Jakarta (ANTARA) - Indonesia telah berpengalaman 11 kali menyelenggarakan Pemilu Legislatif sejak 1955 dan tiga kali Pemilu Presiden sejak 2004.

Sementara Pemilu 17 April 2019 merupakan pengalaman pertama bagi bangsa demokratis terbesar pertama di Asia dan terbesar ketiga di dunia ini.

Untuk pertama kalinya rakyat secara serentak dalam satu waktu memilih pasangan presiden dan wakil presiden serta wakil rakyat di pusat dan daerah.

Untuk lebih memaknai pesta demokrasi yang telah dijalankan itu, berikut ini adalah sejarah singkat pelaksanaan pemilu dari masa ke masa.


Pemilu Orde Lama

Pemilu pertama yang dilakukan setelah Indonesia merdeka terjadi pada 29 September 1955. Kampanye terakhir adalah 24 September 1955 pukul 24.00.

Kebanyakan dilakukan menggunakan mobil dengan pengeras suara sehingga keadaan di jalan raya sangat ramai. Ada juga kampanye dengan cara rapat umum.

Suasana Jakarta pun mulai sepi terutama di kalangan pedangan kecil di pasar seperti tukang sayur, daging dan sebagainya yang pulang mudik ke desanya masing-masing karena mereka terdaftar di sana.

Banyak juga pembantu rumah tangga yang mudik karena sebab yang sama sehingga menimbulkan kerepotan sementara rumah tangga baik keluarga Indonesia dan orang asing.

Hal yang mencolok dan belum pernah terjadi di Jakarta adalah pasar menjadi "sepi-sunyi" dari pedagang sayur-mayur dan lauk-pauk akibat gelombang mudik. Kaum ibu yang ingin berbelanja untuk bekal dua hari mendapati pasar sudah menjadi “kosong melompong” dan satu-dua pedagang yang masih ada langsung diserbu secara habis-habisan sehingga si tukang dagang jual mahal alias menaikkan harga semaunya sendiri.

Sehari sebelum pemilu 29 September 1955, Antara memberitakan bahwa masih ada warga yang belum menerima surat pemberitahuan meski mereka sudah terdaftar sebagai pemilih sehingga banyak yang membanjiri kantor-kantor kelurahan, kecamatan, atau mendatangi petugas PPS guna meminta surat suara.

Pemilu ketika itu mengisi 260 kursi DPR sesuai dengan UU Pemilihan Umum bahwa setiap 300 ribu orang penduduk diwakili seorang anggota Parlemen dan tiap 150 ribu orang diwakili seorang anggota Konstituante.

Ketua Panitia Pemilihan daerah Jakarta Raya Ny. S Pudjobuntoro mencontohkan, DKI Jakarta yang memiliki 1.664.640 penduduk mendapat 6 kursi perwakilan DPR dan 11 orang anggota Konsituante.

Namun banyaknya suara yang dibutuhkan untuk mendapatkan satu kursi bergantung pada jumlah suara yang masuk dibagi enam. Misalnya, bila suara Jakarta yang masuk sebanyak 600 ribu suara maka 600 ribu dibagi enam sehingga partai harus dapat mengumpulkan 100 ribu suara.

Tapi bila jumlah suara kurang dari 600 ribu maka "harga" kursi perwakilan diturunkan sesuai UU Pemilu pasal 82 ayat 2.

Pemilu perdana itu memang disambut antusiasme masyarakat.
Presiden Soekarno (tengah) berpidato di depan masyarakat saat mengadakan kunjungan di Yogyakarta, 28 November 1955. ANTARA FOTO/IPPHOS/Rei/1955.  


Banyak TPS yang hingga pukul 18.00 belum selesai menghitung hasil. Sejumlah TPS lambat dalam melayani masyarakat sehingga banyak orang terlalu lama menunggu.

TPS 64, di kantor Kementerian Penerangan, merupakan tempat Bung Karno menggunakan hak pilihnya pada pukul 08.50 WIB. Seperti warga lain, Bung Karno ikut antre, berdiri paling belakang.

Kemudian panitia bertanya kepada barisan di depan apakah keberatan jika Bung Karno didahulukan memberikan suara. Jawaban atasnya "tidak" sehingga Bung Karno menjadi yang pertama memberikan hak pilihnya di TPS itu. Sedangkan Ny Fatmawati Sukarno baru memberikan suara pada 12.00 WIB.

