Makassar (ANTARA) - Pakar Ilmu Komunikasi dari Universitas Airlangga Surabaya Prof Dr Henry Subiakto mengatakan hoaks sudah menjadi bagian permainan politik, bahkan hoaks telah dipercaya bisa menjadi alat sukses politik di berbagai negara. “Kenapa hoaks susah dihilangkan, walaupun ada yang menganggap sampah demokrasi. Jawabnya karena hoaks sudah menjadi ‘part of political game’,” ujarnya pada acara Forum Discussion Group yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI di Makassar, Senin.

Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika ini mengatakan produsen hoaks dan ‘hate speech’ telah menjadi bisnis ekonomi politik, dan menjadi senjata perang politik di media sosial, serta juga dianggap lebih murah dan beresiko kecil dibanding ‘money politics’ dan serangan fajar di dunia politik.

Mantan Ketua Dewan Pengawas Perum LKBN ANTARA ini mengatakan saat ini internet telah berubah menjadi ajang pertempuran, dan politik itu perang di media sosial karena dapat menciptakan disinformasi yang diviralkan yang mampu mempengaruhi hasil pertempuran politik, yang menentukan nasib bangsa.

“Hasilnya, perang, politik dan teknologi jadi tipis batasnya. Smartphone itu jadi senjata cyber army. Kalau mau menang perang fisik, maka harus terlebih dahulu bisa menang perang di jejaring media sosial,” ujar Prof Henry.

Ia menyebutkan macam-macam hoaks yang muncul dewasa ini, baik dibuat secara profesional dan terorganisasi, bentuk amatiran yang dibuat oleh aktivis pendukung yang terlalu fanatik dan tidak terorganisir, dan juga hoaks dibuat media atau masyarakat sebagai upaya spekulasi atau interpretasi memenuhi fakta yang belum lengkap

Henry menjelaskan hoaks itu mengeksploitasi keyakinan, dan fanatisme identitas, bahkan menyebarkan ketakutan, kecemasan dan kebencian.

“Hoaks mempermainkan dan memupuk sikap bawah sadar, kebencian terpendam karena perbedaan identitas, dan membenarkan prasangka, sehingga masyarakat semakin fanatik, semakin mudah dipengaruhi hoaks,” ujarnya.

Menurut dia, banyak korban hoaks dan propaganda tak sadar karena ada di ruang gema karena homo digitalis hanya mau mendengar dari sumber yang sudah sepikiran, sehingga memperteguh sikap mereka, seperti gema suara di ruang tertutup, pikiran yang berulang memperkuat pandangan yang makin mengental, ekstrim dan ‘stubborn’.

“Hoax dan media abal abalpun dianggap sebagai kebenaran karena sesuai dengan suara yang bergema,” ujarnya.

Ia mengatakan orang hanya percaya pada berita yang mereka suka, dan internet tak lagi menjadi sarana demokrasi informasi, tapi malah membutakan orang.

“Banyak yang kritis bukan pada fakta, tapi sekadar mempertahankan keyakinannya. Banyak yang bingung di belantara informasi faktual dan berita rekayasa (hoaks). Kekacauan ini makin menjadi-jadi karena kebanyakan orang malas cari konfirmasi,” ujarnya.

Prof Henry menegaskan hoaks itu harus dilawan, sebab kalau dibiarkan tanpa gugatan dan perlawanan, dia (hoaks) akan dianggap sebagai kebenaran.

“Penyebarnya ditegur, dan dicounter dengan fakta dan kebenaran. Aparat sipil negara juga tidak boleh berpihak dalam politik, tapi harus tetap melawan hoaks,” ujarnya.

Prof Henry mengakui banyak kasus hoaks saat ini tidak bisa tersentuh aturan UU ITE maupun UU lain karena UU ITE hanya bisa memberikan sanksi pada konten berupa pemblokiran tetapi tidak mampu mempidana berbagai pelaku pembuat dan penyebar hoaks, tetapi justru UU No 1 tahun 1946 banyak dipakai untuk menangani hoaks.

Meskipun, lanjut dia, sudah jelas bahwa secara etimologis, hoaks atau kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat, sehingga secara legal bahwa berita atau pemberitahuan bohong yang disengaja untuk menerbitkan keonaran telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946, pasal 14 ayat 1, dan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen (pasal 28 ayat 1)

Oleh karena itu, kata Henry, di beberapa Negara seperti Australia baru saja mensahkan UU yang mengancam denda 10 persen pendapatan global bagi medsos yang gagal bertindak cepat menghapus unggahan mengandung materi kekerasan di platform mereka, atau penjara 10 tahun bagi pejabat perusahaan itu.

Selain itu, di Singapura juga membuat UU Antihoax, yakni perusahaan Medsos wajib melaporkan kepada pemerintah jika ada hoaks, dan menghapus isi dan komentarnya yang bertentangan dengan kepentingan umum, jika tida, ada sanksi denda satu juta dollar Singapore.

“Pemerintah Indonesia saat ini juga menyiapkan regulasi mengenakan sanksi administratif hingga denda bagi PSE yang membiarkan hoaks atau konten yg melanggar UU ada di platformnya,” ujarnya.

Prof Dr Henry Subiakto memaparkan materi "Bisakah Regulasi Mewujudkan Politik Tanpa Hoax" pada acara Forum Discussion Group (FDG) yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika di Makassar, Senin (8/4/2019). (ANTARA FOTO/La Ode Masrafi)


Pewarta: Laode Masrafi
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2019