Palu (ANTARA News) - Sulawesi Tengah dalam enam bulan terakhir telah mengekspor 60,008 ton kakao yang nilainya 88,765 juta dolar AS. Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Sulteng Omus Montjai di Palu, Jumat, menyebut bahwa Amerika Serikat masih menjadi negara tujuan utama ekspor biji kakao dari daerahnya. Dibanding periode sama sebelumnya, perolehan devisa kali ini sedikit penurunan. Namun demikian, komoditi perkebunan tersebut diperkirakan masih tetap sebagai penyumbang devisa terbesar komoditas non-migas Sulteng 2007. Produk primadona masyarakat Sulteng itu pada 2006 berhasil meraup devisa sekitar 134 juta dolar AS atau sekitar 75 persen dari total ekspor non migas. Sekalipun realisasi ekspor kakao Sulteng hingga saat ini baru sekitar 60 ribu ton, namun tetap optimistis hingga akhir 2007 bisa mencapai target. Pemprov Sulteng menargetkan volume maupun devisa ekspor kakao Sulteng tahun ini setidaknya sama dengan sebelumnya. Sementara total perolehan devisa ekspor Sulteng hingga kini mencapai 105,416 juta dolar AS dari ekspor 12 jenis komoditas antara lain bahan bangunan dari kayu, kerajinan kayu hitam (ebony), tepung kelapa, kayu kelapa, rotan, minyak kelapa sawit (CPO), minyak kelapa murni, perabot rumah tangga, biji kakao dan kakao residu. Dinas Perindagkop Sulteng terus mendorong para eksportir untuk meningkatkan kualitas barang yang akan diekspor agar dapat memenuhi selera pasar internasional. Khusus mutu biji kakao produksi petani Sulteng masih tergolong rendah, berbagai faktor penyebab rendahnya kualitas kakao Sulteng diantaranya sistem fermentasi selama ini masih tradisional, sehingga kualitas yang dihasilkan jauh di bawah standar pasar. Oleh karena itu, pemerintah bersama-sama asosiasi kakao di daerah itu perlu mengambil langkah-langkah proaktif meningkatkan mutu kakao melalui sistem fermentasi yang benar kepada para petani. Penyuluhan mengenai sistem fermentasi yang benar perlu terus dilakukan instansi tehnis dan terkait lainnya, sehingga petani di Sulteng dapat menerapkanya. Sementara Kepala Seksi Ekspor Disperindagkop Sulteng Ali Landeng secara terpisah mengatakan, pemerintah perlu menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif jika ingin kegiatan ekspor meningkat. Jika iklim usaha konsudif, niscaya eksportir akan bergairah meningkatkan ekspor berbagai komoditas pertanian, perkebunan, kehutanan dan hasil laut. Iklim usaha yang ada sekarang ini belum kondusif sehingga sulit bagi eksportir meningkatkan volume ekspor. Hambatan utama yang dihadapi eksportir menyangkut Perda tetang SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) hanya berlaku satu tahun. Padahal di daerah-daerah lain, SIUP berlaku antara lima hingga 10 tahun. "Bayangkan saja ada eksportir yang belum melakukan kegiatan, karena sedang melengkapi berbagai sarana dan prasana usaha, masa berlaku SIUP sudah habis," ujarnya. Otomatis, pengusaha bersangkutan akhirnya malas dan kebanyakan tidak lagi memperpanjang SIUP dan lebih memilih untuk menanamkan modalnya di daerah lain yang memang iklim usaha di daerah tersebut cukup kondusif. Karenanya, pemerintah provinsi dan Pemkot agar mempertimbangkan kembali penerbitan SIUP dengan masa berlaku sedikitnya lima tahun.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007