Sesudah menggunakan hak pilihnya, Bung Karno mengatakan "Saya merasa bahagia bahwa saja sebagai warga negara Indonesia sudah dapat melakuakn hak dan kewajiban saya turut memberikan suara dalam pemilihan umum yang pertama ini".

Pemilu di daerah lainnya seperti di Jawa Tengah yaitu Semarang, Wonosobo dan Magelang hasilnya PKI atau PNI Unggul sesudah itu NU dan Masyumi.

Di Surabaya dilaporkan bahwa PKI memimpin disusul NU, PNI, dan Masyumi. Ada 616 TPS di Surabaya dengan 367.797 pemilih. Mereka yang memberikan suaranya rata-rata 70 persen dari daftar pemilih.

Dari Bukittinggi dilaporkan Masyumi dan PSI melakukan protes karena tanda-tanda yang dipakai Panitia Keamanan Pemungutan Suara dan dibawa mondar-mandir oleh alat negara mirip tanda gambar PNI. Masyumi Sumatera Tengah juga menyesalkan disiarkannya pidato Bung Karno oleh RRI menjelang hari pemungutan suara.

Tidak ada TPS di kapal-kapal karena kesulitan teknis seperti pengadaan peralatan, petugas, ketidakpastian jumlah pemilih dan penentuan hasil pemungutan suara untuk daerah pemilihan mana.

Tapi bila kapal itu berlabuh di pelabuhan dalam negeri maka pelaut/penumpang kapal dapat memberikan hak pilih di TPS terdekat dengan pelabuhan menggunakan formulir model A1+ atau bila di luar negeri dapat ke KBRI terdekat dengan formulir model A4.

Para tahanan polisi di Sumatera Utara juga dibolehkan untuk menggunakan hak pilihnya.

Hasilnya, Pemilu 1955 dimenangkan oleh PNI yang memperoleh 57 kursi di DPR disusul Masyumi (57 kursi), NU (45 kursi), PKI (39 kursi), PSII (8 kursi), Pakindo (8 kursi), Katolik (6 kursi), PSI (5 kursi), IPKI (4 kursi), Perti (4 kursi), Murba (2 kursi) dan partai lainnya (23 kursi).


Pemilu Orde Baru
 
Presiden Soeharto dengan gembira menunjukan kartu suaranya setelah selesai melakukan penusukan tanda gambar pilihannya segera dimasukkan ke dalam kotak suara di TPS II Jl. Cendana Jakarta pada Pemilu 1982. FOTO ANTARA / PO2/ss/hp/82



Pemilu pertama pada rezim Orde Baru dilaksanakan pada Sabtu, 3 Juli 1971.

Pemilu itu akan menjaring 3.940 orang dari 9 partai dan 1 golongan karya untuk mengisi lembaga perwakilan daerah maupun pusat, termasuk MPR yang akan diduduki 920 orang wakil.

Jumlah itu terdiri atas 460 anggota DPR, 112 orang anggota tambahan dari golongan politik dan golongan karya berdasarkan imbangan suara yang diperoleh dalam pemilu, 207 anggota tambahan yang merupakan utusan golongan karya, angkatan bersenjata, dan bukan angkatan bersenjata yang diangkat, 10 orang anggota tambahan dari golongan politik maupun karya sebagai hasil pemilu yang tidak mendapat wakil dalam DPR serta 131 orang anggota tambahan utusan daerah.

Ke-460 kursi yang tersedia di DPR terdiri atas 360 orang anggota terpilih di pemilu ditambah 100 orang anggota yang diangkat.

Tercatat 57.535.752 warga negara yang berhak ikut serta.

Ketika itu, 400 ribu warga Indonesia untuk satu wakil dengan pembagian DKI Jakarta 11 orang, Jawa Barat 43 orang, Jawa Tengah 57 orang, Daerah Istimewa Yogyakarta 8 orang, Jawa Timur 64 orang, Lampung 6 orang, Sumatera Selatan 10 orang, Riau 6 orang, Bengkulu 4 orang, Sumatera Barat 14 orang, Sumatera Utara 17 orang, Daerah Istimewa Aceh 9 orang, Bali 8 orang, Nusa Tenggar Barat 6 orang, Nusa Tenggara Timur 12 orang, Kalimantan Timur 6 orang, Kalimantan Tengah 6 orang, Kalimantan Selatan 11 orang, Kalimantan Barat 7 orang, Sulawesi Utara 6 orang, Sulawesi Tengah 4 orang, Sulawesi Tenggara 4 orang, Sulawesi Selatan 23 orang, Maluku 4 orang, dan Irian Barat 9 orang.

