Wehea-Kelay, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur, memfokuskan kegiatan  pada tiga aktivitas, yakni mengutamakan pengelolaan terbaik, menjaga fungsi lindung, dan pengelolaan kolaboratif skala bentang alam.

KEE Wehea-Kelay diperkuat oleh Surat Keputusan Gubernur yang dikeluarkan pada 2016 lalu tentang forum pengelolaan KEE, sehingga dalam kegiatannya lebih fokus ke forum kolaboratif untuk pengelolaan habitat orang utan berbasis bentang alam secara lestari.

Fokus kerja sama dalam pengelolaan ini tentu untuk mempermudah penanganannya, apalagi kesepakatan para pihak sudah dibangun di tingkat tapak dengan bahasa yang sama, yaitu perlindungan orang utan secara kolaboratif, ujar dia.

Ia melanjutkan, berkat kesamaan visi tersebut, maka para pihak yang berada di bentang alam Wehea - Kelay, yakni pemegang konsesi hutan alam, pemegang konsesi hutan tanaman industri, pemegang konsesi kelapa sawit, masyarakat adat Wehea, Pemerintah Kutai Timur, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Pusat dan YKAN, sepakat mengelola habitat secara bersama-sama dengan prinsip berkelanjutan.

YKAN adalah organisasi konservasi yang bermitra dengan pemerintah, masyarakat dan sektor swasta selama lebih dari 25 tahun untuk perlindungan hayati, pengelolaan sumber daya alam dan perubahan iklim demi kepentingan masyarakat dan alam.

Prinsip KEE adalah pengelolaan ekosistem penting di luar kawasan konservasi. Hal ini tentu berpotensi menimbulkan gesekan dengan para pihak yang berkepentingan dalam kawasan esensial tersebut, ujarnya.

Untuk itu, menurut Edy, hal utama yang perlu digarisbawahi dalam pembentukan KEE adalah mencari jawaban dari tiga pertanyaan kunci, yakni pertanyaan yang harus diselesaikan para pemangku kepentingan di calon KEE.

"Pertanyaan itu adalah  apakah proyeksi pengelolaan calon KEE akan efektif? Kemudian, nilai penting apa yang ada di kawasan itu? Dan terakhir, bagaimana membangun pengelolaan areal KEE dengan melakukan manajemen pengelolaan berdasarkan prinsip kelestarian," katanya.

Proses pencarian jawaban tersebut bisa ditemukan dengan pemetaan para pemangku kepentingan dan diskusi-diskusi panjang untuk memperoleh kesepakatan bersama.

Ia melanjutkan, keberadaan KEE di Kaltim digagas sejak penetapan Hutan Lindung Wehea pada 2005 yang kemudian mendapat pengakuan oleh Gubernur Kaltim pada 2016.

Sementara Kepala Bidang Perencaan dan Pemanfaatan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Kaltim, Saleh mengatakan pihaknya membuka peluang kerja sama dengan berbagai pihak dalam program konservasi. Bahkan pihaknya tahun ini akan mengindentifikasi potensi KEE dan membuat peta indikatifnya  bekerja sama dengan mitra kerja.  


Baca juga: BKSDA Aceh evakuasi orangutan dengan kondisi luka tembak
Baca juga: Orangutan berkeliaran di sekitar terminal
 

Pewarta: M.Ghofar
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019