Setelah semua logistik berhasil dilempar satu per satu, mereka terjun ke sungai dan merapat ke tepi untuk menyelamatkan diri dari seretan arus riam.
Samarinda (ANTARA) - Siang itu mentari sedang terik-teriknya. Namun Heriadi (30) bersama teman-temannya tetap sigap memasang bendera salah satu partai di sejumlah sisi jalan perkampungan.

Her, panggilan kesehariannya, adalah warga Kampung Long Pahangai I, Kecamatan Long Pahangai, salah satu kawasan perbatasan dengan Malaysia di Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu), Provinsi Kalimantan Timur.

Her merupakan kader salah satu partai politik di daerah perdalaman itu. Meski bermukim di perdalaman, namun warga setempat tetap antusias menyambut pesta demokrasi seiring seringnya mereka mendapat ajakan menyalurkan hak suara dari KPU setempat dan pihak terkait.

Antusias warga juga dapat dilihat dari ramainya poster dan spanduk calon anggota DPR RI, DPRD, Capres/Cawapres, bahkan calon anggota DPD RI Dapil Provinsi Kaltim pun terlihat di sejumlah titik, termasuk bendera dan umbul-umbul partai ikut mewarnainya.

Kabupaten Mahulu memiliki 50 kampung (desa) yang tersebar di lima kecamatan, yakni Long Apari, Long Pahangai, Long Bagun, Laham, dan Kecamatan Long Hubung.

Luas wilayah darat Mahulu mencapai 15.315 km per segi dengan jumlah penduduk tahun 2017 sebanyak 26.938 jiwa, sementara saat ini diperkirakan naik di kisaran 30 ribu jiwa. Sedangkan jumlah pemilih terkini berdasarkan data KPU Mahakam Ulu, terdapat 25.007 orang.

Di antara lima kecamatan tersebut, wilayah terluas ada di Kecamatan Long Apari yang mencapai 35,85 persen. Secara geografis, Kecamatan Long Apari juga yang terjauh dari Ujoh Bilang dengan jarak 335 km. Sedangkan luas wilayah paling kecil ada di Kecamatan Long Hubung yang hanya 3,47 persen dari total luas Mahulu.

Selain itu, Long Apari juga merupakan kecamatan yang berbatasan darat dengan Malaysia. Kecamatan lain yang juga berbatasan dengan negeri jiran itu adalah Long Pahangai.

Dari Ujoh Bilang, Ibu Kota Kabupaten Mahulu, untuk sampai ke Long Pahangai membutuhkan waktu empat jam menggunakan speedboat atau longboat, sedangkan dari Long Pahangai ke Tiong Ohang, Ibu Kota Kecamatan Long Apari, perlu waktu dua jam, sehingga total dari Ujoh Bilang ke Tiong Ohang dibutuhkan waktu sekitar enam jam.

Sementara untuk bisa sampai ke kampung yang paling ujung di Kecamatan Long Apari, yakni Kampung Long Apari, diperlukan waktu sekitar dua jam dari Tiong Ohang.

Namun jalur Tiong Ohang-Long Apari belum ada transportasi sungai regular, sehingga cara yang harus ditempuh adalah dengan carter speedboat atau menggunakan perahu ketinting sendiri karena belum adanya jalan darat.

Transportasi reguler dari Ujoh Bilang ke Long Pahangai membutuhkan biaya Rp700 ribu per orang dan Rp1 juta dari Ujoh Bilang ke Tiong Ohang. Perjalanannya pun harus melalui tantangan tinggi karena melalui beberapa riam ganas.

Baca juga: Gigihnya Relawan Demokrasi Tionghoa di Singkawang

Bertaruh nyawa

Dalam usaha mendulang suara di sejumlah kawasan terpencil ini, penyelenggara dan petugas pengawal Pemilu harus bertaruh nyawa karena alam ganas berbentuk riam yang harus mereka dilintasi, bahkan speedboat yang pernah mereka tumpangi dulu sudah pernah karam.

"Kami ingat saat Pilkada Mahulu pertama tahun 2015 lalu, waktu itu longboat yang kami tumpangi pecah akibat kena riam dan menghantam batu, padahal waktu itu kami sedang membawa logistik untuk pemungutan suara," ujar komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Mahulu Saaluddin.

Saat itu pihaknya dari Kantor KPU Mahulu di Long Bagun hendak mengantar logistik ke dua kecamatan di hulu Mahakam, tepatnya ke Kecamatan Long Pahangai dan Kecamatan Long Apari yang keduanya berbatasan darat dengan Malaysia.

Untuk bisa menjangkau dua kawasan ini, harus melewati dua riam berbahaya, yakni Riam Udang dan Riam Panjang karena belum adanya jalan darat yang layak, Sungai Mahakam merupakan satu-satunya akses.

Dalam keadaan longboat bermesin tiga pecah yang dipicu oleh semua mesinnya tersangkut di batu riam, lanjut Saal, hal yang ia dan teman-temannya pikirkan saat itu adalah secara spontan menyelamatkan surat suara dan kotak suara, sehingga sebelum longboat yang mereka tumpangi benar-benar karam, mereka sempat menyelamatkan barang berharga tersebut.

Cara yang mereka tempuh adalah dengan melemparkan logistik ke bebatuan maupun ke tepi sungai berbatu. Setelah semua logistik berhasil dilempar satu per satu, kemudian mereka terjun ke sungai dan merapat ke tepi untuk menyelamatkan diri dari seretan arus riam.