Presiden Soeharto yang saat itu masih berstatus sebagai jenderal tidak memberikan hak pilihnya. Ia hanya memberikan amanat bagi masyarakat pada 2 Juli 1971 juta dengan menyampaikan "Besok pagi Bangsa Indonesia akan menancapkan satu tonggak sejarah baru, satu tonggak baru daripada perjalanan Orde Baru yang harus berarti memperkuat pelaksanaan Pancasila dan UU 1945 serta memperhebat pelaksanaan pembangunan selanjutnya".

Soeharto pada pukul 08.00 mengantarkan istrinya Ny Tien Soeharto dan 3 orang putra-putrinya Tutut, Sigit, dan Bambang ke TPS Jalan Cendana. Nyonya Tien dan putra-putrinya lalu menyusul Soeharto dengan mobil yang dikemudikan Bambang ke TPS kelurahan Kramat Pela, Kebayoran Baru.

Berbeda dengan suasana 1955, pemilu 1971 tampak tenang. Tidak tampak sama sekali pasar-pasar yang biasa ramai pedagang dan ibu-ibu yang berbelanja, bus-bus umum kekurangan penumpang sehingga penumpang pengguna bus Sabtu pagi tidak perlu berdempet-dempet. Pemilu lancar sehingga pada pukul 12.00 rata-rata TPS sudah selesai menerima para pemilih.

Tenangnya suasana pemilu itu mungkin juga disebabkan oleh Surat Keputusan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Komkamtib) Jenderal TNI Maraden Panggabean (yang juga Wakil Panglima ABRI) tentang Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Sesudah Pemungutan Suara tertanggal 1 Juli 1971.


Keputusannya adalah:

1. Dilarang menyiapkan atau mengadakan pawai-pawai, arak-arakan, barisan-barisan, demonstrasi-demonstrasi atau yang dapat disamakan dengan itu baik berjalan kaki maupun berkendaraan, rapat-rapat umum atau keramaian-keramaian untuk menunjukkan, memperingati atau merayakan sesuatu organisasi yang menang dalam pemilu.

2. Dilarang menyiapkan atau mengadakan pawai-pawai, arak-arakan, barisan-barisan, demonstrasi-demonstrasi atau yang dapat disamakan dengan itu baik berjalan kaki maupun berkendaran, rapat-rapat umum karena kekalahan sesuatu organisasi dalam pemilu.
3. Terhadap pelanggaran larangan tersebut di atas diambil tindakan tegas menurut hukum yang berlaku
4. Keputusan ini berlaku pada 3 Juli 1971.

Selanjutnya pada 5 Juli 1971, Menteri Dalam Negeri Amir Machmud selaku Ketua Lembaga Pemilu sudah melaporkan kepada Presiden Soeharto hasil sementara pemilu di beberapa daerah.

Warga yang merupakan bekas tahanan G30S/PKI dilarang ikut mencoblos dan bila ketahuan langsung ditangkap dan dijatuhi hukuman. Hal ini misalnya terjadi di Medan, yaitu 200 orang lebih bekas anggota ormas PKI daerah Sumatera Utara berusaha menyusup ikut pemilu tapi digagalkan petugas setempat.

Orang-orang itu lalu diproses di pengadilan kilat khusus pemilu.

Pemilu 1971 pun dimenangkan oleh Golkar. Golkar merupakan gabungan dari puluhan organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan yang awalnya tergabung dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya atau Sekber Golkar.

Golkar meraih 236 kursi di DPR, disusul NU (58 kursi), Parmusi (24 kursi), PNI (20 kursi), PSII (10 kursi), Parkin (7 kursi), Katolik (3 kursi) dan Perti (2 kursi). Partai Murba dan IPKI tidak memperoleh kursi.

Pemilu kedua pada pemerintahan Orba terjadi pada 2 Mei 1977 yang hanya diikuti oleh 3 kontestan: Golkar; Partai Demokrasi Indonesia (leburan dari PNI, IPKI, Murba, Parkindo dan Partai Katolik); dan Partai Persatuan Pembangunan (fusi dari empat partai keagamaan yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Parmusi).

Presiden Soeharto menjamin perhitungan suara berjalan sesuai aturan sekalipun formulir CA-1 tak ditandatangani saksi seperti yang diminta oleh Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia.


Pemilu 1977 menurut Soeharto tidak banyak berbeda dengan pemilu 1971.

