Jayapura (ANTARA) - Keramaian menyambut pesta demokrasi juga dirasakan di wilayah perbatasan RI-Papua Nugini (PNG), khususnya di Kampung Skouw, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura. Wilayah terdepan dari republik yang berada di Provinsi Papua ini memiliki masyarakat yang hampir sebagian besar masih sulit berbahasa Indonesia dan biasanya paling banyak bermukim di Kampung Mosso, salah satu kampung yang berada di Distrik Muara Tami.
Di Kampung Mosso ini banyak dijumpai orang asli Papua yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan warga negara dari Papua Nugini (PNG) sehingga tak heran penggunaan Inggris Fiji (bahasa asli setempat) masih sering terdengar.
Meskipun kemampuan berbahasa Indonesianya masih rendah, namun animo warga perbatasan untuk ikut serta dalam pesta demokrasi yang akan digelar 17 April 2019 ini cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dengan kelengkapan administrasi kependudukan yang dimiliki masing-masing kepala keluarga (KK) agar dapat menggunakan hak pilihnya sebagai warga negara.
Ondoafi (Kepala Suku) Perbatasan Skouw-Wutung Stanis Tanfa Chilong yang sejak 2003 menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) dan bermukim di Kampung Mosso selalu mengingatkan kepada anggota keluarganya bahwa untuk bisa mencoblos harus memiliki identitas diri yang ditunjukkan dengan kartu tanda penduduk (KTP).
Rupanya Stanis setelah lama menjadi WNI sudah mengingat dengan baik aturan perundang-undangan Indonesia mengenai pelaksanaan pemilu, sehingga persyaratan menjadi pemilih pun sudah diketahuinya.
"Anak-anak tanpa KTP saya tidak izinkan coblos," kata Ondo Stanis kepada Antara menggunakan bahasa Indonesia yang berdialek Inggris Fiji ala PNG.
Bagi Ondo Stanis yang memiliki 12 anak laki-laki, semua anggota keluarganya sudah memiliki KTP sehingga kini jika hendak mencoblos telah diperbolehkan, sedangkan bagi sanak keluarga lainnya yang baru saja bergabung dengan NKRI dan belum memiliki kelengkapan administrasi kependudukan, dirinya melarang untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
Ondo Stanis juga mengaku senang menjadi warga negara Indonesia, sehingga berjanji akan berada di Kampung Mosso hingga akhir hayatnya.
Hal yang dilakukan oleh Ondo Stanis ini dibenarkan Babinkamtibmas Kampung Mosso Nurdin Makuasang. Ia menyatakan pihaknya baru saja mendata kedatangan sanak keluarga ondoafi perbatasan Skouw-Wutung yang berjumlah sekitar tujuh KK, di mana kesemuanya belum dilengkapi dengan KTP sehingga tidak bisa mengikuti pemilu dalam waktu dekat ini.
Sosialisasi dan simulasi
Kawasan Perbatasan RI-PNG di Kota Jayapura ini nantinya memiliki dua TPS yang berada di Balai Desa Kampung Mosso dan lapangan helipad depan Posko Taktis Satgas Pamtas wilayah setempat, di mana jumlah kepala keluarganya mencapai 161 KK dengan perkiraan pemilih berjumlah 500-600 orang.
Namun, katanya, data tersebut belum diperbaharui semenjak peristiwa kebakaran pasar perbatasan pada Minggu (28/10) setahun lalu. Pasalnya, banyak warga perbatasan yang umumnya adalah pedagang akhirnya kembali ke kampungnya masing-masing setelah los dan kios miliknya terbakar.
"Jadi, wilayah perbatasan ini terdapat tiga RT, di mana RT 1 kebanyakan warganya merupakan pelintas batas yang berkewarganegaraan Indonesia, sedangkan RT 2 dan 3 merupakan masyarakat bermatapencaharian pedagang di pasar perbatasan," kata Kepala Pos Polisi (Kapospol) Subsektor Skouw Ipda Kasrun.
Menurutnya, kesadaran masyarakat perbatasan menggunakan hak pilihnya pada pemilu sudah meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Meskipun hari pasar di perbatasan, yakni Selasa dan Kamis, warga yang bermatapencaharian pedagang bisa mendahulukan datang ke TPS, untuk mencoblos baru setelah itu ke perbatasan untuk berjualan.
Meskipun kesadaran menggunakan hak pilih dan datang ke TPS ini sudah meningkat, namun ia berharap sosialisasi dan simulasi mengenai pemilu segera dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat.
