Latar belakang kami bangkitkan produksi gula semut karena sebagian warga Kulon Progo berprofesi sebagai penderes atau penyadap nira dan pembuat gula merah batok. Cuma yang memprihatinkan, harganya murah. Makanya kami pelan-pelan ajari warga beralih k
Denpasar (ANTARA) - Ada gula ada semut. Demikian bunyi pepatah lama yang sering terdengar di masyarakat Nusantara. Pepatah itu pada pokoknya memberi gambaran tentang banyaknya kehadiran manusia pada suatu daerah yang mampu memberikan sumber kehidupan atau pendapatan.

Berbeda dengan Yogyakarta, tepatnya di kawasan Kabupaten Kulon Progo, yang belakangan ini cukup dikenal sebagai daerah gula semut. Meski belum banyak mengundang kedatangan penduduk dari daerah lain untuk mencari gula di Kulon Progo, namun setidaknya berkat gula semut telah mampu menyerap puluhan warga yang sebelumnya menganggur menjadi punya penghasilan.

Betapa tidak. Di daerah yang masyarakatnya lebih banyak menekuni dunia pertanian, utamanya penyadap nira, kini berdiri Koperasi Serba Usaha (KSU) Jatirogo yang mengkhususkan diri membuat dan menampung bahan pemanis untuk penganan yang diberi nama Gula Semut.

Seperti namanya gula semut, bahan pemanis itupun berukuran kecil-kecil laksana tepung dengan warna dasar merah muda, mirip bagai sekerumunan semut-semut merah.

Berkat daya pikat sang gula semut, tidak sedikit warga atau instansi dari sejumkah daerah, belakangan sengaja berkunjung untuk melakukan studi banding mengenai keberadaan pabrik gula yang tergolong baru di Kulon Progo itu.

Tidak ketinggalan, institusi keuangan seperti Bank Indonesia Wilayah Provinsi Bali melakukan studi ke sentra gula semut di Koperasi Serba Usaha Jatirogo tersebut, 27 April 2019.

Di hadapan tamunya, Ketua KSU Jatirogo FX Hendro Utomo menyatakan, bangkitnya gula semut berwarna kemerahan di Kulon Progo, dimulai sejak tahun 2006.

"Latar belakang kami bangkitkan produksi gula semut karena sebagian warga Kulon Progo berprofesi sebagai penderes atau penyadap nira dan pembuat gula merah batok. Cuma yang memprihatinkan, harganya murah. Makanya kami pelan-pelan ajari warga beralih ke produksi gula semut," kata Hendro.

Dia melanjutkan, harga gula merah batok di pasaran berkisar antara Rp4.000 sampai Rp6.000 per kilogram. Meski belakangan harga ini telah mulai membaik. Sedangkan untuk harga gula semut tidak turun dari 3,2 dolar AS per kilogramnya. "Jadi, setelah diolah menjadi gula semut dari bahan yang sama, harganya jauh melonjak," ujarnya menjelaskan

Gula semut tidak hanya diproduksi untuk kebutuhan pasar dalam negeri, namun selama ini nyatanya lebih banyak diserap pasar internasional. Menurut Hendro, pasar internasional yang telah menjadi sasaran penjualan gula semut Jatirogo meliputi sejumlah negara seperti Australia, Amerika Serikat, New Zealand, Eropa, Jepang dan Rusia.

"Dari sekitar 60 ton produksi gula semut yang kami pasarkan per bulannya, hanya berkisar antara 1 ton sampai 2 ton saja untuk pasar dalam negeri. Sisanya, ya..untuk kebutuhan ekspor," ujarnya dengan mimik wajah bangga.

Mengenai produksi gula merah petani yang merupakan bahan baku gula semut, Hendro menyebutkan berada pada kisaran 4,5 ton per hari. Jumlah tersebut berasal dari 1.500 petani penderes yang bergabung pada KSU Jatirogo.

Ke depan, pihaknya berencana memperkuat pemasaran domestik, termasuk ke Bali. Hal ini dikarenakan Bali adalah daerah internasional yang banyak memiliki hotel dan restoran.

"Mengingat banyaknya hotel dan restoran di Bali, tentu akan terbuka peluang untuk memasarkan produk. Apalagi produk kami ini memiliki sertifikasi organik, sehingga bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi,” katanya.

Pada kesempatan itu, Kepala Perwakilan BI Bali Causa Iman Karana yang memimpin kunjungan rombongan, menyatakan, Bali hingga kini lebih banyak bertumpu pada sektor pariwisata. Khususnya pariwisata budaya.

Akibatnya, kian lama bidang pertanian menjadi semakin surut peminat, termasuk kemajuannya. Kondisi ini membuat BI Bali tergerak untuk memberikan perhatian kepada para petani guna lebih mengembangkan diri.

"Seiring dengan itu, kini kami ingin mengetahui dan belajar tentang gula semut di Kulon Progo," ujar pria yang akrab dipanggil Pak Cik.

Menurut Kepala Perwakilan BI ini, potensi pasar untuk produk lokal memiliki data serap tinggi. Apalagi Gubernur Bali baru saja meluncurkan Pergub Nomor 99 Tahun 2019 yang pada pokoknya menekankan agar hotel dan restoran setempat lebih banyak dapat menyerap produk atau hasil pertanian lokal.

"Berkaitan dengan Pergub tersebut, alangkah lebih bijaknya jika BI semakin meningkatkan perannya dalam ikut serta memberi perhatian dan pembinaan terhadap dinia tani yang dewasa ini dirasakan semakin kecil peminat," ujarnya.

Secara terpisah, Kepala Dinas Pariwisata Kulon Progo Niken Probo Laras mengungkapkan daerahnya kini terus berinovasi dan berupaya memberdayakan masyarakat berbasis ekonomi kerakyatan dan ekonomi kreatif, sehingga telah membuat daerah ini kian berkembang dalam beberapa tahun terakhir ini.

"Ini dilakukan berlandaskan penghayatan atas kemiskinan atau penderitaan masyarakat yang sempat terjadi di Kulon Progo," kata Niken Probo Laras pada acara ‘Kunjungan Pengembangan Desa Wisata Nglinggo dan Implementasi Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan, dan Industri Lokal Kulon Progo’ oleh rombongan BI Bali yang diikuti puluhan jurnalis dari Pulau Dewata itu.

*) Penulis adalah penulis buku dan artikel lepas yang tinggal di Bali.

Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2019