Jakarta (ANTARA News) - Munculnya siaran televisi berlangganan dari Malaysia, Astro, memicu kegerahan di kalangan operator televisi berlangganan di Indonesia karena dinilai melakukan monopoli dan masalah tersebut dibahas DPR RI. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VI DPR RI yang dipimpin Totok Daryanto dari Fraksi PAN di Gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa, membahas kehadiran Astro. Sejumlah pengelola televisi berlangganan hadir dalam RDPU tersebut, antara lain Indovision, Telkom Vision, Indosat dan Kabelvision. Direktur Indovison Rudi Tanusudibyo menjelaskan, operator televisi berlangganan Indonesia sangat dirugikan dengan munculnya Astro. Astro merebut pangsa pasar televisi berlangganan dengan memancarkan langsung siarannya dari Kuala Lumpur (Malaysia), sementara televisi asal Indonesia dilarang memancarkan secara langsung siarannya ke wilayah Malaysia. Salah satu kerugian operator televisi berlangganan Indonesia dengan munculnya Astro adalah beralihnya siaran sepakbola Liga Inggris yang sangat difavoritkan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia tidak bisa menonton siaran langsung Liga Inggris, kecuali harus berlangganan Astro. Padahal sebelumnya, siaran Liga Inggris bisa dinikmati melalui televisi berlangganan di dalam negeri. Menurut Rudi, pemancaran siaran secara langsung hanya bisa dilakukan bila memenuhi prinsip-prinsip resiprokal. "Tetapi prinsip tersebut tidak dipatuhi Malaysia karena televisi kita tidak bisa siaran langsung ke Malaysia. Ini sebenarnya kasus kedua. Yang pertama diambil `chanel`-nya, sekarang isi (content) juga diambil," katanya. Persoalan itu telah lama dilaporkan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika (waktu itu) Sofyan Djalil. Tetapi pemerintah tidak memberi respon yang baik. Yang dipersoalkan adalah "landing right " satelit Measat di wilayah Indonesia yang digunakan Astro untuk memancarkan siarannya secara langsung ke wilayah Indonesia. Sampai saat ini, Malaysia tetap tidak mengizinkan televisi Indonesia memancarkan siarannya secara langsung ke Malaysia. Pihak Astro juga tidak menanggapi persoalan yang dihadapi operator televisi berlangganan Indonesia. "Begitu ketat Malaysia melindungi warganya dari siaran negara lain. Semestinya pemerintah kita juga bisa bersikap tegas seperti itu," kata Rudi. Jika hal ini dibiarkan, maka tidak ada persaingan sehat. Pihaknya mempertanyakan mengapa hal itu bisa diizinkan pemerintah. Mungkin ada lobi-lobi khusus sehingga ada hak khusus kepada Astro. "Dari segi harga langganan mungkin baik. Masyarakat diuntungkan, sedangkan operator juga harus memperhitungkan keuntungan secara wajar. Tetapi persaingannya tidak sehat," katanya. Pola siaran satelit Measat dari Malaysia langsung ke pelanggan sangat merugikan pelaku usaha sejenis di Indonesia. Padahal satelit Indonesia tidak bisa memancarkan siaran televisi ke Malaysia kecuali melalui operator setempat. Dengan demikian, isi siaran bisa diolah terlebih dahulu. "Belum pernah ada satelit Indonesia bisa menyiarkan televisi langsung ke rumah penduduk Malaysia. Kami ingin berusaha dengan ketentuan yang sama. Kalau pemerintah Malaysia bisa dukung penuh Astro, mestinya pemerintah kita juga bisa begitu," katanya. Totok Daryanto mengemukakan, pihaknya akan memanggil pengelola Astro untuk menjelaskan persoalan tersebut. Sedangkan Irmadi Lubis (PDIP) mengemukakan berbahaya bila seluruh siaran dalam televisi dikuasai sepenuhnya oleh pihak asing tanpa bekerjasama dengan operator lokal. Hal itu menyalahi ketentuan UU No.32/2002 tentang Penyiaran. "Mengapa Astro mendapat izin untuk siaran langsung ke pelanggan? Ini harus dipertanyakan pimpinan dan anggota DPR kepada pemerintah," katanya. Kalangan DPR mendukung operator televisi berlangganan dalam negeri juga mengadukan persoalan ini ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007