Aku tidak mau macam-macam, itu nanti saja, yang penting siapa pun presidennya, partainya, yang penting yang baik
Jakarta (ANTARA) - Pandangan Maria Catriona fokus ke arah lawan bicaranya. Suaranya lantang saat menjawab pertanyaan bagaimana cara mencoblos dalam pemilihan umum.

"Gampang kok, tinggal tusuk aja nomornya, sama partai," kata perempuan tunagrahita berusia 32 tahun tersebut menjawab Antara di Center of Hope Ikatan Sindroma Down Indonesia, Jakarta, Kamis (4/4).

Sebagai warga negara yang memiliki hak pilih, Maria Catriona atau yang akrab disapa Iona sudah beberapa kali mengikuti pemilihan umum (Pemilu). Tidak ada kendala baginya, sekalipun masih ada saja suara-suara keberatan berbagai pihak atas hak suara bagi mereka yang mengalami sindrom Down seperti dirinya. 

Iona selalu datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) bersama keluarganya, bahkan ibunya selalu setia mendampinginya hingga menuju bilik suara. Terakhir pada Februari 2017, dirinya ikut memilih Gubernur DKI Jakarta.

Untuk Pemilu 2019, ia juga mengaku mengenal para calon presiden dan calon wakil presiden dari siaran berita di televisi, termasuk dari debat capres dan cawapres yang sudah empat kali digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Iona juga paham, pada Pemilu kali ini warga DKI akan mencoblos empat surat suara yaitu untuk memilih presiden dan wakil presiden, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPD.

"Ya memang ada empat yaitu presiden dan wakil presiden, DPR, DPRD dan DPD," katanya sambil menghitung menggunakan jarinya.

Tak sekadar memahami cara mencoblos, Iona juga mengerti asas Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (LUBER) dalam Pemilu. Itu alasan dirinya tidak mau mengumbar pilihannya.

"Aku tidak mau macam-macam, itu nanti saja, yang penting siapa pun presidennya, partainya yang penting yang baik," kata Iona.

Baca juga: Semangat pemilih kaum tunanetra Bandung
 
Maria Catriona berfoto usai berbincang di Center of Hope Ikatan Sindroma Down Indonesia (ISDI), Jakarta, Kamis (4/4/2019). (ANTARA/Aubrey Fanani)


Belajar dari pengalaman

Ningsih (39) yang sudah 24 tahun mendampingi Linda (29), penyandang tunagrahita lainnya, juga memiliki pengalaman tersendiri untuk urusan menemani mencoblos.

Pada Pemilu 2014, Linda pertama kali mengikuti pesta demokrasi, ujar Ningsih. Saat itu Linda sempat kebingungan dan enggan untuk mencoblos.

Namun setelah dicontohkan oleh mamanya, akhirnya Linda mau mengikuti tata cara mencoblos dari mulai mengambil surat suara hingga pergi ke bilik suara, kata Ningsih.

"Tadinya dia bingung, dia enggak mau, terus lama-lama kan dia mau karena mamanya maju duluan. Dikasih pena sama dikasih kertas sama petugas TPS baru dia masuk ke dalam. Aku lepas, tapi dia tetap enggak mau, akhirnya aku dampingi, dia mau masuk ke dalam, dia mau dan bisa," kata Ningsih.

Menurut Ningsih, Linda yang kurang fasih berbicara itu, mampu membuka surat suara sendiri dan mencoblos salah satu calon yang diinginkannya tepat di tengah gambar.

Seusai mencoblos, Linda sempat tidak mau mencelupkan jarinya ke dalam tinta pemilu, karena dipikirnya itu sama dengan pewarna yang biasa dipakai untuk menggambar.

Setelah diberikan pengertian, akhirnya Linda mau mencelupkan jarinya ke tinta tersebut seperti yang dilakukan mamanya. Sesampainya di rumah Linda justru tidak mau menghapus tinta tersebut, ujar Ningsih menceritakan kembali pengalaman tersebut.

Dari pengalaman itu, Ningsih mengatakan anak-anak seperti Linda akan mengalami kebingungan saat akan pergi ke TPS dan mengikuti tata cara pencoblosan, apalagi jika tanpa pendampingan.

Baca juga: Pesta demokrasi yang sama bagi mereka dengan gangguan jiwa
 
Linda (kiri) berdiri bersama pendampingnya Ningsih (kanan) di Center of Hope Ikatan Sindroma Down Indonesia (ISDI), Jakarta, Kamis (4/4/2019). (ANTARA/Aubrey Fanani)


Bagi Linda, pemungutan suara itu seperti hendak melakukan pendaftaran di sekolah, di mana orang banyak mengantre menunggu giliran.

"Dia pikir pendaftaran kayak seperti di sekolah itu. Cuma ini kan bedanya lembarannya lebar, kan dia bingung," ujar Ningsih.

Menurut dia, Linda malah pernah membuka surat suara dan mencoblosnya di luar bilik suara. Petugas TPS yang melihatnya langsung memberikan surat suara baru serta memintanya masuk ke bilik suara untuk melakukan pencoblosan.

Suasana hati anak-anak tunagrahita sering kali berubah sehingga mempengaruhi keinginannya untuk pergi ke TPS.

"Jika suasana hatinya sedang tidak dalam kondisi memungkinkan dia untuk pergi ke TPS, maka dia tidak mau diajak untuk pergi mencoblos," kata Ningsih.

