Sekarang ini kita buat pembacaan sejarah, sehingga masyarakat Pekanbaru tahu riwayat tentang kota ini
Pekanbaru (ANTARA) - Masyarakat di Provinsi Riau mempunyai tradisi unik dalam menyambut Bulan Suci Ramadhan yang disebut mandi “belimau”. Tradisi yang diwariskan secara turun-temurun itu, berupa bersih-bersih massal di sungai.

Tradisi itu mulai dilirik menjadi agenda wisata religi, kendati ada yang menilainya sudah kehilangan esensinya.

Meski diklaim banyak pihak sebagai tradisi Melayu Riau, sayangnya belum ada literatur yang secara rinci menjelaskan mulai kapan mandi “belimau” menjadi kebiasaan masyarakat di daerah tersebut. Tradisi serupa sebenarnya juga ada di Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), yang disebut “potang balimau”.

Pengaruh budaya Sumbar mungkin bisa saja terbawa ke Riau, di mana banyak penduduk asli terutama di daerah Kabupaten Kampar dan Kuantan Singingi memiliki kemiripan tradisi dengan Minangkabau. Di Kampar, tradisi ini disebut “belimau kasai”, yang intinya menyucikan diri dengan air jeruk limau dan campuran ramuan kuning yang terbuat dari beras dan kunyit.

Bahkan, mungkin saja justru “urang Minang” yang meniru tradisi di Kampar. Hal ini bisa jadi pembahasan tanpa akhir karena masing-masing pihak mempunyai klaim yang dipercaya sejak lama.

Elfiandri dalam bukunya berjudul “Makna Simbol dalam Upacara Perkawinan ~ Masyarakat Adat Limakoto Kabupaten Kampar Riau” (Yayasan Pusaka Riau 2012), hanya sekilas menuliskan tradisi ini. Disebutkan masyarakat adat Limakoto Kampar mempunyai sarana sebagai standar nilai yang baku, salah satunya tradisi “Balimau Kasai” berupa keramas dengan ramuan tertentu.

Elfiandri menjelaskan tradisi "Balimau Kasai" pada masyarakat adat tersebut dilakukan dalam upacara pengangkatan kepala suku, adat perkawinan, menyambut kelahiran anak, serta upacara kematian, dan lain sebagainya. Dalam proses pernikahan, "balimau kasai" mempunya nilai sangat sakral.

“Perlunya 'balimau kasai' sebagai pertanda kesucian hati, artinya mertua kedua belah pihak telah sudi menerima menantunya dengan dada terkembang dan tangan terbuka,” tulis Elfiandi pada buku tersebut di halaman 130.

Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau Dr. Junaidi mengakui bahwa tidak ada catatan yang sahih kapan masyarakat Melayu Riau mulai melakukan mandi "belimau" yang akhirnya menjadi suatu tradisi.

“Tidak terdeteksi kapan dimulainya, tapi sudah tradisi turun-temurun dari dulu-dulu sudah ada tradisi 'Belimau'. Kalau di Pekanbaru disebut potang megang, kalau di Kampar disebut potang belimau kasai,” ujarnya.

Dr. Junaidi juga mengakui tradisi serupa ditemukan di sejumlah daerah di Sumbar, namun keterkaitannya tidak bisa dipastikan. Akan tetapi, tradisi menyucikan diri pasti ada di setiap suku, dan bukan bagian dari ritual keagamaan meski intinya untuk menyucikan diri.

Konon, kata dia, tradisi itu sudah dilaksanakan sebelum Islam masuk ke daerah tersebut. Ketika Islam masuk Sumatera, tradisi itu untuk menyambut Ramadhan.

“Substansi atau intinya adalah penyucian. Mandi dengan limau itu kan menyucikan diri. Mengapa ada jeruk, mengapa ada limau, karena dalam tradisi Melayu jeruk itu punya kemampuan untuk pembersihan diri,” lanjut Junaidi yang juga Wakil Rektor I Universitas Lancang Kuning itu.

                                             Beragam
Sejumlah warga dari kalangan orang tua dan anak muda memiliki pandangan yang beragam terkait dengan makna tradisi "Belimau"

Seorang warga setempat, Wirda Lisna Wirdati (23), mengaku sejak umur 10 tahun selalu mengikuti mandi belimau di lingkungan tempat tinggalnya di Desa Pangkalan Baru Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar.

Ia mengikuti mandi belimau untuk mempertahankan tradisi, meskipun tidak tahu tentang sejarahnya.

