Bengkulu (ANTARA) - Para aktivis lingkungan menyorot keberadaan delapan perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di kawasan penyangga Hutan Lindung Bukit Daun yang merupakan catchment area atau daerah tangkapan air hulu Sungai Air Bengkulu yang meluap akibat hujan deras dan mengakibatkan banjir merendam wilayah Bengkulu Tengah dan Kota Bengkulu.

“Banjir yang melanda hampir seluruh wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Bengkulu tidak bisa hanya ditimpakan pada hujan yang mengguyur daerah ini pada 26 April 2019 sejak siang hingga malam hari tapi ada akar masalah yang harus diungkap yaitu tambang batu bara di hulu Sungai Bengkulu,” kata Direktur Kanopi Bengkulu, Ali Akbar di Bengkulu, Minggu.

Menurut dia, debit air yang tidak mampu ditampung oleh sungai-sungai yang ada seperti Sungai Bengkulu, Sungai Ketahun dan Sungai Musi seharusnya menjadi poin perhatian utama untuk mencari akar masalah dari bencana di akhir April yang sudah merenggut 10 korban nyawa dan delapan masih hilang.

Ali menyebutkan bahwa kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Bengkulu di wilayah Kabupaten Bengkulu Tengah telah habis dikapling untuk pertambangan batu bara dan perkebunan sawit. Tercatat ada delapan perusahaan tambang batu bara di hulu sungai yaitu PT. Bengkulu Bio Energi, PT. Kusuma Raya Utama, PT. Bara Mega Quantum, PT. Inti Bara Perdana, PT. Danau Mas Hitam, PT. Ratu Samban Mining, PT. Griya Pat Petulai, PT. Cipta Buana Seraya dengan luas total 19 ribu hektare. Ditambah satu perusahaan perkebunan sawit milik PT Agriandalas yang juga berada di daerah tangkapan air Sungai Bengkulu.

Seluruh kawasan ini menurutnya sudah kehilangan fungsi ekologis sehingga bencana yang terjadi di daerah ini bukan karena faktor alam namun akibat campur tangan manusia berupa izin-izin industri ekstraktif di kawasan hulu sungai.

Akibatnya, luapan Sungai Bengkulu dan anak sungainya menggenangi sejumlah desa di Bengkulu Tengah seperti Desa Talang Empat, Desa Genting dan Bang Haji dan menggenangi permukiman warga di sejumlah kelurahan dalam Kota Bengkulu yang berada di sepanjang aliran Sungai Bengkulu seperti Rawa Makmur, Tanjung Jaya, Tanjung Agung, dan Bentiring.

Manager Kampanye Industri Ekstraktif Walhi Bengkulu, Dede Frastien menambahkan bahwa banjir parah yang melanda Bengkulu menjadi bukti rusaknya hulu sungai dikarenakan aktivitas pertambangan batu bara, salah satunya PT Kusuma Raya Utama yang menambah di kawan konservasi Taman Buru Semidang Bukit Kabu.

"Bencana hari ini seharusnya menguatkan gugatan Walhi terhadap PT Kusuma Raya Utama, tambang yang mengeruk isi perut bumi di hulu Sungai Bengkulu," katanya.

Ali menambahkan, selain mencabut izin pertambangan batu bara dan perkebunan sawit di hulu sungai, bencana ini juga jadi tamparen leras bagi pemerintah daerah untuk membangun sesuai kaidah lingkungan dan menaati tata ruang. Ia mencontohkan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Teluk Sepang yang menabrak Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) karena proyek energi berbahan batu bara direncanakan hanya ada di Napal Putih, Bengkulu Utara.

"Pembangunan yang terlalu sembrono dan menihilkan dampak ekologis harus segera diakhiri, jangan jadikan hanya syarat di atas kertas karena saat bencana datang seluruh masyarakat yang akan menanggung akibatnya," ucapnya.

Sebelumnya Kepala BPBD Provinsi Bengkulu, Rusdi Bakar mengatakan bencana banjir dan longsor di Bengkulu merenggut 10 korban jiwa dan delapan dilaporkan masih hilang.

Selain menimbulkan korban jiwa, bencana ini juga mengakibatkan sejumlah infrastruktur baik jalan dan jembatan rusak dan sebagian putus sehingga menghambat transportasi antar-desa bahkan antar-provinsi seperti Bengkulu menuju Sumatera Selatan dan Bengkulu menuju Lampung.

Pewarta: Helti Marini S
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2019