Jakarta (ANTARA) - Lebaran memang identik dengan berbagai jenis santapan seperti opor ayam dan ketupat, tetapi warga juga berharap-harap cemas terkait dengan apakah harga pangan dan beragam bumbu terkait hidangan itu ke depannya akan melambung.

Sebagaimana diketahui, pemerintah melalui berbagai kementerian dan lembaga terkait telah memastikan langkah-langkah koordinasi dan sinergi dalam rangka pemantauan berbagai jenis pangan termasuk pangan sektor kelautan dan perikanan menjelang datangnya puasa dan lebaran 2019.

Tidak hanya ayam potong dan beras (bahan dasar ketupat, bagi mereka yang belum mengetahuinya) yang dijaga, tetapi juga pangan lainnya seperti ikan.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan barang Penting menyebutkan ikan dengan jenis jenisnya bandeng, kembung, tuna, tongkol dan cakalang sebagai salah satu barang kebutuhan pokok dan penting.

Dengan merujuk kepada Perpres tersebut, Ditjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP telah melaksanakan koordinasi pemantauan pasokan, stok dan harga ikan terutama menjelang datangnya bulan puasa dan lebaran tahun 2019.

Hasil koordinasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan sektor kelautan dan perikanan itu menyimpulkan bahwa secara umum pasokan ikan saat ini cukup berlimpah sehingga ketersediaan ikan selama bulan puasa dan lebaran aman.

Selain itu, pantauan harga ikan KKP di beberapa daerah seperti Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara dan Jawa Tengah, ternyata relatif stabil menjelang puasa dan lebaran tahun ini.

Hal itu antara lain juga karena pada bulan April sampai dengan Agustus biasanya merupakan musim panen ikan sehingga ikan diyakini bakal melimpah.

Disebutkan pula bahwa untuk harga selama bulan puasa, memang diperkirakan bakal tetap mengalami kenaikan meskipun relatif kecil atau tidak terlalu signifikan.

Adapun untuk permintaan ikan, berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya pada bulan puasa akan mengalami kenaikan pada beberapa pekan pertama dan akan kembali normal sampai dengan menjelang Idul Fitri.

Selama lebaran, permintaan ikan cenderung diprediksi menurun karena kebanyakan yang dikonsumsi masyarakat daging ayam dan daging sapi. Sedangkan permintaan ikan akan kembali meningkat seminggu setelah lebaran.


Ketersediaan pangan aman
Sebelumnya, Kementerian Pertanian memastikan ketersediaan pangan menjelang bulan Ramadhan aman dan harganya pun cenderung stabil.

"Insya Allah seperti biasanya, menjelang bulan Ramadhan, kemudian hari raya, pemerintah memberikan perhatian yang penuh. Bukan hanya ketersediannya yang cukup, harganya tidak hanya memberatkan konsumen, tapi juga tidak terlalu menekan pada produsen," ujar Sekretaris Jenderal Kementan, Syukur Iwantoro saat menghadiri peresmian Museum Tanah dan Pertanian di Bogor, Jawa Barat, Senin (22/4).

Menurutnya, untuk menciptakan iklim kestabilan harga bukan perkara mudah. Kementan perlu berkoordinasi lintas sektoral dengan Kementerian Perdagangan, Bulog, bahkan Pemerintah Daerah (Pemda).

Syukur membeberkan, beberapa Pemda sudah mengakali ketersediaan pangan dengan cara menyetok ketika harga pangan tengah turun. Kini, ia meminta cara itu ditiru para kepala daerah yang belum memberlakukan.

Selain itu, Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian juga dilaporkan telah melakukan operasi pasar di lima titik di wilayah Jabodetabek untuk menekan harga bawang putih di beberapa pasar yang mengalami lonjakan.

Operasi pasar dilakukan di Pasar Perumnas Klender, Pasar Senen, Pasar Rawamangun, Pasar Tanah Abang dan Pasar Kebayoran Lama, 2-3 Mei.

Melalui operasi pasar ini, pemerintah berharap harga bawang putih hingga pekan depan sudah kembali normal, karena saat ini dinilai masih tinggi yaitu bisa di atas kisaran Rp50.000 per kilogram.

Selain melalui operasi pasar, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan telah membuka izin impor untuk bawang putih sebanyak 115 ribu ton. Komoditas tersebut sudah merapat ke Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak.

