"Walaupun wajar apabila petani menuntut HPP untuk disesuaikan dengan biaya produksi, akan tetapi kenaikan biaya produksi tanpa disertai kualitas gula yang lebih baik justru akan merugikan pengusaha pengguna gula sebagai bahan produksi, seperti indust
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah diharapkan dapat membantu petani gula untuk mengurangi beban biaya produksi komoditas tersebut mengingat kalangan petani gula mengharapkan ada kenaikan harga pokok penjualan komoditas gula.

"Petani gula kembali menuntut kenaikan HPP setelah menuntut hal serupa. Namun kali ini, angka yang diajukan berubah dari Rp10.500 menjadi Rp10.900. Pertimbangan dari perubahan angka tersebut adalah perkembangan terbaru biaya pokok produksi gula pasir di tingkat petani," kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman dalam siaran pers di Jakarta, Kamis.

Menurut Assyifa Szami Ilman, tuntutan itu sebenarnya tidak akan membawa kondisi yang lebih baik bagi seluruh pelaku industri gula dan juga konsumen secara umum.

Meski demikian, jelas Ilman, tuntutan petani untuk menaikkan HPP adalah wajar karena mereka harus menyesuaikan dengan tingginya biaya produksi.

"Walaupun wajar apabila petani menuntut HPP untuk disesuaikan dengan biaya produksi, akan tetapi kenaikan biaya produksi tanpa disertai kualitas gula yang lebih baik justru akan merugikan pengusaha pengguna gula sebagai bahan produksi, seperti industri makan dan minuman," katanya.

Pada akhirnya, ujar dia, industri-industri ini akan menaikkan harga produk mereka yang juga dikonsumsi oleh rumah tangga termasuk petani gula.

Ia mengingatkan bahwa industri gula saat ini dihadapkan pada pabrik-pabrik yang cukup tua dan tidak memiliki skala keekonomian yang optimal untuk memproduksi gula dalam harga yang terjangkau, sehingga sebaiknya revitalisasi pabrik ini dan tindakan-tindakan lain yang sifatnya membantu menurunkan biaya produksi industri gula lebih diutamakan.

Hal ini di antaranya subsidi tertarget kepada petani, mekanisasi dan pelatihan praktik tanam yang baik.

Untuk itu, ujar Ilman, pemerintah sebaiknya terus mendorong revitalisasi pabrik gula agar menjamin kesejahteraan petani dan keterjangkauan harga gula dalam jangka panjang.

“Apabila konsisten menekuni jalan ini, tingkat produksi gula pelan-pelan dapat ditingkatkan sehingga bisa menjadi komoditas ekspor dan menguntungkan Indonesia. Walaupun mungkin jalan menuju ke ranah tersebut masih panjang,” tambahnya.

Sebelumnya, Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) meminta  pemerintah lebih bijak saat mengimpor gula, dengan menyesuaikan kebutuhan konsumsi nasional.

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI) Sumitro Samadikun mengungkapkan beredarnya gula impor di pasaran membuat petani tebu mengalami masa-masa sulit untuk menjual gula hasil produksi mereka di pasaran.

"Dari produksi gula sebesar 2,2 juta ton harus memenuhi kebutuhan konsumsi gula sebesar 2,8 juta ton berarti kita kurang sekitar 600 ribu ton. Tapi untuk menutupi kekurangan yang 600 ribu ton pemerintah malah impor gula sebanyak 3,6 juta ton. berarti stok gula jadi berlebih sebanyak 3 juta ton," kata Sumitro saat diskusi "Meningkatkan produktivitas gula jelang bulan Ramadhan" yang digelar oleh Jalan Media Communication (JMC), di Hotel Bukit Daun, Kediri, Jawa Timur, Selasa (9/4).

Ia mengungkapkan, gula impor yang beredar di pasaran saat ini telah melebihi dari kebutuhan konsumsi Tanah Air. Kebutuhan gula untuk Tanah Air, sekitar 2,8 juta ton, sedangkan produksi gula yang dihasilkan oleh petani sekitar 2,2 juta ton. Sementara pemerintah melakukan impor gula sebesar 3,6 juta ton.

Ia menambahkan, dari 3 juta ton gula impor yang berlebih itu telah dijual ke pasar tradisional dengan harga murah. Hal itu membuat gula lokal yang diproduksi oleh petani Tanah Air rugi. "Karena gula impor berlebih, maka dijual ke pasar tradisional. Dijualnya dengan harga murah di bawah harga dari gula lokal yang dihasilkan oleh petani. Hal ini yang akan membuat petani Tanah Air merugi," ujarnya.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019