Ia mengemukakan kini banyak warga PNG yang baru masuk ke wilayah Indonesia dan banyak keluarganya yang sudah menjadi WNI, tetapi belum didata dengan baik, sehingga diharapkan KPU segera melakukan sosialisasi dan simulasi agar ke depannya tidak mempersulit lagi ketika hendak mencoblos.
Dengan sosialisasi dan simulasi ini, ketika warga datang ke TPS langsung dapat memilih dan pulang tanpa mengganggu aktivitasnya masing-masing, baik yang berkebun maupun berjualan. Babinkamtibmas pun tidak perlu lagi mendampingi petugas TPS maupun saksi-saksi, seperti tahun-tahun sebelumnya.
Di tahun-tahun sebelumnya, untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, terkadang Babinkamtibmas meminta bantuan Satgas Pamtas yang bertugas untuk "mengurung" warga perbatasan di lingkungan tempat tinggalnya masing-masing sehingga dapat ke TPS terlebih dahulu baru melaksanakan aktivitasnya, baik berkebun maupun berjualan.
"Kalau tidak begitu, waktu pencoblosan bisa molor karena harus menunggu warga datang satu per satu, jadi sebenarnya jika kegiatan pemilihan, waktunya lebih dari pukul 13.00 WIT, bukan karena jumlah warganya yang banyak, tetapi lama menunggu masyarakat datang ke TPS," ujar Nurdin yang dibenarkan Ipda Kasrun.
Tak heran, petugas di TPS, babinkamtibmas dan jajaran pemerintah kampung setempat harus menggunakan sistem "jemput bola" dan memanggil warga di permukimannya masing-masing. Ketiadaan sinyal telekomunikasi juga mempersulit komunikasi, petugas juga menjadi kebingungan, termasuk pengamanan kecuali jika ada yang meminta pertolongan dan bantuan dari satgas pamtas menggunakan radio ring sehingga bisa terjangkau di mana informasi keluar menjadi lebih cepat.
Kesiapan mencoblos
Bagi KPU Provinsi Papua, persiapan pelaksanaan pemilu, khususnya di kawasan perbatasan RI-PNG, hingga kini terkendala beberapa faktor, di antaranya bahasa, data jumlah pemilih yang berubah-ubah dan kepemilikan KTP atau kartu identitas kependudukan.
Meskipun demikian, komisioner KPU Provinsi Papua Bidang Sosialisasi Pemilu Tarwinto mengakui hingga kini belum ada sosialisasi dilaksanakan di kawasan perbatasan RI-PNG yang berada di Kota Jayapura, namun hal ini sudah dijadwalkan.
Selain itu, data jumlah warga yang berubah-ubah pun tengah diupayakan penyelesaian, yakni jika ada masyarakat tidak terdata, maka akan dimasukkan dalam data pemilih khusus, menyesuaikan dengan penetapan jumlah surat suara yang kini masih diperdebatkan.
Untuk kepemilikan KTP, sudah pasti yang mencoblos adalah warga negara Indonesia yang mempunyai identitas diri, sehingga tidak mungkin yang berkewarganegaraan ganda dapat mencoblos.
"Ini menjadi tugas dari aparat pemerintahan di kampung setempat untuk mengecek dan mengawasinya," kata Tarwinto.
Perihal identitas diri ini, Kepala Kampung Mosso Agus Wepa Foa menegaskan pihaknya terus mengingatkan warga yang memiliki hak pilih juga harus disertai dengan kepemilikan KTP sebagai bukti warga negara Indonesia.
Selama menjabat sebagai kepala kampung, Agus mengakui pelaksanaan pemilu di wilayahnya berjalan dengan aman dan situasi terkendali, pasalnya, selalu ada pengecekan administrasi kependudukan yang dilakukannya agar ketika warga datang ke TPS tidak menghadapi kendala serta dapat langsung menggunakan hak pilihnya di bilik suara.
Agus meminta warganya tidak mudah terprovokasi oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab sehingga pelaksanaan pesta demokrasi di wilayahnya tidak terganggu. Distribusi logistik untuk pemilu pun berjalan dengan baik di tahun-tahun sebelumnya, sehingga diharapkan pada pilpres dan pileg 2019 ini juga demikian.
Kaitannya dengan logistik pemilu setelah didistribusikan dari KPU, seperti surat suara, sebelumnya disimpan di Kantor Kelurahan Koya Timur, di mana pada saat hendak memilih baru didrop pada keesokan harinya, sehingga tidak langsung diinapkan di TPS untuk menjaga terjadinya kerawanan. (*)
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019