“Ikut karena mempertahankan tradisi. Tidak ada doa tertentu. Ya mandi bawa air limau, potongan jeruk dikasih daun serai,” kata perempuan berhijab ini.

Tradisi "Belimau" yang awalnya dilakukan warga di kampung-kampung, kini digelar lebih besar skalanya karena mendapatkan perhatian pemerintah daerah. Di Siak Hulu, mandi belimau digelar dengan skala besar di Desa Buluh Cina karena area itu sekarang menjadi Taman Wisata Alam.

“Sekarang makin ramai yang ikut, dari warga daerah lain juga banyak yang datang,” ujarnya.

Kun Wardoyo (52), warga Kota Pekanbaru, mengatakan tidak lagi tertarik mengikuti tradisi mandi belimau setelah mulai memperdalam agama Islam.

Ia mengaku terakhir ikut mandi belimau saat remaja pada dekade 1990-an karena sekadar ikut-ikutan teman sebayanya.

Ia bahkan rela menempuh jarak sekitar 60 kilometer dari Pekanbaru ke Kampar untuk ikut mandi massal tersebut.

“Saya ikut karena rasa ingin tahu. Banyak kawan indekos asal Kampar mereka selalu pulang kampung untuk mandi belimau. Tapi setelah saya mendalami agama, saya tidak mau ikut lagi karena mandinya bercampur laki-laki dan perempuan apalagi anak mudanya,” ujarnya.

Tradisi "Belimau" kini banyak dikemas oleh pemerintah daerah menjadi acara wisata. Hampir di semua 12 kabupaten/kota di Riau kini menggelar acara mandi belimau dengan nama yang berbeda-beda. Apakah semuanya sudah kehilangan makna sejatinya sehingga jadi komoditas semata?

Menanggapi hal ini, Ketua LAM Riau Junaidi mengatakan yang perlu selalu dijaga adalah jangan sampai pelaksanaan tradisi "Belimau" melanggar ketentuan-ketentuan agama.

“Tradisinya tidak salah, namun jangan sampai pelaksanaanya menyimpang. Misalkan yang dilarang itu antara tempat laki-laki dan perempuan sama di sungai atau bercampur. Dan membuka aurat itu kan tidak baik,” katanya.

Ia mengatakan baik ulama maupun pemuka adat (ninik mamak) sudah mengingatkan tentang larangan tersebut. Namun, ia mengakui pada praktiknya masih terjadi penyimpangan.

“Kalau ninik mamak dan ulama sudah mengimbau jangan sampai melanggar ajaran-ajaran agama, cuma persoalannya anak-anak muda suka lepas kontrol. Yang nyimpang-nyimpang itu ya anak-anak muda itulah,” katanya.

                                                    Mengemas
Pemerintah Kota Pekanbaru sudah 11 tahun terakhir mencoba mengemas tradisi "Belimau" agar mempunyai nilai jual pariwisata.

Sejak Wali Kota Pekanbaru masih dijabat Herman Abdullah, pemerintah setempat mengangkat tradisi ini dalam bentuk festival bernama petang megang dan kini berganti nama jadi potang belimau.

Penyelenggaraan tiap tahun memang masih jauh dari sempurna. Namun, setidaknya pemerintah daerah terus belajar dari kesalahan dan terus melakukan perbaikan. Hambatan sudah pasti ada, dan bahkan pemda setempat pernah membatalkan penyelenggaraan saat menit-menit akhir pada 2016.

“Tenda sudah berdiri sehari sebelum acara, tapi waktu itu ada penyerangan teroris ke Polda Riau oleh orang-orang yang bawa samurai. Keluar instruksi dari Kapolri untuk tidak melakukan acara yang melibatkan keramaian warga. Akhirnya acara (belimau, red.) kita batalkan,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pekanbaru Nurfaisal.

Perbaikan dalam penyelenggaraan tradisi itu di Pekanbaru untuk memastikan tidak ada lagi binatang yang disakiti dalam penyelenggaraan potang belimau tahun ini.

Dalam penyelenggaran sebelumnya, panitia selalu menggelar lomba menangkap puluhan bebek di sungai untuk meramaikan acara. Lomba ini banyak peminat akan tetapi di sisi lain juga menuai protes dari masyarakat, terutama pencinta satwa.

“Dulu memang ada lomba tangkap bebek, dikejar-kejar lagi. Jadi dari banyak pihak protes, terutama pencinta binatang. Masyarakat akhirnya sepakat untuk tidak diadakan lagi lomba itu, karena kita mau menyambut Bulan Puasa kok bikin azab. Kita jadi memberikan nilai-nilai tidak baik,” lanjut Nurfaisal.

