Jakarta (ANTARA) - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan Hari Buruh Internasional 1 Mei atau May Day merupakan pengingat bagi para aktivis buruh untuk tidak berhenti memperjuangkan nasib.

"Hari Buruh Internasional berawal dari kejadian 1986 di Chicago, Amerika Serikat saat 400 ribu buruh melakukan mogok dan demonstrasi selama empat hari mulai 1 Mei," kata Iqbal dalam orasinya pada Peringatan Hari Buruh Internasional di Stadion Tennis Indoor, Senayan, Jakarta, Rabu.

Iqbal mengatakan para buruh tersebut memiliki tuntutan yang disebut tiga delapan, yaitu delapan jam kerja, delapan jam rekreasi bersama keluarga dan delapan jam istirahat.

Pada saat itu, buruh tekstil harus bekerja 16 jam sehari dan buruh tambang 20 jam sehari tanpa ada uang lembur. Mereka menuntut sistem kerja yang lebih manusiawi.

"Pada hari keempat aksi, delapan tokoh buruh melakukan orasi dan menyatakan aksi mogok dan demonstrasi akan berlanjut dengan massa aksi yang lebih banyak. Namun, sebelum masuk hari kelima, polisi membubarkan massa aksi dengan menembak membabi buta," kisahnya.

Pada saat itu, kata Iqbal, banyak keluarga buruh yang harus kehilangan suami dan ayahnya. Selokan-selokan di sekeliling Chicago juga digambarkan memerah oleh darah.

"Itu adalah sebuah tragedi yang menurut saya lebih besar daripada tragedi Tiananmen di China," tuturnya.

Delapan tokoh buruh yang menggerakkan aksi juga kemudian ditangkap dan dihukum mati di hadapan regu penembak keesokan harinya.

"Mereka menjadi martir. Mereka bukan orang hebat tapi berani mempertaruhkan nyawa. Mereka berani memimpin di depan. Semua tragedi pasti menimbulkan martir. Hampir semua perjuangan juga melahirkan martir," katanya.

Kejadian itu kemudian membuat kelompok masyarakat sipil lainnya mengambil sikap. Hingga pada 1989 dalam pertemuan partai buruh sedunia di Paris, Perancis, ditetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional.

Baca juga: Pesan Presiden dalam Peringatan Hari Buruh Internasional

Baca juga: Presiden KSPI ajak massa lawan ketidakadilan

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019