Intinya kalau kita menebar benih, kita juga akan menuai. Jadi konsepnya memberi dan menerima.
Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka (IKMA) Kementerian perindustrian Gati Wibawaningsih tak pernah bermimpi akan menduduki kursi eselon I di sebuah kementerian. Cita-citanya sejak kecil yakni ingin menjadi seorang pengusaha.

Namun, ayahnya, yang merupakan seorang pejabat di Kementerian Penerangan kala itu, memberinya inspirasi untuk turut bisa mengabdi kepada negara.

Peningkatan karier perempuan kelahiran Bogor, 25 Juli 1961 ini dimulai sejak ia menjadi Kepala Sub Direktorat, yang dengan keseriusannya bekerja, Gati dibidik untuk menjadi direktur dalam waktu enam bulan.

Setahun kemudian, ia dilantik untuk meraih kursi eselon I menggantikan Euis Saedah yang pada 2017 memasuki masa pensiun.

"Saya sempat ingin keluar dari Kemenperin dua kali. Sempat cuti delapan bulan, kemudian masuk lagi dan menjadi direktur lalu dirjen," tutur Gati kepada Antara di Jakarta.

Menurutnya, keseriusan dalam bekerja dengan memperhatikan hal-hal kecil untuk diselesaikan sebaik mungkin, menjadi salah satu keunggulannya untuk bisa berada di posisi saat ini.

"Untuk menjadi dirjen itu memang tidak mudah. Kita harus bersaing dengan para laki-laki juga. Sehingga kita berkompetisi untuk menunjukkan apa keunggulan kita," Gati mengutarakan.

Kini, ia memimpin Ditjen IKMA yang membina 4,4 juta IKM di Indonesia untuk terus meningkatkan daya saingnya.

Baca juga: Kemenperin bentuk IKM Mind, perluas pasar domestik dan ekspor

Membina jutaan IKM memiliki tantangan tersendiri bagi sosok Kartini di Kemenperin ini. Salah satunya adalah masih lemahnya komitmen IKM untuk menerapkan pembinaan yang diberikan.

Gati bercerita, perusahaan Astra International membutuhkan waktu dua tahun untuk membina IKM logam yang ada di Ceper, Klaten, Jawa Tengah, dan menularkan budaya kerja yang semestinya.

"Mereka diminta untuk disiplin menggunakan masker, topi, sarung tangan, sepatu. Sewaktu yang membimbing ada, mereka pakai semua. Tapi ketika ditinggal, mereka tidak gunakan lagi. Ini membutuhkan waktu dua tahun," ujar Gati.

Untuk menghadapi hal itu, Gati memilih untuk bersabar dan senantiasa mengayomi para IKM.

"Kita harus sabar. Makanya, kalau urusan sama IKM harus perempuan. Kalau laki-laki kan biasanya tidak sabaran, terlalu pragmatis. Kalau kita kan antara pragmatis dan sabar," kata Gati.

Di balik itu, lulusan fakultas ekonomi Vanderbilt University, Amerika Serikat ini, akan merasa sangat puas ketika terdapat IKM binaannya yang semakin berhasil.

Misalnya, mereka berhasil menjadi bagian dari pasar daring, sehingga penjualan mereka mampu menembus pasar ekspor. Dengan demikian, Gati merasa apa yang dilakukan selama ini membawa manfaat bagi bangsa dan negara.

Sebagai satu-satunya srikandi yang menduduki kursi eselon I di Kemenperin, Gati berharap agar lebih banyak jumlah IKM yang merambah pasar digital, sehingga mampu meningkatkan produktivitas hingga akses pemasaran.

"Impian besar saya ya semua IKM masuk marketplace. Terutama yang menengah ya, yang jumlahnya sekitar 30.000 itu," tukas Gati.

Emansipasi
Menurut Gati, emansipasi baginya adalah kesetaraan tanpa melupakan kodrat sebagai perempuan. Kesetaraan dalam karier ia rasakan ketika pendapatnya sama-sama didengar untuk mengimplementasikan ide dalam sebuah program.

"Koordinasi internal kami baik. Kalau ada yang perlu diselesaikan saya tinggal menghubungi dirjen yang lain. Biasanya saya juga mengedepankan nonformal meeting agar lebih cair," kata Gati.

Lewat kesetaraan di dunia karier, Gati mampu menerjemahkan keinginan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto yang meminta IKM untuk merambah pasar digital melalui Program e-Smart IKM.

Program yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas IKM di Indonesia ini nyatanya mampu menjadi pematik bagi pihak lain agar turut membina IKM nasional.

"E-Smart sebagai pematik. Sekarang, banyak e-commerce yang juga memberikan pelatihan dan pembinaan," tukas Gati.

Kendati demikian, Gati menyampaikan bahwa sebagai perempuan, ia perlu tetap menghargai suami yang menjadi imamnya ketika pulang ke rumah.

"Makanya kalau perempuan menjadi dirjen tanpa dukungan suami, itu berat. Jadi, imam di rumah tetaplah suami, meskipun di luar kita menjadi atasan," ungkapnya.

Prinsip hidup Raden Ajeng Kartini yang senantiasa berbuat kebaikan untuk meraih kebaikan juga adalah filosofi yang dianut Gati untuk menjalankan kehidupan karier maupun rumah tangganya.

"Intinya kalau kita menebar benih, kita juga akan menuai. Jadi konsepnya memberi dan menerima," pungkas Gati.

Baca juga: Digencarkan, sosialisasi program restrukturisasi mesin IKM

Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2019