akan semakin banyak negara di tataran global yang tidak lagi menggunakan batu bara sebagai sumber pembangkit listrik
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah harus mengantisipasi kemungkinan terjadinya penurunan impor global komoditas batu bara karena diperkirakan akan semakin banyak negara di tataran global yang tidak lagi menggunakan batu bara sebagai sumber pembangkit listrik.

"Penurunan produksi dan permintaan serta fluktuasi harga batu bara karena tren transisi energi global dan berkembangnya pembangkit listrik terdistribusi di dalam negeri dalam jangka panjang dapat mempengaruhi penerimaan negara dan daerah, serta penyerapan tenaga kerja di sentra produksi batu bara," kata Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa di Jakarta, Senin,

Fabby mengingatkan bahwa meski sektor batu bara hanya terkontribusi rata-rata 4-6 persen PDB nasional, tetapi ada empat provinsi yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan, di mana kontribusi batu bara hanya mencapai 19-35 persen dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

Keberlanjutan ekonomi Indonesia dan keempat provinsi itu akan berhadapan dengan risiko yang cukup besar jika mengabaikan fakta potensi penurunan produksi dan permintaan global serta tetap bergantung kepada permintaan impor batu bara dari sejumlah negara.

Ia mengemukakan, kebijakan energi jangka menengah dan panjang di negara-negara seperti China, India, Jepang, Korea Selatan dan sejumlah negara-negara Asia Tenggara sedang berubah dan akan mempengaruhi permintaan impor batu bara mereka dari Indonesia dalam jangka waktu satu dekade mendatang.

Untuk itu, IESR merekomendasikan agar pemerintah mulai memasukkan risiko ini di dalam perencanaan pembangunan nasional dan mulai menyiapkan cetak biru rencana pembangunan ekonomi lokal untuk mengantisipasi industri batubara yang berpotensi mengalami "sunset" dalam 10 tahun ke depannya.

Adapun di sektor pembangkit listrik, IESR merekomendasikan pemerintah dan PLN untuk mempertimbangkan potensi berkembangnya pembangkit terdistribusi dan grid deflection yang akan meningkatkan risiko "stranded asset" untuk PLTU yang ada.

IESR juga mencatat bahwa ke depan, biaya pembangkitan PLTU batu bara akan semakin meningkat karena peningkatan konsumsi batu bara per unit energi dan penurunan rata-rata efisiensi pembangkit.

"Kita lihat sebenarnya ada inefisiensi dalam pembakaran batu bara, dan ini dapat terlihat dari kenaikan emisi," ucapnya dan menambahkan, Indonesia juga negara dengan intensitas karbon terbesar di dunia.

Hal itu, akan semakin memperburuk daya saing PLTU batu bara dengan pembangkit energi terbarukan yang menunjukkan kecenderungan beban biaya yang semakin murah ke depannya.
Baca juga: Saatnya genjot ekspor, tren kenaikan harga batu bara diperkirakan berlanjut
Baca juga: Batu bara Indonesia siap dominasi pasar China

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2019