Jakarta (ANTARA) - Badan Restorasi Gambut (BRG) bekerja sama dengan pemerintah daerah terkait mengejar upaya pemulihan lahan gambut nonkonsesi yang tersisa seluas 400.000 hektare hingga akhir 2020, kata Kepala BRG Nazir Foead di Jakarta, Senin.

"BRG bekerja langsung bersama pemerintah daerah dalam membahas gambut di kawasan konservasi hutan lindung dan kawasan masyarakat itu sudah seluas 679.000 hektare dari target 1,1 juta hektare. Jadi, masih utang 400.000 hektare pada tahun ini dan tahun depan," kata Nazir Foead usai melaporkan perkembangan restorasi gambut kepada Wakil Presiden RI Jusuf Kalla di Jakarta, Senin.

Pemulihan lahan gambut non-konsensi tersebut dilakukan bersama Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan memberikan pendampingan kepada petani kebun kelapa sawit dalam menjaga lahan gambut mereka.

Nazir mengatakan bahwa pendampingan dan sosialisasi tersebut dengan menggunakan pendekatan psikologi dan spiritual supaya masyarakat, khususnya petani sawit, tidak mudah membakar lahan gambut.

"Sosialisasi kepada masyarakat agar tidak membakar gambut, membantu masyarakat bertani tanpa membakar, juga melibatkan ustaz, dai, dan pendeta dalam menjaga gambut tersebut," lanjutnya.

Sementara itu, restorasi lahan gambut konsensi, menurut Nazir telah mencapai target, hampir 3 juta hektare lahan milik perusahaan telah direstorasi. BRG sendiri menargetkan restorasi lahan konsensi seluas 2,5 juta hektare.

"Di lahan konsensi sudah tercapai, karena sudah hampir 3 juta hektare (milik) perusahaan yang melaporkan rencana pemulihannya dan sedang menjalankannya. Sudah ada delapan perusahaan, 150.000 hektare kami uji coba dan hasilnya bagus, positif," ujarnya.

Sejak BRG dibentuk lewat PP Nomor 1 Tahun 2016, Pemerintah memasang target pemulihan lahan gambut seluas 2,5 juta hektare untuk diselesaikan dalam kurun waktu 5 tahun.

Luasan 2,5 juta hektare lahan gambut tersebut tersebar di tujuh provinsi dan terbagi atas 1,4 juta lahan konsensi milik perusahaan swasta dan 1,1 juta hektare lahan nonkonsensi, termasuk di dalamnya kawasan hutan lindung atau konservasi.

Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019