Jakarta (ANTARA) - Kelurahan Glodok, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat, merupakan salah satu kawasan Pecinan yang ada di Ibu Kota Jakarta. Kelurahan itu terbagi dalam lima RW dan 61 RT. Salah satu akses jalan menuju pemukiman warga negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa ini adalah Jl Kemurnian I.

Terus saja susuri Jl Kemurnian I sejauh 200 meter hingga  Pos RW 01 yang terletak di Jl Kemenangan. Pos ini berada di antara pemukiman padat penduduk, dekat Pasar Petak Sembilan, di seberang Klenteng Dharma Budhi.

Sepanjang jalan ini berjejer rapat rumah-rumah berlantai dua dan tiga yang berpagar tinggi menutup hingga separuh permukaan rumah. Salah satu ciri rumah warga keturunan Tionghoa, di depan rumah menempel Hiolo berwarna merah tempat untuk meletakkan hio (dupa). Di Pos itu sudah menunggu Lio Kok Chung (56).

Liong Kok Cung  sesekali menyeruput  kopi susu dari gelas kaca yang dibelinya dari warung kopi di samping Pos RW 01, Minggu (31/3), saat ngobrol tentang persiapan pencoblosan pemilu di kawasan Pecinan, Glodok, Jakarta . Acung sapaan akrab pria berwajah tirus, bertubuh kurus, dan bersahaja, itu memang orang yang pas bicara tentang perayaan demokrasi di kawasan tersebut.

Sejak 2004, Acung sudah menjadi Ketua Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan Koordinator Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di RW 01, jabatan yang ingin sekali dilepaskannya tetapi selalu dipercayakan kembali kepadanya. Bedanya, tahun ini Acung tidak lagi menjabat Koordinator KPPS RW 01, posisi itu dialihkan kepada rekan sejawatnya Viliany (34), Ketua RT 05.

Menurut cerita Acung, tidak ada persiapan khusus menjelang pemungutan suara pada tanggal 17 April 2019. Sama seperti kawasan lainnya, persiapan Pemilu dilakukan pada H-2 dan H-1 yang diawali dengan pendirian TPS berupa tenda. Total ada tujuh TPS di RW 01 dengan jumlah pemilih yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 1.884 dari 2.313 jiwa jumlah keseluruhan warga RW 01.  

Walau tidak ada persiapan khusus, tingkat partisipasi warga di RW 01 setiap pemilihan umum dari tahun 2004, termasuk pemilihan kepala daerah DKI Jakarta tahun 2017, rata-rata di angka 70 persen.

Partisipasi sempat turun di pemilu 2014, yakni sekitar 60 persen. Acung beralasan penurunan karena adanya fenomena masyarakat yang terbelah dua dalam mendukung pasangan calon.

Tahun ini fenomena itu masih tersirat terutama di sosial media, tetapi lanjut Acung, WNI keturunan Tionghoa di Glodok bersikap biasa saja dan tidak menunjukkan sikap condong pada calon manapun.

Acung yang sehari berdagang plastik di toko miliknya, menyadari siapapun yang dipilih tidak membawa dampak langsung kepada dirinya secara pribadi. Tetapi, dia meyakini bahwa pemerintahan yang terpilih membawa kebaikan untuk kemajuan bangsa. Contohnya persoalan transportasi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam beraktivitas.

Pemikiran ini yang selalu disampaikannya kepada warga di wilayahnya yang mulai aktif bertanya kapan surat C6 dikirimkan, dan siapa yang harus dipilih. Sebagai Ketua RT 06 dan Ketua TPS 03, Acung bersikap netral dan tidak ingin mempengaruhi warga.

“Saya cuma bisa bilang ke warga, pilihnya yang terbaik. Seperti kita mau membeli barang pasti milih yang terbaik,” kata Acung.   

Baca juga: Gigihnya Relawan Demokrasi Tionghoa di Singkawang


Tradisi sumbang makanan
 
Suasana di dalam kawasan Pecinan, Glodok, Jakarta. (Laily Rahmawaty)


Antusiasme WNI keturunan Tionghoa RW 01, Petak Sembilan Glodok, mendukung pelaksanaan pemilu juga terlihat dari kebiasaan menyumbang makanan untuk petugas pemungutan suara di TPS.

Menurut Acung tradisi ini sudah berlangsung sejak 2004, warga berdonasi menyumbang aneka makanan, mulai dari nasi kotak, gorengan, lemper, bisckit, kopi, teh, hingga minuman kemasan.

Salah satu donatur rutin yang menyumbang makanan setiap kali pemilu adalah Ferry Setiawan (68) yang juga Ketua RW 01. Pria bertubuh tambun ini akrab disapa pak Kasen. Orangnya ramah, dan punya jiwa sosial yang tinggi.

Pak Kasen yang ditemui di Pos RW 01, mengatakan tahun ini juga sudah siap untuk mengirimkan makanan ke tujuh TPS yang ada di RW 01. Di tahun-tahun sebelumnya, Ia membagikan 20 kotak makanan untuk setiap TPS.

"Memilih itu adalah hak dasar warga negara, kita harus menyalurkan hak pilih kita untuk menyukseskan pembangunan bangsa," kata Ferry Setiawan.

