Jakarta (ANTARA) - Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 5 tahun terakhir belum mencapai 7 persen seperti yang dijanjikan dalam kampanye Presiden Joko Widodo pada 2014, namun arah perbaikan menuju pertumbuhan ekonomi yang tinggi sudah mulai terlihat.

"Ekonomi Indonesia tumbuh stabil di tengah kondisi perekonomian global yang tidak menentu. Pertumbuhan tidak cukup dilihat dari tinggi rendahnya angka pertumbuhan, namun juga yang perlu adalah bagaimana pertumbuhan itu bisa dinikmati rakyat," kata
Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global LPEM FEB UI Mohamad Dian Revindo dalam siaran pers di Jakarta, Sabtu.

Menurut Revindo, pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat mencapai 6,81 persen pada 2010, lalu perlahan-lahan turun ke 6,44 persen (2011), 6,10 persen (2012), 5,56 persen (2013), 5,02 (2014) dan mencapai titik terendah tahun ke 4,79 persen pada 2015.

Kemudian perlahan pertumbuhan ekonomi kembali merangkak naik ke 5,02 persen (2016), 5,07 persen (2017) dan 5,17 persen pada 2018.

"Artinya, meskipun masih di bawah target pemerintah yang 7 persen, tetapi perekonomian kita perlahan lahan kembali bangkit, perlahan menguat dan stabil," ujarnya.

Yang paling mudah adalah dengan melihat dampak dari pertumbuhan terhadap ketimpangan yang umumnya diukur dengan Koefisien Gini, besarnya antara 0 (sangat merata) hingga 1 (sangat tidak merata).

Suatu negara dikatakan mengkhawatirkan ketimpangannya jika koefisien gininya di atas 0.4.
Sebelum 2011, koefisien gini Indonesia di bawah 0,4 yang berarti pemerataan cukup baik.

Sejak 2012 hingga 2015 terjadi peningkatan ketimpangan dimana koefisien gini naik ke kisaran 0,41. Pada 2016, ketimpangan kembali membaik dimana koefisien gini turun ke 0,4 lalu pada 2017 dan 2018 semakin membaik dengan kembali turun ke kisaran 0,39.

"Pertumbuhan ekonomi yang pada kisaran 5 persen ini ternyata punya dampak yang cukup baik pada pemerataan pendapatan," ujar doktor ilmu ekonomi lulusan Lincoln University, New Zealand.

Infrastruktur

Pertumbuhan ekonomi juga mampu menciptakan kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan.
Pengangguran terbuka sempat naik dari 5,94 persen di 2014 ke 6,18 persen di 2015, tetapi perlahan turun ke 5,61 persen di 2016, 5,5 persen di 2017 dan tinggal 5,34 persen atau sekitar 7 juta jiwa di 2018.

Angka kemiskinan juga sempat naik dari 10,96 persen di 2014 ke 11,13 persen di 2015, tetapi perlahan turun ke 10,7 persen di 2016, 10,12 persen di 2017 dan tinggal 9,66 persen dari populasi di 2018.

Dirinya yakin bahwa kecenderungan yang baik ini akan berlanjut dan sinambung di masa depan.
Sebabya pemerintah saat ini fokus pada pembangunan infrastruktur yang berarti memperbesar kapasitas produksi kita.

"Jangan lupa, infrastruktur yang dibangun bukan hanya jalan tol, tetapi juga infrastruktur energi, air dan transportasi non tol," tandasnya.

Dalam hal energi, selama 4,5 tahun kita telah memiliki tambahan daya 19 ribu megawatt dan Pertamina sedang membangun 6 kilang minyak.

Dalam hal air, 65 bendungan telah dan sedang dibangun, selain ribuan kilometer perbaikan saluran irigasi.

Dalam hal transportasi, selain jalan tol pemerintah juga membangun 15 bandara baru dan mengembangkan kapasitas puluhan bandara lama serta 27 pelabuhan baru dan pengembangan puluhan pelabuhan lama. Kesemua ini akan menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi di masa depan.

Baca juga: Pemerintah dinilai berhasil pertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi
Baca juga: RI harus tumbuh 5 persen lebih, agar keluar dari "middle income trap"

 

Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019