Soeharto datang ke TPS di Cendana pada sekitar pukul 9.45 dan baru mendapat diliran setelah menunggu sekitar 20 menit.

Bagi Soeharto, pemilu 1977 merupakan kedua kalinya ia memberikan suara. Kesempatan pertama adalah pemilu 1955, sedangkan pemilu 1971 ia tidak berhak memilih karena masih menjadi anggota ABRI.

Ada sekitar 70 juta rakyat Indonesia yang memberikan suaranya di 280 ribu TPS.

Salah satu yang menarik adalah penerbangan pesawat dari Jakarta ke Surabaya dan Bangka hanya memuat seorang penumpang pada pagi 2 Mei 1977.

Napi dan tahanan juga ikut nyoblos di TPS dalam lapas bersama karyawan yang kena tugas di dalam meski tidak pernah mendengar kampanye secara langsung dari 3 kontenstan pemilu.

Hasil pemilu 1977 adalah Golkar mendapat 36.666.575 suara (61,55 persen), PPP mendapat 17.543.606 suara (29,5) persen) dan Partai Demokrasi Indonesia 5.253.876 suara (8,84 persen) dari jumlah pemilih terdaftar 70.664.155 orang. Ketika ditanya tanggapan Presiden mengenai hasil sementara itu, Mendagri Amir Machmud selaku Ketua Panitia Pemilihan Indonesia menjawab "Kalau Pak Harto smiling (tersenyum) terus kan".

Hingga 1992, belum ada debat politik antar Organisasi Peserta Pemilu dalam masa kampanye di televisi.

Menko Polkam Sudomo dengan alasan "kalau hal itu dilaksanakan juga dikhawatirkan membuat masyrakat semakin bertambah bingung".
Debat baru dapat dilakukan 10-20 tahun mendatang kalau kesadaran bangsa Indonesia telah mencapai derajat tertentu tanpa menjelaskan situasi yang bagaimana debat boleh dilaksanakan.

Pada Pemilu 1992, perolehan Golkar merosot karena hanya menggondol 282 dari 400 kursi yang diperebutkan, sedangkan PPP mendapatkan 62 kursi dan PDI meraih 56 kursi.
Dalam Pemilu tersebut, Golkar yang saat itu dibawah kepemimpinan Wahono mendapatkan 66.599.331 (68,10 persen) suara, PPP 16.624.647 (17,00 persen) suara, dan PDI 14.565.556 (14,89 persen) suara.

Sementera pemilu terakhir era Orba yaitu pada 29 Mei 1997 juga menghasilkan kemenangan dengan persentase tinggi untuk Golkar.

Hasil sementara penghitungan suara yang dilakukan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) di Jakarta menyebutkan bahwa sampai dengan Jumat 30 Mei 1997 pukul 07.56 WIB, dari 86.296.132 suara yang sudah masuk, Golkar meraih 63.751.579 suara, sedangkan PPP 20.102.765 suara dan PDI 2.441.788 suara.

Jumlah pemilih dalam Pemilu 1997 tercatat 124.740.987 orang dari total penduduk Indonesia sebanyak 196.286.613 jiwa. Oleh karena itu, apapun hasil penghitungan suara yang masih tersisa tidak akan mengubah kepastian Golkar sebagai pemenang dalam Pemilu kali ini.


Pemilu orde reformasi

 
Presiden Megawati Soekaroputri memperlihatkan surat suara kepada masyarakat sebelum dimasukkan kedalam kotak suara di TPS 46, Kelurahan. Kebagusan, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, (5/7/2004). Megawati dengan Hasyim Muzadi, merupakan salah satu pasangan capres/cawapres yang ikut dalam pemilihan presiden 2004. FOTO ANTARA/Ali Anwar/Koz/hp/04.


Menjelang masuk orde reformasi, dilakukan pemilu pada 1999, pada pemilu itu diputuskan untuk melarang lima menteri -- Menkowasbang/PAN, Mendagri, Menkeh, Menhankam/Pangab, dan Jakgung-- ikut dalam kampanye Pemilu karena mereka berkaitan langsung dengan masalah politik dalam negeri.

Pemilu 7 Juni 1999 berada di bawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memilih 462 anggota DPR dan DPRD Kabuptan/kota.