Penetapan harga tersebut dimaksudkan agar ada psikologi pasar sehingga harga stabil jelang kedatangan bawang putih impor. Sedangkan Stok bawang putih impor ini dipastikan mencukupi menjelang bulan puasa dan Idul Fitri, mengingat kebutuhan atau konsumsi per bulan hanya 42.000 ton.


Bumbu dapur
Bawang putih disebutkan sedang mengalami kenaikan harganya, bagaimana halnya dengan bumbu dapur yang juga vital untuk memasak hidangan lebaran?

Pewarta Antara yang memantau di Pasar Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (3/5) menemukan bahwa harga beberapa bumbu dapur bisa mengalami kenaikan hingga 50 persen menjelang masuknya bulan puasa pada tahun ini.

Seorang pedagang di Pasar Cikini, Umi, mencontohkan bahwa harga kencur sekarang Rp100.000 per kilogram, sedangkan saat normal harganya bisa hanya sekitar Rp40.000/kg.

Selain itu, sejumlah bumbu dapur lainnya yang juga naik antara lain adalah kunyit Rp12.000/kg padahal sebelumnya Rp7.000/kg jahe Rp40.000/kg sementara sebelumnya Rp20.000/kkg, serta sereh sekarang Rp15.000/kg sedangkan sebelumnya Rp7.000/kg.

Pedagang lainnya, Nana menyatakan bahwa bawang merah juga mengalami kenaikan harga dari Rp30.000 menjadi Rp55.000/kg

Di Pasar Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Kamis (2/5), seorang pedagang Lili menyatakan bahwa beberapa komoditas pangan, seperti cabai, bawang putih, kentang, hingga ayam potong mulai mengalami penaikan harga menjelang bulan puasa.

"Yang naik itu cabai, bawang, dan kentang. Cabai naik hari ini sekitar 25 persen, hari normal Rp20 ribu per kilogram, sekarang Rp25 ribu," kata Lili dan menambahkan, bawang putih juga mengalami penaikan harga sampai dengan Rp70.000 per kilogram.

Namun, lanjutnya, dibandingkan bawang putih yang harganya terus melonjak, bawang merah masih terbilang murah masih pada harga Rp38.000/kg

Kentang, lanjut dia, naik 15 persen dari Rp13.000 menjadi Rp15.000/kg.


Kemendag siap jaga
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menegaskan jajaran pemerintah terutama Kementerian Perdagangan siap menjaga harga dan ketersediaan barang kebutuhan pokok menjelang Puasa dan Lebaran 2019.

"Kita perlu mengantisipasi kondisi tersebut sejak jauh-jauh hari agar masyarakat dapat menjalankan ibadah dengan tenang, tanpa terbebani naiknya harga pangan atau kelangkaan barang," katanya usai memberikan arahan pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Barang Kebutuhan Pokok Menjelang Puasa dan Lebaran di Bandung, Jawa Barat, 20 Maret 2019.

Mendag memaparkan, langkah pemerintah adalah mengidentifikasi kesiapan kementerian dan lembaga terkait, pemerintah daerah, dan pelaku usaha dalam menjaga stabilitas harga barang pokok menjelang bulan Puasa dan Lebaran.

Setelah rakornas, selanjutnya akan dilaksanakan rapat koordinasi ke daerah-daerah dan pemantauan langsung ke pasar rakyat, ritel modern, gudang Bulog, dan distributor di 34 provinsi yang dilaksanakan pada pekan kedua April hingga pekan pertama Mei 2019.

Kegiatan tersebut akan melibatkan seluruh jajaran mulai dari eselon satu sampai dengan staf Kemendag, termasuk pengawalan ketersediaan pasokan dan stabilisasi harga barang pokok ke pasar secara intensif melalui penetrasi pasar di 82 kabupaten/kota pantauan.

Mendag juga menekankan, agar pasokan dan harga barang pokok tetap terkendali seperti tahun-tahun sebelumnya, maka diperlukan sinergi langkah dan upaya pemerintah pusat bersama pemerintah daerah, beserta pelaku usaha pangan.

Ia mengingatkan bahwa tingkat inflasi kelompok bahan makanan tahunan (yoy) pada 2014-2018 cenderung turun, bahkan pada 2017-2018 tingkat inflasi kelompok bahan makanan di bawah inflasi nasional.

Selain itu, bukan hanya pada bulan Puasa dan Lebaran, tapi juga pada masa perayaan Natal dan tahun baru di tahun-tahun tersebut, tingkat inflasi kelompok bahan makanan juga cenderung turun.

