Jakarta (ANTARA) -
Pengajar ilmu politik di FISIP UI Sri Budi Eko Wardani mengatakan Partai Gerindra perlu membuka metodologi penelitian dari survei internalnya yang menyebut elektabilitas Prabowo Subianto-Sandiaga Uno berada jauh di atas Joko Widodo-Ma'ruf Amin ke publik

"Jika metodologi penelitian itu tidak dibuka ke publik, hasil survei itu tidak dapat dipertanggungjawabkan," ujar Sri di Jakarta, Selasa.

Pernyataan Sri menanggapi pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sugiono pada Senin (8/4) lalu, yang menyebut elektabilitas Prabowo unggul jauh atas Jokowi.

"Kami punya survei internal, 62 persen Prabowo, 38 persen Jokowi. Kita punya asesmen 62 persen. Yang selama ini beredar Prabowo-Sandi selalu di angka yang rendah," kata Sugiono.

Dalam pandangannya selaku akademisi, Sri mempertanyakan motif dari diumumkannya hasil survei internal Partai Gerindra tersebut.

"Kalau survei digelar internal, seharusnya itu hanya untuk konsumsi internal, bukan diumumkan ke publik. Menjadi konsumsi internal buat menyusun strategi internal. Tapi jika itu diumumkan, itu artinya ada motif untuk membangun opini publik," kata doktor di bidang politik tersebut.

Sri yang pernah aktif di Pusat Kajian Politik UI itu menambahkan, setelah hasil survei internal itu dibuka ke publik, menjadi tanggung jawab moral bagi Gerindra untuk menjelaskan metode penelitian surveinya.

"Ketika sudah menjadi pengetahuan publik, survei itu harus dibuka, termasuk metodologi penelitiannya sehingga bisa dipertanggungjawabkan. Masyarakat harus kritis soal itu, penelitinya pun harus bisa menjelaskan," katanya.

Lebih jauh Sri memandang di tahun politik ini banyak bermunculan survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang belum diketahui kredibilitasnya.

"Ada lembaga survei yang sudah teruji kredibilitasnya dan hasil surveinya terbukti mendekati kebenaran. Tapi saat ini banyak bermunculan lembaga survei yang belum diketahui track recordnya, tiba-tiba membuat survei. Ini yang harus dikritisi masyarakat," ujarnya.

Jika masyarakat tidak kritis, sambung dia, akan terbangun opini masyarakat yang asal percaya atas hasil survei yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan metodologi penelitiannya. Apalagi jika hasil survei itu dipercaya sebagai gambaran nyata Pilpres 17 April nanti.

"Jika hasil pilpres yang tidak sesuai dengan hasil survei internal kemudian dikatakan ada kecurangan, itu salah besar. Ini berbahaya dan KPU harus menjawabnya. KPU harus menjawab hasil survei tidak menggambarkan populasi pemilih yang mencoblos," tegasnya.

Sri menjelaskan, survei bukan merupakanalat pengukur populasi. Sementara hasil pemilu adalah gambaran populasi pemilih.

Survei menurut dia, alat menyaring pendapat. Sementara pendapat bisa berubah-ubah, bahkan hingga di bilik suara.

Sementara "quick count" atau hitung cepat diperoleh dengan bertanya kepada pemilih setelah mencoblos.

"Jadi 'quick count' bisa menjadi alat pembanding hasil penghitungan. Bukan hasil survei," katanya.

Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2019