Denpasar (ANTARA) - Asosiasi Pedagang Valuta Asing (APVA) Provinsi Bali mengingatkan masyarakat dan wisatawan di Pulau Dewata untuk menghindari diri bertransaksi pada pedagang valuta asing ilegal, sehingga tidak terjebak dalam berbagai tindakan atau kasus kriminal.

"Terkait keberadaan money changer ilegal ini, kami sebenarnya sudah bersurat ke Gubernur Bali, tetapi belum mendapat tanggapan. Kami harapkan pemerintah dapat segera menerbitkan pergub, sehingga bisa ditindak yang ilegal itu," kata Ketua APVA Bali Ayu Astuti Dharma di sela-sela diskusi publik, di Denpasar, Kamis.

Menurut Ayu, tempat penukaran valas rentan dimanfaatkan untuk kegiatan ilegal, bahkan bisa terjebak dalam tindak kriminal, seperti praktik pencucian uang atau pidana keuangan lainnya.

Ayu mengungkapkan saat ini tidak sedikit pedagang valas ilegal yang melakukan transaksi dengan menggunakan rekening pribadi atau karyawannya, dan tidak menggunakan rekening perusahaan.

"Hal itu yang harus dihindari. Nah jika menemukan hal seperti itu segera laporkan, karena cara yang demikian merupakan tindakan kriminal yang sangat fatal. Selain itu, praktik penukaran valas ilegal yang melakukan praktik kotor di wilayah Bali, dapat merusak citra Pulau Bali sebagai destinasi wisata dari wisatawan mancanegara," ujarnya.

Pihaknya berharap, kehadiran APVA mampu meminimalisasi kejahatan pada perdagangan valuta asing. "Itu sesuai dengan tujuan APVA, yaitu memberikan kontribusi dalam pembangunan nasional di Indonesia. Ikuti aturan resmi BI, agar nantinya APVA menjadi organisasi yang baik dan maju di mata dunia," ujarnya.

Ayu menambahkan, setiap pengusaha penukaran uang harus proaktif melaporkan sesuatu yang mencurigakan kepada Pusat Pelaporan Transaksi Keuangan (PPATK).

"Kenali costumer yang akan bertransaksi. Kami antisipasi saat ini, money changer ilegal yang ada di Jakarta, Bali, Aceh, Kalimantan, banyak melakukan usaha jual beli valas, tapi tidak memiliki izin. Sesuai dengan peraturan BI, money changer yang berizin dilarang bertransaksi dengan money changer yang ilegal," ucapnya.

Pihaknya mencatat saat ini jumlah penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank (KUPVA BB) di wilayah Provinsi Bali mencapai 121 penyelenggara dengan jumlah kantor cabang sebanyak 511, sehingga secara total terdapat 632 kantor penyelenggara KUPVA BB berizin yang melakukan kegiatan usaha penukaran uang di wilayah Provinsi Bali.

Sementara itu, Kepala Divisi SU PUPR, Layanan dan Administrasi BI Teguh Setiadi mengatakan pihaknya telah rutin menyosialisasikan agar pedagang valuta asing yang belum mengantongi izin (ilegal) segera mengurus izinnya karena mekanismenya tidak sulit dan gratis.

"Masyarakat kami imbau supaya tidak menggunakan jasa penukaran ilegal sehingga usaha-usaha yang seperti itu nantinya akan mati sendiri sebab jasanya tidak digunakan oleh konsumen," ucapnya.

Korban dari praktik pengusaha valas ilegal ini terutamanya menimpa wisman yang datang baru pertama kali ke Indonesia sehingga tidak terinformasi mana yang legal dan ilegal. "Oleh karena itu, kita harus terus berusaha karena kali ada masalah, citra pariwisata Bali akan terkena dampaknya," ucapnya.

Menurut Teguh, saat ini sudah dikeluarkan aplikasi untuk membantu konsumen dalam mencari tempat penukaran valuta asing yang terdekat dan legal.

Sedangkan Prof Dr I Wayan Ramantha, salah satu pembicara dalam diskusi itu mengatakan dampak negatif dari usaha "money changer" ilegal itu dapat menyebabkan wisatawan menjadi malas ke Bali.

"Orang berwisata membutuhkan rasa aman, tidak saja dari aspek fisik terhindar dari sisi kecopetan, namun juga tidak dibohongi dari sisi rate," ucapnya.

Menurut Ramantha, pengawasan keberadaan penukaran valas perlu ditingkatkan, selain perlu berhitung antara jumlah pengawas dibandingkan kasus-kasus yang terjadi. "Oleh karena itu, perlu kerja sama seluruh pihak terkait dan asosiasi harus terlibat betul," ucapnya pada acara yang juga menghadirkan narasumber akademisi Dr NL Mahendrawati SH, MHum dari Universitas Warmadewa itu.

Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019