Terkendalinya tingkat inflasi didukung beberapa langkah Kemendag menjaga kestabilan harga dan pasokan, yaitu dengan penguatan regulasi, penatalaksanaan, pemantauan dan pengawasan, serta upaya khusus.


Fenomena mahal
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Muhammad Diheim Biru menyatakan bahwa fenomena tingkat harga pangan yang mahal di tengah masyarakat merupakan indikasi dari adanya kesenjangan antara produksi pangan dengan pemenuhan pangan warga.

"Indikator harga mahal pada daging, gula, dan beras menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan antara produksi pangan domestik dengan pemenuhan kebutuhan di pasar," kata Muhammad Diheim Biru.

Menurut Diheim, kalau kebijakan pangan terus dibatasi, serta tidak dilakukan adanya upaya untuk menyederhanakan rantai distribusi dan juga masih adanya pembatasan peran swasta di pasar, maka harga pangan kemungkinan akan tetap tinggi karena kesenjangan tadi.

Sementara itu, ujar dia, pembenahan untuk sektor perdagangan juga penting, antara lain karena untuk bidang pangan, rantai komoditas konsumsi rakyat di Indonesia masih cenderung lebih banyak dikendalikan oleh BUMN.

Ia berpendapat bahwa selama ini, peran swasta di pasar domestik masih dibatasi oleh kebijakan kementerian-kementerian terkait. Harga komoditas yang merupakan bahan pangan utama seperti beras, gula, dan daging-dagingan, masih terlampau mahal dibandingkan negara-negara tetangga seperti Filipina, Thailand, Malaysia, dan India.

Diheim menambahkan, untuk menutupi kesenjangan tersebut, perlu adanya pertimbangan untuk melibatkan swasta dalam melakukan perdagangan komoditas pangan.

Ia menyatakan bahwa pihak swasta dapat membantu memperkuat distribusi yang lebih efisien dan juga berpotensi memperkuat teknologi produksi domestik serta membantu peranan Bulog dalam melakukan impor pangan pada tingkat harga yang efisien.

Secara ideal, lanjutnya, apabila laju pasokan pangan ke pasar lebih cepat karena rantai distribusi yang lebih singkat, juga diiringi dengan peningkatan produktivitas yang tinggi, pasokan pangan domestik bisa memenuhi permintaan di pasar dan komoditas menjadi lebih murah untuk dibeli oleh konsumen masyarakat kelas ekonomi bawah rata-rata.


Berkelanjutan
Sementara itu, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KPRP) Said Abdullah memaparkan, aspek produksi berbagai komoditas pangan bila ingin didorong oleh pemerintah maka harus diarahkan ke berbagai kebijakan yang sifatnya lebih berkelanjutan.

Menurut Said, pada saat ini fluktuasi produksi pangan masih belum ajeg karena sejumlah faktor kunci dari proses produksinya juga masih belum cukup kuat untuk dibenahi.

Ia berpendapat bahwa selain faktor penguasaan lahan yang terhambat oleh proses alih fungsi di berbagai daerah, faktor kualitas lahan untuk saat ini juga menjadi pembatasnya.

Padahal, ujar dia, untuk menjamin keberlanjutan, model pertanian berkelanjutan haruslah diterapkan agar produksi juga tidak fluktuatif ke depannya.

Said juga menyatakan, pemerintah perlu untuk melecutkan semangat yang diperlukan dalam rangka mengembangkan pangan lokal di berbagai daerah Nusantara.

Menurut Said, wilayah timur dan barat Indonesia memiliki potensi pangan lokal yang berbeda-beda sehingga pembangunan pertanian dan pangan haruslah dikembangkan sejalan dengan situasi lokalnya.

Sedangkan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim menyatakan, pemerintah perlu lebih menyambungkan aspek hulu dan hilir dari pangan sektor kelautan dan perikanan dalam rangka menjaga stok ikan pada bulan puasa hingga lebaran mendatang.

Menurut Abdul Halim, jangan semua permasalahan stok pangan diserahkan kepada swasta apalagi asing, khususnya di sektor pengolahan dan pemasaran ikan.

Dengan adanya perencanaan yang matang dan eksekusi yang tepat, maka warga juga akan lega bila harga untuk membuat opor ayam dan hidangan lainnya pada saat lebaran akan lebih terjangkau.

Baca juga: Mentan: stok pangan siap hadapi Lebaran
Baca juga: Pemerintah perlu sambungkan hulu-hilir pangan sektor kelautan

 

Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019