Setelah pengalaman mencoblos yang pertama, Linda menjadi lebih akrab dengan suasana di TPS. Pada Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) DKI Jakarta 2017, Linda tidak lagi kebingungan dan sudah bisa melakukannya sendiri meski tetap Ningsih dampingi.

"Dia kenal angka, coblos nomor berapa, dia tahu angka," kata Ningsih.


Perlu simulasi

Kepala Sekolah Yayasan atau Ikatan Sindroma Down Indonesia (ISDI) Dewi Wardani Suratika menuturkan sosialisasi pemilihan umum dari KPU belum pernah ada bagi anak-anak tunagrahita di yayasan tersebut.

Padahal, menurut Dewi, sosialisasi tersebut penting untuk memperkenalkan tata cara pemilu agar tunagrahita akrab dengan suasana di TPS.

Para tunagrahita akan lebih mudah melakukan sesuatu jika sudah terbiasa melakukannya. Untuk itu, simulasi pencoblosan harus dilakukan secara intensif, sehingga mereka akan lebih memahami tata cara pemilihan para calon pemimpin baik presiden dan wakil presiden serta legislatif.

"Dengan alat peraga, anak-anak akan mengingat lebih lama," ujar Dewi.

Penyuluhan Pemilu terhadap tunagrahita hendaknya diberikan sebulan sebelum pemungutan suara dengan frekuensi tiga hingga empat kali dalam seminggu, sehingga materi penyuluhan membekas diingatan mereka, lanjut Dewi.

Menurut Dewi, pada Pemilu 2019, para tunagrahita akan lebih mudah untuk memilih calon presiden dan calon wakil presiden daripada calon legislatif karena mereka lebih sering mendengar capres dan cawapres, dibanding nama-nama caleg.

Selama ini, pengarahan dan pendidikan Pemilu diberikan oleh pihak sekolah melalui guru-guru dengan cara sederhana, karena pemahaman tunagrahita sangat sederhana.

"Kami mengarahkannya paling coblos orangnya, yang paling sederhana saya mengarahkannya seperti itu," tuturnya.

Baca juga: Mengarungi Sungai Sebayang untuk logistik pemilu


Antusias dan bangga

Dewi mengatakan anak-anak tunagrahita sangat antusias untuk datang ke TPS dan mengikuti pesta demokrasi dengan mencoblos. Pada hari pemungutan suara, biasanya mereka akan ditemani keluarga atau pendamping menuju TPS.

"Untuk yang sudah paham, mereka suka membayangkan akan memilih siapa. Intinya mereka antusias sekali untuk memilih," ujarnya.

Biasanya ketika nama mereka dipanggil untuk mencoblos di TPS, tuna grahita sering tidak memperhatikan, pada saat seperti itu pendamping akan mengingatkan giliran mereka.

Pendamping juga memberikan pemahaman cara mencoblos surat suara dan setelah dicoblos, surat suara akan dimasukkan ke kotak suara.

Namun, menurut Dewi, ada pula anak-anak tunagrahita yang sudah mandiri dan paham tata cara mencoblos sehingga tidak memerlukan pendampingan saat mencoblos surat suara di bilik suara.

Robby Eko Raharja (30) atau yang biasa disapa Eko merupakan salah satu contoh tunagrahita yang bersemangat ikut memeriahkan pesta demokrasi Indonesia.

Suatu kali, usai mengikuti Pemilukada DKI 2017, Eko dengan sumringah menunjukkan jarinya yang masih berwarna ungu oleh tinta pemilu kepada teman-teman sekolahnya di Center of Hope Ikatan Sindroma Down Indonesia.

Saat itu, Eko terlihat bangga telah menjalankan tugas dari gurunya untuk menggunakan hak pilih, ujar Nashita Nio (54), ibu dari Eko yang menceritakan kembali pengalaman putranya yang ternyata sudah dua kali ikut mencoblos.
 
Nashita Nio (kanan) bersama anaknya Robby Eko Raharja (kiri) berfoto di Center of Hope Ikatan Sindroma Down Indonesia (ISDI), Jakarta, Kamis (4/4/2019). (ANTARA/Aubrey Fanani)


Sebelumnya, menurut Nashita, Eko memang tampak begitu antusias setelah mendapat arahan dari gurunya untuk mencoblos.

Selama ini, tak ada masalah dalam mencoblos, petugas di TPS dirasa sangat mengakomodir kebutuhan Eko. Nashita pun turut mendampingi putranya hingga ke bilik suara.

Namun bukan berarti Nashita mengarahkan Eko untuk memilih calon tertentu, karena dirinya hanya menemani dan membantu jika putranya tersebut mengalami kesulitan.

Menurut Nashita, untuk Pilpres, Eko cenderung memilih calon yang sudah dikenal dan sering didengar namanya. Sementara untuk pilihan di Pemilu Legislatif, dirinya ragu jika putranya memahami apa yang akan dipilihnya.

"Saya enggak tahu isi hati mereka, apa yang dipikiran mereka. Kalau mau dibilang paham, mereka ya cap cip cup juga sih. Sepertinya masih jauh pemahamannya," kata dia.

Namun apapun itu, besok pada 17 April 2019, Nashita bersama keluarganya akan kembali mengajak Eko bersama-sama ke TPS.

Saat tempat pemungutan suara sudah mulai sepi, di mana wajah-wajah asing sudah berkurang, itu saat yang nyaman bagi Eko untuk ikut merayakan pesta demokrasi Indonesia.
 

Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2019