Jakarta (ANTARA News) - Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengusulkan agar tarif cukai rokok impor ditetapkan setinggi mungkin, bahkan mencapai 100 persen, untuk menekan impor rokok khususnya rokok kretek. "Usulannya kalau tidak bisa menghentikan impor (rokok kretek), kenakan tarif (cukai rokok impor) tertinggi, 200 persen," katanya di Jakarta, Kamis. Ia mengatakan, tarif cukai rokok impor sebesar 40 persen masih memungkinkan konsumen di dalam negeri memilih produk rokok kretek impor yang bisa diproduksi di Vietnam, Malaysia, China, dan Kamboja. Fahmi khawatir bila tarif cukai rokok impor yang ditetapkan masih memungkinkan pilihan konsumen cenderung ke rokok kretek impor, maka akan mengancam industri rokok kretek di Indonesia yang menjadi primadona industri rokok di Indonesia. "Tarif 40 persen, orang masih bisa pilih produksi di luar, bisa murah segala macam, sehingga tarif 40 persen tidak ada artinya. Sigaret Kretek Tangan (SKT) bisa terancam produk impor dari luar," katanya. Padahal selama ini, lanjut dia, produksi SKT itu mampu menyerap sekitar enam juta tenaga kerja. Selain itu komponen dalam negeri SKT sangat besar, mulai dari tembakau, cengkeh, dan kertas, dengan total komponen lokal mencapai 90 persen. Oleh karena itu, ia menilai tarif cukai rokok impor sebesar 40 persen bukan tarif rokok optimal. Selama ini penerimaan cukai rokok oleh negara juga cukup besar. Fahmi mengatakan, tahun lalu saja pendapatan cukai rokok mencapai Rp52 triliun. "Jadi pendapatan cukai rokok tidak tertandingi bahkan dengan penerimaan royalti PT Freeport yang mencapai Rp15 triliun sepanjang beberapa tahun. Jadi mengapa mesti impor (rokok kretek), padahal produksi dalam negeri bisa," katanya.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007