Tahun ini penyelenggaraan potang belimau akan digelar pada Minggu (5/5). Potang belimau dipusatkan di tepi Sungai Siak,  di sebelah peninggalan bersejarah rumah singgah Sultan Siak. Rumah panggung ini kerap disebut juga rumah Tuan Kadi/Qadhi di Kampung Bandar, Kecamatan Senapelan yang merupakan daerah cikal bakal Kota Pekanbaru.

Oleh karena dikemas dalam balutan pariwisata, potang belimau tidak hanya berupa proses mandi-mandi.

Nurfaisal menjelaskan rangkaian acara dimulai sejak pukul 13.30 WIB dari Masjid Raya Pekanbaru. Di pelataran masjid tersebut, terdapat makam Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah dan beberapa keturunan serta pengikutnya. Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah merupakan Sultan Ke-4 Kerajaan Siak Sri Indrapura yang bergelar Marhum Bukit.

Acara dimulai dengan ziarah makam Marhum Bukit, berzikir dan berdoa. Pada penyelenggaraan tahun ini juga akan ada pembacaan sejarah Marhum Bukit dan Kota Pekanbaru oleh perwakilan Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau. Hal ini merupakan pengembangan dari acara potang belimau tahun sebelumnya.

“Sekarang ini kita buat pembacaan sejarah, sehingga masyarakat Pekanbaru tahu riwayat tentang kota ini,” katanya.

Setelah salat asar, tamu-tamu undangan, seperti Gubernur Riau, Wali Kota Pekanbaru, dan lainnya baru turun ke tepian sungai. Proses mandi belimau oleh tokoh-tokoh tersebut berupa menyiramkan air belimau kepada 20 anak yatim.

Dalam proses ini juga terdapat pembaruan. Sebelumnya, anak-anak yatim setelah dimandikan hanya mendapat hadiah telur ayam, namun kali ini mereka juga mendapat santunan, pakaian muslim, dan seperangkat alat shalat.

Nurfaisal mengatakan pemerintah daerah terus menggali masukan-masukan dari berbagai pihak untuk mengembangkan acara tersebut sebagai agenda rutin wisata religi. Sebabnya, ada potensi kalau acara ini digelar dalam durasi lebih lama dalam suatu rangkaian, akan bisa menarik banyak wisatawan nusantara dan mancanegara.

Gubernur Riau Syamsuar mengatakan nilai-nilai luhur budaya dan kearifan lokal yang tercermin dalam tradisi "Belimau" suatu daya tarik wisata dan kekayaan budaya negeri serta perekat persatuan dan kesatuan.

“Sebagai negeri yang berbudaya dan memiliki beragam warisan budaya dan tradisi, kita patut berbangga untuk menjaga dan melestarikannya,” kata dia saat menghadiri acara “Balimau Adat Potang Mogang” di Kabupaten Pelalawan pada 1 Mei 2019.

Berkembangnya sektor wisata religi dalam bentuk "Balimau Adat Potang Mogang" akan mendorong pemerintah daerah untuk menyediakan infrastruktur yang lebih baik, telekomunikasi, transportasi umum dan fasilitas pendukung lainnya yang memadai, sebagai konsekuensi meningkatkan kualitas kunjungan wisata dan dampaknya bagi kehidupan masyarakat lokal sebagai tuan rumah.

“Oleh sebab itu, marilah sama-sama kita mendukung kebijakan pemerintah daerah untuk menjaga dan melestarikan budaya yang sudah ada oleh warisan para leluhur sehingga kelak anak, cucu generasi penerus juga dapat merasakan dan meneruskan budaya ini,” katanya.

Provinsi Riau sudah ditetapkan sebagai salah satu destinasi wisata halal di Indonesia, sedangkan untuk mengembangkannya telah diterbitkannya Peraturan Gubernur Nomor 18 Tahun 2019 tentang Peraturan Wisata Halal.

Ketentuan itu menjadi pedoman bagi pelayanan lebih baik kepada wisatawan dan kemajuan ekonomi Riau.

“Mari kita tunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa Provinsi Riau merupakan destinasi pariwisata yang indah, aman, dan nyaman merujuk dari ditetapkannya Provinsi Riau sebagai salah satu destinasi wisata halal," katanya.

Diharapkan seluruh lapisan masyarakat selalu menjaga kebersihan dan keamanan setiap destinasi wisata di Provinsi Riau supaya pengunjung terkesan dan ingin berkunjung lagi.

Tentu saja, termasuk dalam pelaksanaan tradisi "Belimau" menjelang Ramadhan.
 

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019