Tulungagung, Jatim (ANTARA) - TK Creative, sebuah lembaga pendidikan PAUD/TK di desa Kiping, Tulungagung, Jawa Timur mengadopsi cara lain dengan menjadikan kerajinan anyaman bambu (besek) hasil produksi orang tua murid sebagai alat pembayaran sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) peserta didiknya di sekolah.

Menurut Kepala TK Creative, Imro'atus Solekah, Jumat, metode pembayaran itu sengaja diadopsi sebagai alat bayar alternatif untuk mewadahi ketrampilan mayoritas wali murid yang sebagian besar memiliki keahlian membuat kerajinan anyaman bambu.

Selain juga untuk mengurangi beban biaya pendidikan bagi orang tua atau wali murid, terutama mereka yang berlatar belakang kurang mampu atau pas-pasan," katanya.

Ide pembayaran menggunakan produk kerajinan anyaman bambu atau dalam istilah lokal lazim disebut "besek" itu telah dikembangkan mulai 2015. Tepatnya sejak lembaga PAUD dan TK Creative didirikan.

Menurut Bu Im, demikian Imro'atus biasa dipanggil, warisan budaya merajut kerajinan anyaman bambu yang telah lama berkembang dan diwariskan secara turun-temurun di desa Kiping menjadi alasan utamanya.

Jadi selain niat mulianya mencerdaskan anak-anak di desa Kiping yang dulu dikenal sebagai desa "minus" (baca miskin), membantu meringankan beban biaya orang tua/wali murid, Bu Im yang sampai saat ini juga masih aktif memroduksi kerajinan anyaman bambu ingin menggerakkan roda ekonomi warga di desanya.

"Alhamdulillah ide alat bayar alternatif menggunakan kerajinan besek ini mendapat respon positif dari para wali murid. Rata-rata ada 80 persen wali murid yang membayar biaya sekolah anaknya di PAUD/TK Creative menggunakan kerajinan anyaman bambu," katanya.

Kata Bu Im, pengerjaan kerajinan besek atau aneka produk turunan anyaman bambu itu biasanya dikerjakan wali murid di sekolah. Tepatnya di halaman sekolah sembari menunggu anak-anaknya mengikuti kegiatan belajar-mengajar.

"Tidak jarang juga dikerjakan di rumah. Sehari pengerjaan, jika dilakukan intens dan sungguh-sungguh, satu orang bisa memroduksi satu kodi besek cantik isi 20 buah, dengan harga satu buah besek antara Rp1.000 hingga Rp4.000 per buah. Tergantung ukuran, tingkat kerumitan dan permintaan pasar (pelanggan/pemesan)," ujarnya.

Ketika menyetor kerajinan tersebut, nantinya akan dipotong terlebih dahulu dengan biaya bahan.

Sebab, bahan bambu disediakan oleh pihak sekolah, dan para orang tua wali murid yang menganyamnya.

"Ada yang sekali setor mendapatkan Rp60 ribu. Kemudian uang tersebut dibayarkan untuk uang SPP sebesar Rp40 ribu per bulan untuk siswa TK atau Rp25 ribu per bulan untuk peserta didik PAUD. Sisa hasil konversi pembayaran besek cantik itu oleh wali murid biasanya ditabung yang nantinya dapat digunakan untuk keperluan anak mereka di sekolah," katanya.

Imroatus menjelaskan, hasil dari kerajinan anyaman bambu itu dipasarkan melalui pusat layanan usaha terpadu (PLUT) yang ada di Ngantru.

Sebagian lagi dikirim ke sejumlah pelanggan yang telah menjalin kerja sama dengan TK Creative.

Selain itu juga melalui "reseller" yang ada di luar provinsi.

"Jadi kita sediakan bahan (bambu), mereka yang menganyam. Yang nantinya kita terima hasil karyanya, dan kami ganti dengan upah. Dan hasil kerajinan mereka sudah siap bersaing di pasaran," katanya.

Omzet kerajinan bambu yang bisa terkumpul dari wali murid setiap bulannya berfluktuasi di kisaran Rp10 juta.

Uang hasil penjualan besek cantik kreasi wali murid selanjutnya digunakan untuk operasional penyelenggaraan pendidikan di TK Creative, seperti membayar honor pendidik, listrik, kebersihan dan sebagainya yang total sebulan rata-rata mencapai Rp2,5 jutaan," ujarnya.

Nining Warianti salah satu orang tua wali murid TK Creative mengatakan, kegiatan ini sangat membantu orang tua murid terlebih terhadap pembayaran SPP..

Dengan metode alat bayar alternatif itu, wali murid tidak perlu lagi mengeluarkan uang cash ke pihak sekolah. Cukup dengan menganyam bambu lalu disetorkan ke pihak sekolah.

"Jadi sambil menunggu anak sekolah, kita bikin anyaman bambu. Lalu kita membayar SPP dan menabung. Ini sangat membantu," kata Nining.

Pewarta: Destyan H. Sujarwoko
Editor: Alex Sariwating
Copyright © ANTARA 2019