Karena prinsip kehati-hatian, ada beberapa poin yang kita belum sepakat
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia dan China belum menyepakati kerja sama terkait peremajaan kembali (replanting) tanaman kelapa sawit dalam kerangka Inisiatif Jalur Sutera (Belt and Road Initiative).

"Karena prinsip kehati-hatian, ada beberapa poin yang kita belum sepakat, sehingga pemerintah masih belum berencana untuk menandatangani MoU kerja sama penanaman kembali kelapa sawit dengan pemerintah China," kata Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Kemenko Kemaritiman Ridwan Djamaluddin dalam siaran pers di Jakarta, Selasa.

Ridwan menjelaskan Pemerintah Indonesia menawarkan 30 proyek yang terbagi menjadi empat koridor di Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Pulau Bali dalam kerangka Belt and Road Initiative.

Rencana penanaman kembali kelapa sawit masuk ke dalam enam dari 30 proyek yang diproyeksikan bisa berjalan selain pengembangan Pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatera Utara; pengembangan pembangkit listrik tenaga air di Sungai Kayan, Kalimantan Utara; pembangunan kawasan industri Kualanamu di Medan; pengembangan Kawasan Ekonomi Bitung; dan pengembangan taman teknologi di Pulau Kura-Kura serta penghubung inovasi kawasan di Bali.

Jika ditotal, nilai investasi di empat koridor tersebut mencapai 91,1 miliar dolar AS.

Di luar proyek-proyek tersebut, Ridwan menambahkan akan ada uji kelayakan bersama dan proposal kerja sama baru di berbagai bidang antara lain mengenai program vokasi, kerja sama pengembangan atraksi wisata bersama, serta uji kelayakan sistem infrastruktur terpadu di destinasi Wisata Sumber Klampok, Bali.

"Kita bersinergi dengan berbagai kementerian teknis untuk memantau pelaksanaan kerja sama ini," tegasnya.

Ridwan menambahkan, terkait peredaran isu mengenai pemerintah yang dituduh menjual potensi negara ke China dalam skema Belt and Road Initiative, ia, yang ikut menandatangani rencana Kerja Sama Bilateral dalam Mempromosikan Koridor Ekonomi Kawasan yang Komprehensif dengan China, menjelaskan blak-blakan.

"Saya pastikan tidak ada satupun utang pemerintah yang ditandatangani dalam kesepakatan itu," ujarnya.

Setelah penandatanganan kesepakatan tersebut pada Forum Belt and Road II di Beijing pada 25 April lalu, lanjut dia, pelaksanaan kerja sama secara teknis dilanjutkan di level swasta.

"Jadi, pemerintah hanya membantu menyediakan payung besar kerja samanya, mempertemukan antara kepentingan pemerintah daerah yang membutuhkan investasi dengan investor lalu memberikan kepastian hukum tentang proses perizinan, setelah itu kerja sama dilanjutkan antarpengusaha," terangnya.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan proyek Global Maritime Fulcrum-Belt and Road Initiatives (GMF-BRI) yang diinisiasi China tidak akan menambah beban utang pemerintah.

Pasalnya, proyek yang dikerjasamakan dengan China dalam GMF-BRI dilakukan dengan skema business to business atau B to B tanpa ada aliran dana ke pemerintah dan tanpa kewajiban jaminan dari Pemerintah Indonesia.

"Saya ingin garis bawahi program Belt and Road itu tidak ada program G to G (government to government). Yang kita lakukan itu B to B. Jadi, loan (pinjaman) itu tidak ada yang ke Pemerintah Indonesia. Loan langsung ke proyek. Jadi, proyek itu yang membayar loan itu tadi," katanya.

Baca juga: Wapres angkat isu diskriminasi sawit di Konferensi BRF
Baca juga: Luhut yakin Indonesia terhindar dari jebakan utang Belt and Road

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2019