Pemilu kali ini diikuti 48 parpol namun tiga parpol besar yaitu PDI (ditambah kata Perjuangan) yang meraih 153 kursi DPR (33,74 persen), Golkar meraih 120 kursi (22,44 persen) dan PPP meraih 58 kursi (12,55 persen)

Pada 20 September 2004, masyarakat Indonesia melakukan pemungutan suara untuk memilih presiden secara langsung yang pertama kali terjadi dalam sejarah Republik Indonesia.

Menurut UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, untuk dapat terpilih menjadi presiden, kandidat harus memperoleh minimal 50 persen dari jumlah suara sah dan mendapatkan minimal 20 persen suara di sepertiga propinsi yang ada di Indonesia pada putaran pertama.

Apabila tidak ada kandidat yang memenuhi persyaratan tersebut, maka diadakan pemilihan putaran kedua, di mana kandidat yang memperoleh suara terbanyak akan menjadi presiden.

Pada putaran pertama pemilihan presiden 2004 yang diselenggarakan 5 Juli 2004, ada lima kandidat yang bertarung. Mereka adalah Wiranto, Presiden Megawati, Amien Rais, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Wakil Presiden Hamzah Haz. Dari lima kandidat tersebut, Megawati dan Yudhoyono berhasil masuk dalam putaran kedua pemilihan presiden. Megawati memperoleh 26.6 persen dan Yudhoyono memperoleh 33.6 persen suara sah.

Dalam putaran kedua pada 20 September 2004, Megawati yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi sebagai calon wakil presiden, mendapatkan dukungan dari partai-partai besar seperti Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan yang dipimpinnya, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Damai Sejahtera, dan partai-partai kecil lainnya.

Sementara itu, Yudhoyono mendapat dukungan penuh dari Partai Demokrat yang mencalonkannya dan Partai Keadilan Sejahtera serta beberapa partai kecil lainnya. Selain itu, Yudhoyono juga mendapatkan dukungan tidak resmi dari Partai Amanat Nasional yang dipimpin Amien Rais dan Partai Kebangkitan Bangsa.

Masyarakat tampaknya tidak begitu antusias untuk mengikutinya lagi. Mungkin masyarakat sudah bosan dengan pemilihan umum, karena pada tahun ini diadakan tiga kali pemilihan umum. Yang pertama kali adalah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah pada tanggal 5 April, dan kemudian putaran pertama pemilihan presiden, serta terakhir putaran penentuan pemilihan presiden.

Namun pemilu tetap berjalan dengan aman dan tanpa ada masalah yang berarti.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersama Jusuf Kalla (JK) menjadi presiden dan wakil presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat dengan meraih 69.266.350 suara dibanding raihan suara untuk pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasiyim Muzadi yang hanya mendapat 44.990.704 suara.

Pemilu 2009
 
Capres Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memperlihatkan surat suara sebelum melakukan penjoblosan pada pemilihan calon presiden di Cikeas, Cileungsi, Bogor, Jabar, (5/7/2004). Pemilihan presiden yang dilaksanakan serentak itu akan memilih presiden mendatang secara langsung dan merupakan yang pertama kali dalam sejarah bangsa Indonesia. FOTO ANTARA/Saptono/Koz/hp/04 .


Pemilu 2009 dilaksanakan pada 9 April 2009 untuk memilih 560 anggota DPR, 132 Anggota DPD serta DPRD se-Indonesia periode 2009-2014 sedangkan pemilhan presiden dan wapres dilaksanakan pada 8 Juli 2009. Para peserta pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD tahun 2009 diikuti oleh 44 parpol yang terdiri dari 38 partai nasional dan 6 partai lokal Aceh.

Sedangkan untuk pemilihan presiden dan wapres terdiri dari 3 pasangan calon, yaitu Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, SBY-Boediono, serta Jusuf Kalla-Wiranto. Hasilnya, SBY-Boediono menang satu putaran langsung dengan memperoleh suara 60,8 persen yang didukung Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP dan PKB.

Pada pemillu ini mulai muncul banyak konsultan politik yang mengeluarkan survei dan hitung cepat hasil pemilu seperti Lembaga Survei Indonesia, Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Jaringan Suara Indonesia, Cirus Surveyors Group, Pusat Studi Nusantara, Lingkaran Survei Indonesia, Jaringan Isu Publik (JIP), Lingkaran Survei Kebijakan Publik (LSKP), LP3ES, dan Lembaga Survei Nasional (LSN).

Tercatat dalam pemilu saat itu sebanyak 171 juta penduduk Indonesia menggunakan hak suaranya. Namun hanya sekitar 121 juta pemilih saja yang menggunakan suaranya. Partai Demokrat mendapatkan 150 kursi, disusul Partai Golkar sebanyak 107 kursi dan PDI Perjuangan dengan 95 kursi.

