Banda Aceh (ANTARA) - Kalangan petani garam di Kabupaten Aceh Besar mengaku kewalahan memenuhi permintaan pasar menyusul semakin meningkatnya kebutuhan garam di kabupaten itu dan Kota Banda Aceh.

"Permintaan garam terus meningkat, sehingga membuat kami sedikit kewalahan memenuhi permintaan pasar," ungkap Azhari, petani garam tradisional, di Aceh Besar, Jumat.

Azhari (54), warga Gampong Lam Ujong, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar, itu menyebutkan, produksi garam setiap harinya di kisaran 100 hingga 150 kilogram per hari.

Sementara, permintaan yang harus dipenuhi lebih dari 150 kilogram setiap hari. Tidak jarang agen yang membeli terpaksa kecewa karena permintaannya tidak bisa dipenuhi.

"Kami kewalahan memenuhi permintaan karena produksi terbatas. Kami memproduksi garam masih menggunakan cara tradisional, dengan jalan dimasak," kata Azhari.

Memang, sebut, dirinya dan petani garam lainnya menggunakan sistem geomembran, namun masa panen sistem tersebut membutuhkan waktu paling cepat dua minggu.

Sedangkan permintaan setiap hari yang harus kami penuhi. Kalau menggunakan sistem membran, bisa menghasilkan 400 hingga 500 kilogram per sekali panen. Tapi, waktunya lebih lama dibanding dengan dimasak," kata dia.

Azhari menyebutkan, memproduksi garam dengan jalan dimasak membutuhkan waktu empat hingga lima jam. Satu kuali bisa menghasilkan hingga 50 kilogram garam siap jual dengan harga Rp5.000 per kilogram.

"Setiap pagi ada agen yang menjemput langsung. Selain untuk agen, kami juga memenuhi kebutuhan sejumlah rumah makan khas Aceh yang diantar setiap beberapa hari sekali. Sekali antar dua karung isi 30 kilogram," pungkas Azhari.
Baca juga: Sebagian produksi garam rakyat Sampang 2018 belum terserap
Baca juga: Mulai diusahakan produksi garam Malaka 700.000 metrik ton/tahun
Baca juga: Pengamat: KKP harus optimalkan penyuluh untuk data garam akurat

 

Pewarta: M.Haris Setiady Agus
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2019