Batam (ANTARA) - Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan Indonesia memerlukan Presiden yang tidak otoriter dan tidak nepotisme untuk menjaga kondisi negara, khususnya di bidang perekonomian supaya tetap stabil.

Hal itu disampaikan Wapres JK saat berdialog dengan para pengusaha dalam Rapat Kerja dan Konsultasi Nasional (Rakerkonas) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) ke-29 di Hotel Swiss Bell Batam, Selasa.

"Saya tidak ingin mengatakan pilih nomor satu (atau) nomor dua, tapi apa yang kita inginkan sebagai pengusaha? Pertama ialah pengusaha (ingin) agar ekonomi stabil, ada stabilitas dalam ekonomi. Kedua, kita belajar dari negara yang gagal termasuk pada era Presiden Soeharto," kata Wapres.

Pada zaman orde baru, lanjut JK, pemerintah terlalu otoriter dalam menjalankan sistem pemerintahan. Selain itu, dominasi perekonomian dikuasai oleh pihak-pihak terdekat Presiden Soeharto saat itu.

Hal itu menyebabkan negara Indonesia mengalami kegagalan dan keterpurukan ekonomi akibat pemimpin yang otoriter dan nepotisme.

"Kenapa akhirnya Presiden Soeharto dianggap gagal? Karena otoriter, kalau otoriter itu tidak memberi kesempatan orang untuk berbeda pendapat. Kedua karena kecenderungan KKN, nepotisme, mendahulukan teman dan keluarga. Itu dua hal yang menyebabkan Pak Harto bermasalah," jelasnya.

Wapres menceritakan pengalamannya memimpin Indonesia dalam 4,5 tahun terakhir bersama Presiden Joko Widodo. Menurut JK, Jokowi tidak memiliki potensi untuk menjadi otoriter dan nepotisme.

"Saya ingin menilai Pak Jokowi karena 4,5 tahun bersama-sama, dia tidak ada kecendurungan untuk otoriter. Segala sesuatu dirapatkan. Soal FTZ (free trade zone) ini awalnya beliau berbeda pendapat, setelah dijelaskan akhirnya oke, beliau sepakat," katanya.

Sementara itu, JK menilai Jokowi juga tidak ada kecenderungan untuk nepotisme mengingat anak-anak dan menantunya tidak terlibat dalam bisnis yang berkaitan dengan milik pemerintah.

"Kita lihat anak tertua (Jokowi) dagang apa? Kan martabak. Kedua dagang apa? Pisang. Dua-duanya tidak ada hubungannya dengan pemerintah, sehingga tidak mungkin dia (Jokowi) perintah menteri untuk beli martabak satu juta loyang, atau rapat-rapat makannya martabak atau pisang goreng," ujarnya.

Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: Eddy K Sinoel
Copyright © ANTARA 2019