Pemilu 2014

Pemilu 2014 adalah pemilihan presiden langsung ketiga kalinya pada 9 April 2014. Pemilu ini diikuti oleh dua pasang capres dan cawapres yaitu Prabowo Subianto, mantan Panglima Kostrad yang berpasangan dengan Hatta Rajasa, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian 2009-2014 yang diusung Koalisi Merah Putih (Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP) serta Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta yang berpasangan dengan Jusuf Kalla, mantan wapres periode 2004-2009 yang diusung Koalisi Indonesia Hebat (PDI-P, PKB, NasDem, Hanura)

Pemilu diikuti oleh 12 parpol nasional dan 3 parpol lokal Aceh. Sebanyak 12 parpol nasional itu yakni Partai NasDem, PKB, PKS, PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, PAN, PPP, Partai Hanura, PBB, PKPI. Adapun, 3 parpol lokal Aceh yakni Partai Damai Aceh, Partai Nasional Aceh, dan Partai Aceh.

Pileg dan Pilpres diselenggarakan secara terpisah. Saat itu, Pileg digelar lebih dahulu pada 9 April 2014 untuk memperebutkan 560 kursi DPR sedangkan Pilpres diselenggarakan 3 bulan setelahnya atau pada 9 Juli 2014.

Presidential Threshold (batas syarat parpol bisa mengusung capres-cawapres) menggunakan hasil Pileg tiga bulan sebelumnya. Ketentuannya parpol atau koalisi parpol bisa mengusung capres-cawapres apabila memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional sedangkan parlementary threshold atau ambang batas parlemen untuk menempatkan kadernya di DPR sebesar 3,5 persen.

Pemilu 2014 memakai metode BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) atau Quote Harre dalam menentukan jumlah kursi,

Pada pemilu 2014, sumbangan dari perseorangan maksimal Rp 1 miliar, sementara sumbangan dari badan hukum atau korporasi paling banyak Rp 7,5 miliar.

Hasil resmi KPU, pasangan Jokowi - Jusuf Kalla menang. Hasil tersebut mengkonfirmasi beberapa lembaga yang mengadakan survei, exit poll, dan quick count dengan angka kemenangan 53,15 persen dan Prabowo - Hatta Rajasa sebesar 46,85 persen. Selain itu angka golput tercatat sebesar 30,42 persen.

Pemilu 2019

Pada Pemilu 2019, Pileg dan Pilpres akan digelar secara serentak dalam satu hari pada Rabu, 17 April 2019. Pemilu secara serentak ini dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam gugatan nomor 14/PUU-XI/2013 yang diputus pada 23 Januari 2014.

Artinya para pemilih harus membawa 5 surat suara sekaligus ke bilik suara untuk dicoblos. Lima surat suara itu untuk memilih anggota DPRD tingkat kabupaten/kota, anggota DPRD tingkat provinsi, anggota DPR, anggota DPD, serta calon presiden dan wakil presiden.

Peserta pemilu 2019 adalah 16 partai politik nasional ditambah 4 partai politik lokal di Aceh. Presidential treshold pada pemilu kali ini karena penyelenggaraannya serentak, disepakati Presidential Threshold yang digunakan berasal dari hasil Pileg 2014 sementara parlementary treshold 2019 naik menjadi 4 persen.

Tujuannya adalah untuk menyederhanakan sistem multipartai sehingga partai-partai terseleksi sendiri. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan adalah 575 kursi.

Penghitungan suara dilakukan dengan teknik Sainte Lague. Parpol yang memenuhi ambang batas parlemen empat persen suaranya akan dibagi dengan bilangan pembagi 1 yang diikuti secara berurutan dengan bilangan ganjil 3,5, 7 dan seterusnya.

Hal itu diatur dalam Pasal 415 ayat (2) UU Pemilu yang berbunyi "Dalam hal penghitungan perolehan kursi DPR, suara sah setiap partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 414 ayat (1) dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berunrtan oleh bilangan ganjil 3, 5, 7, dan seterusnya.

Pada pemilu 2019, sumbangan dari perseorangan maksimal Rp2,5 miliar, sementara sumbangan dari badan hukum atau korporasi paling banyak Rp25 miliar berdasarkan Pasal 327 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Editor: Sapto HP
Copyright © ANTARA 2019