"Setelah sampai di tepi sungai dan mengamankan semua logistik, kami hanya mampu memandangi longboat yang masih setengah karam, kemudian dihempas arus ke bebatuan yang akhirnya pecah dan hanyut terbawa arus. Kami tidak berani menyelamatkan longboat mengingat arusnya sangat kuat," ujarnya mengenang.

Sebelumnya, pihaknya sudah melakukan langkah antisipasi, yakni surat suara dimasukkan dalam karung plastik berlapis-lapis dan dilapis lagi dengan plastik sampai diyakini kedap air, setelah itu dilakban dan diikatkan ke jeriken kosong yang tertutup rapat sebagai antisipasi jika terjadi musibah.

Seandainya waktu itu surat suara tenggelam, maka tidak akan basah karena sudah dibuat kedap air. Sedangkan jeriken kosong ini berfungsi sebagai pengapung sekaligus penunjuk arah di mana lokasi surat suara atau kotak suara berada agar bisa diambil meski tidak mudah menjangkaunya.

"Untuk Pemilu tahun ini pun kami akan menerapkan pola seperti dulu guna menjaga kemungkinan, meski kami berharap hal semacam itu tidak terjadi lagi karena jika hal itu terjadi, kami tetap repot menyelamatkan diri dan repot mencari logistik. Mohon doa untuk semua agar tidak ada masalah apapun dalam Pemilu 17 April mendatang," ucapnya.

Baca juga: Datang ke TPS sebagai bukti sayang warga Talang Mamak

Sulit Dijangkau

Sementara Agustinus Lejiu yang juga komisioner KPU Mahulu, menyatakan bahwa Kabupaten Mahulu memiliki banyak lokasi sulit dalam mendistribusikan logistik pemilu, baik distribusi kotak suara, surat suara, maupun petugasnya karena harus melalui riam deras.

“Kabupaten ini terdapat lima kecamatan. Semua kecamatan memiliki karakteristik tersendiri dalam distribusi logistik pemilu, bahkan distribusi petugasnya karena medan yang dilalui rawan kecelakaan sungai,” ujarnya.

Di Kecamatan Long Hubung, misalnya, terdapat tiga kampung yang harus ditempuh melalui Sungai Pariq, anak Sungai Mahakam, sehingga jika air surut harus menggunakan sampan kecil karena speedboat tidak bisa masuk.

Tiga kampung itu adalah Kampung Matalibaq, Wana Pariq, dan Kampung Tripariq Makmur. Untuk menuju Matalibaq dinilainya masih aman karena waktu tempuh hanya sekitar 30 menit dari muaranya.

Berbeda jika harus menuju Wana Pariq dan Tripariq Makmur, maka waktu tempuh yang dibutuhkan sekitar 2 jam, sehingga surat suara harus dibungkus rapat dengan plastik berlapis sampai kedap air agar tidak kena percikan air sungai, bahkan dilakukan pengamanan sebagai antisipasi tenggelam.

Untuk menuju dua kampung itu, lanjutnya, terkadang bisa ditempuh dengan jalan darat, tetapi itu tidak aman karena jalan masih tanah sehingga akan berlumpur jika hujan dan hanya mampu dilewati kendaraan jenis “offroad”.

Sementara untuk Kecamatan Laham, lanjut Agus, ada satu kampung dengan kondisi hampir sama, yakni Nyaribungan.

Bahkan untuk menuju kampung yang terletak di Sungai Ratah dan lebih dekat ke Provinsi Kalimantan Tengah ini jalurnya lebih ekstrem, karena dari sungai induknya, yakni Mahakam, membutuhkan waktu tempuh sekitar 8 jam dengan melewati sejumlah riam dan tikungan sungai berbatu.

Kemudian di Kecamatan Long Bagun terdapat satu kampung yang juga harus melalui riam berbahaya, yakni Kampung Batoq Kelo. Untuk mencapai kampung yang berbatasan dengan Kecamatan Long Pahangai ini harus melintasi Riam Udang.

Terlebih bagi kampung-kampung yang tersebar di dua kecamatan, yakni Kecamatan Long Pahangai dan Kecamatan Long Apari karena untuk mencapainya harus melintasi Riam Udang dan Riam Panjang.

Sedangkan untuk tiga kampung di hulu Tiong Ohang, Ibu Kota Kecamatan Long Apari, yakni Kampung Naha Silat, Naha Tivab, dan Kampung Long Apari, harus melewati satu riam lagi, yakni Riam 611 yang juga pernah menelan korban jiwa akibat hempasan riam.

“Di sejumlah titik rawan inilah yang perlu kehati-hatian tinggi, sehingga selain semua harus waspada, surat suara pun harus dipastikan kedap air dan diikatkan pada jeriken sebagai pelampung, sehingga jika terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan, maka surat suara masih bisa ditemukan melalui jeriken yang mengapung tadi,” tutur Agus.

Berdasarkan pengalaman sebelumnya, hasil perhitungan suara di TPS pada kampung-kampung yang melewati riam tersebut tidak bisa langsung dibawa ke Kantor KPU, karena tidak ada speedboat maupun longboat yang berani jalan malam, sehingga keesokan harinya baru hasil pemungutan suara itu bisa dibawa ke hilir. 

Baca juga: Gaung pemilu di bukit Bawomataluo

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019