Pilkada DKI Jakarta 2017, pak Kasen membelikan 20 kota nasi goreng Bakmi Naga untuk petugas TPS. Banyaknya sumbangan makanan yang diberikan warga membuat stok makanan di TPS berlimbah, petugas PPS juga membagikannya kepada para saksi, dan petugas keamanan yang ada di TPS.

Alasan pak Kasen rutin mengirimkan makanan ke TPS untuk menghargai warganya yang berkorban waktu dan tenaga untuk menyukseskan pelaksanaan pemilu di wilayahnya.

“Mereka ini kan warga kita yang sudah capek-capek bekerja supaya pemilu berjalan lancar, kita hargai lah usaha mereka,” kata Kasen yang baru pulang medical chek up dari Penang, Malaysia.

Baca juga: Membelah laut demi mulusnya pesta demokrasi

 

Sejarah singkat Pecinan Glodok

Sejarawan yang juga Budayawan Betawi Ridwan Saidi mengatakan etnis Tionghoa masuk ke Batavia pada abad ke-17 melalui Sunda Kelapa dan menempati sejumlah wilayah yang lokasinya dekat dengan pelabuhan dan pasar ikan, salah satunya Glodok.

Pada abad itu masyarakat Tionghoa yang datang ke Jawa kebanyakan warga miskin, datang sebagai perorangan, atau dalam kelompok kecil tujuannya untuk mencari kerja. Mereka melakoni banyak pekerjaan sebagai buruh kasar dan kuli pengangkut tinja.

Pemerintah Belanda melakukan diskriminasi terhadap masyarakat Tionghoa, ruang gerak mereka dibatasi, hanya boleh menempati kawasan tertentu yang sudah ditentukan oleh Belanda bagi ras mereka. Menurut Ridwan, salah satu alasan pembatasan ini karena masyarakat Tionghoa kurang menjaga kebersihan.

Pemerintahan Belanda membuat aturan yang membatasi ruang gerak masyarakat Tionghoa, dan apabila mereka ingin melakukan perjalanan ke wilayah lain harus dengan surat izin serta dikenai pajak yang disebut Pajak Konde.

"Tujuannya supaya mereka kagak betah di mari," kata lulusan Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Indonesia itu.

Masyarakat Tionghoa melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Terjadi peristiwa "Chinezen murder’" pada tahun 1740 di Batavia dan meluas hingga ke Jawa (Semarang), menyebabkan turunnya populasi masyarakat Tionghoa.

Sensus penduduk pertama dilakukan Belanda tahun 1667, populasi masyarakat Tionghoa di Batavia sekitar 70 ribu sampai 100 ribu. Peristiwa huru-hara antara masyarakat Tionghoa dan Belanda menewaskan sekitar 5.000 warga Tionghoa di Batavia dan 5.000 orang lainnya di Semarang.

Akhir abad ke-18 kedatangan masyarakat Tionghoa terus mengalir termasuk para pemodal. Mereka membangun sejumlah pabrik memproduksi barang sesuai kebutuhan masyarakat. Para pemodal Tionghoa ini disebut dengan Baba.

Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) memilah penduduk di kepulauan Indonesia menjadi tiga kelompok untuk tujuan administrasi, yakni golongan Eropa, golongan Timur Asing, dan golongan Bumiputera. Masyarakat Tionghoa masuk dalam golongan kedua.

Kehadiran pemodal Tionghoa ini menghidupkan ekonomi Hindia Belanda, sejak itu mulai dibuka bank, angkutan kapal, KLM, kereta api dan term.  

Dalam buku "WNI keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia" karya DR IR Justian Suhandinata disebut, para profesional Tionghoa yang mendukung Indonesia yang merdeka membentuk Partai Tionghoa Indonesia pada tahun 1930.

Pada Pemilu pertama tahun 1955 partai politik Baperki yang dibentuk oleh warga keturunan Tionghoa diketui oleh Siauw Giok Tjhan ikut serta dalam pemilihan anggota DPR pada tanggal 29 September, dan berhasil memperoleh dua kursi.

Harapan

Sejarah panjang telah dilalui oleh WNI keturunan Tionghoa, kemunculan tokoh-tokoh Tionghoa mewarnai pembangunan bangsa Indonesia di berbagai lini, misalnya Soe Hok Gie, Alan Budi Kusuma, Susi Susanti, Kwik Kian Gie, dan Marie E. Pangestu dan masih banyak lagi.

Ferry Setiawan atau pak Kasen tidak henti-hentinya menyosialisasikan kepada warganya jangan sampai golput pada tanggal 17 April. Baginya memilih adalah hak dasar setiap warga negara untuk ikut menyukseskan pembangunan bangsa.

Kebiasaan pada hari pencoblosan warga Glodok sudah bersiap-siap di rumahnya sejak pagi, mereka memanfaatkan hari libur untuk menyalurkan hak pilih ke TPS yang baru dibuka pukul 07.00 WIB. Warga mulai ramai berdatangi TPS pukul 10.00 WIB, setelah memilih kembali ke rumah beraktivitas seperti biasa, berkumpul bersama keluarga, ada juga yang memilih membuka tokonya, walau sepi pembeli. 

Pilpres tahun ini tidak hanya memilih presiden dan wakil presiden tetapi juga memilih anggota DPR RI, DPD RI dan DPRD untuk masa jabatan 2019-2024.

Baca juga: Pemilu dari masa ke masa

 

Editor: Sapto HP
Copyright © ANTARA 2019