Bandarlampung (ANTARA News)- Lembaga kajian The Indonesian Institute (TII) menyebutkan bahwa keberhasilan pelaksanaan reformasi internal TNI yang digulirkan sejak tahun 1988 lalu cenderung dinilai hanya dari sisi politik praktis saja, seperti anggota aktif militer tidak lagi duduk sebagai anggota legislatif dan jabatan politik lainnya. "Agenda reformasi TNI di bidang politik bisa dikatakan sudah hampir selesai, karena TNI tidak lagi berpolitik praktis. Agenda reformasi di bidang politik ini yang dipuji banyak pihak, termasuk Prof Alfred C Stepan, Guru besar ilmu politik Universitas Columbia New York, Amerika Serikat," kata Direktur Eksekutif TII, Jeffrie Geovanie di Jakarta, Minggu. Selain dari sisi politik, masih ada sejumlah agenda reformasi internal militer lainnya yang masih belum tuntas hingga sekarang, yakni penataan bisnis militer, restrukturisasi organisasi TNI di bawah Departemen Pertahanan dan penguatan kontrol sipil atas militer melalui DPR. Anggota Dewan Penasehat CSIS itu juga mengatakan bahwa tingkat kesejahteraan dan disiplin prajurit masih belum memuaskan, padahal kedua faktor itu sangat berperan dalam upaya peningkatan profesionalisme militer. Untuk membangun militer yang profesional memang tergantung kemampuan anggaran negara untuk memperbaiki kesejahteraan para prajuritnya serta menyediakan alutsista yang sesuai dengan strategi, postur dan doktrin pertahanan negara. Menurut dia, agenda reformasi pertahanan negara yang masih macet sampai sekarang, terutama dalam perubahan strategi, postur dan doktrin pertahanan negara. Meski agenda reformasi internal TNI di bidang politik mendapatkan penilaian bagus dari banyak kalangan, namun pelaksanaan reformasi itu secara komprehensif masih dalam kategori "cukup". "Jadi nilainya baru enam, namun yang sering dilihat orang adalah ketidakterlibatan militer dalam politik praktis saja," kata Jeffrie pula. Sebelumnya, Prof Alfred C Stepan menilai reformasi internal TNI berlangsung menakjubkan, seperti tidak lagi memiliki kursi di DPR meski punya jatah sampai tahun 2009 dan melepaskan Dwifungsi ABRI (TNI-Polri). Padahal di beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Laos, Vietnam, Thailand dan Myanmar, justru militer melakukan kudeta. Ia juga menyebutkan kecil kemungkinan militer mengkhianati reformasi internal itu karena dikontrol kekuatan organisasi sipil besar, seperti NU dan Muhamadiyah. Namun ia juga mengatakan dengan tegas bahwa reformasi bisa dipertahankan dengan baik maka Indonesia harus memperkuat demokrasi di bidang ekonomi, seperti menyediakan kebutuhan dasar berupa sekolah, rumah sakit dan santunan-santunan sosial. Dalam kesempatan terpisah, Kasad Jenderal Djoko Santoso mengatakan bahwa tuntutan untuk mereformasi profesionalitas dan kesejahteraan TNI bergantung kepada kemampuan anggaran negara. "Sebab, untuk membangun profesionalitas erat kaitannya dengan intensitas latihan dan kualitas maupun kuantitas alat utama sistem senjata yang dimiliki," kata Djoko.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007