Jakarta (ANTARA) - Meski menjadi perdebatan, diet rendah karbohidrat merupakan andalan sejumlah orang untuk menurunkan berat badan, termasuk dokter spesialis anak dari RSCM, dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp. A(K).

Sebelum memulai, ketahuilah ada beberapa tipe diet rendah karbohidrat yang bisa menjadi pilihan, yakni konsumsi hanya 20-50 gram karbohidrat per hari (atau kurang dari 10 persen 2.000 kkal karbohidrat), karbohidrat kurang dari 130 gram per hari atau kurang dari 26 persen total energi tubuh atau 26-45 persen dari total energi.

Setelah itu, ingatlah ada kemungkinan terjadi kondisi lapar terhadap karbohidrat (keto flu) pada masa awal. Ini karena tubuh awalnya terbiasa mendapatkan banyak asupan karbohidrat. Gejala yang biasa terjadi adalah pusing dan merasa lapar.

"Ini bisa diatasi dengan sederhana. Pertama, banyak minum. Begitu kita enggak makan karbiohidrat, glikogen keluar tuh, tergerus. Glikogen yang kegerus itu membuat air ikut keluar jadi banyak buang air kecil. Makanya harus banyak minum, kalau tidak bisa kram, kleyeng," papar Piprim di Jakarta, Sabtu.

Kedua, perbanyaklah konsumsi garam karena cairan yang keluar bersama urin mengandung garam, di samping bisa mencegah tubuh kram.

Sebaiknya pilih jenis garam Himalaya karena mengandung elektrolit yang masih murni. Garam ini berwarna merah muda dan berasal dari tambang garam Khewra Salt Mine di kaki gunung Himalaya.

"Paling bagus garam Himalaya, banyak elektrolitnya masih murni. Saya campur makanan misalnya sop buntut lah, omelet lah. Kadang-kadang diemut saja," ujar dia.

Jangan lupa banyak mengonsumsi Virgin Coconut Oil (VCO), baik langsung teguk atau dicampur minuman.

Terakhir, sebaiknya mulai jalani diet rendah karbohidrat pada akhir pekan atau hari libur, agar keluhan awal semacam pusing tak menganggu pekerjaan.

"Mulailah saat weekend, saat santai, saat enggak banyak pekerjaan. Mulai hari Jumat, nanti agak kleyeng di Sabtu dan Minggu, kan di rumah, hari Senin sudah segar lagi. Adaptasi dua minggu sampai satu bulan. Itu lagi enak-enaknya. Yang tadinya ngantukan jadi enggak ngantukan, lebih benergi, kulit makin kinclong," kata Piprim.

Baca juga: Diet rendah karbohidrat bukan untuk semua orang

Cerita dokter

Piprim menjalani diet rendah karbohidrat sejak dua tahun silam karena menderita obesitas. Waktu itu usianya 50 tahun dan beratnya mencapai 95 kilogram.

"Saya sekarang usia 52 tahun, saya gemuk sejak usia 40 tahun-an, setelah menjadi dokter spesialis. Puncaknya di usia 50 tahun saya gemuk sampai 95 kilogram dengan tinggi badan 173 cm, masuknya sudah obesitas," ujar dia di Jakarta, Sabtu.

Keluhan terbesar Piprim saat mengalami obesitas yakni mudah mengantuk, sulit mengikat tali sepatu, kesulitan naik dan turun tangga hingga memotong kuku ibu jari kaki.

Lalu, atas rekomendasi senior sejawatnya, Piprim menjalani diet rendah karbohidrat (diet ketogenik) hingga saat ini beratnya 72 kilogram. Sindiran menantu juga menjadi penyemangatnya menurunkan berat badan.

Menurut dia, inti diet rendah karbohidrat adalah mengubah metabolisme tubuh dari yang semula tergantung pada gula, menjadi lebih fleksibel memanfaatkan cadangan lemak tubuh.

"Cadangan lemak banyak (di perut buncit misalnya) tetapi enggak bisa diakses. Low carb diet membuat kita mudah mengakses lemak menjadi energi," tutur Piprim.

Baca juga: Tips ngemil dari ahli gizi

Baca juga: Dua karbohidrat baik dan buruk untuk Anda

Baca juga: Cara melawan kantuk saat puasa

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2019