Apapun yang terjadi, kami tetap akan berpuasa sampai hari terakhir
Sigi (ANTARA) - Siapa menyana akan ada banjir bandang di sejumlah desa di Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah pada Minggu (28/4) malam.

Belum lagi terhapus dari ingatan tentang gempa bumi 7,4 Skala Richter yang menyebabkan tsunami di Kota Palu dan Kabupaten Donggala serta likuefaksi di sejumlah pemukiman warga Kota Palu dan Sigi, banjir bandang mengoyak pemukiman dan harta benda masyarakat di beberapa desa di Kecamatan Gumbasa dan Dolo Selatan.

Padahal, umat Islam di seluruh dunia, termasuk Kabupaten Sigi yang dilanda banjir bandang akan menghadapi Ramadhan. Saat umat Muslim mempersiapkan diri untuk menyambut Ramadhan yang paling di tunggu-tunggu itu, justru ribuan warga Kabupaten Sigi harus kembali menerima musibah, akibat fenomena alam tersebut.

Selain banyak rumah dan harta benda warga di dua kecamatan terkubur lumpur menyusul banjir bandang itu, bencana juga merusak beberapa jaringan irigasi, jalan, jembatan, dan penerangan listrik.

Bahkan, jalur yang menghubungkan Kota Palu, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah dengan empat kecamatan di Kabupaten Sigi, yakni Kulawi, Kulawi Selatan, Lindu, dan Pipikoro selama hampir sepekan setelah banjir bandang, terputus total.

Badan jalan antara Desa Saluki sampai Tuva di Kecamatan Gumbasa hanyut diterjang banjir bandang yang merupakan banjir terbesar selama beberapa tahun trerakhir di Sulteng.

Banjir bandang membuat banyak warga di sejumlah desa di Kabupaten Sigi kembali menangis dan menderita. Bahkan, penderitaan yang mereka alami ketika gempa bumi belum juga pulih, kini mereka harus kembali menghadapi kenyataan pahit karena banjir bandang. Bencana itu menyebabkan banyak warga kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, dan harta benda.

Hal demikian seperti diungkapkan Ny Nia, warga Desa Tuva. Ibu rumah tangga dengan empat anak itu termasuk salah satu korban banjir bandang di Kabupaten Sigi. Rumahnya di dekat sungai hanyut terbawa arus saat banjir bandang terjadi malam hari itu.

"Tidak ada yang tersisa, rumah dan isi rumah, semuanya ditelan banjir bandang," katanya saat ditemui di tenda berukuran 3X4 di Desa Tuva.

Meski harus kehilangan rumah dan harta benda, ia bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebab suami dan anak-anak yang dikasihi dan dicintainya, selamat dari bencana alam tersebut. Saat banjir datang, suaminya langsung mengajak mereka semua meninggalkan rumah.

"Kami lari dan mengungsi ke gunung yang ada di sekitar Desa Tuva untuk menyelamatkan diri," kata dia.

Saat lari meninggalkan rumah yang sudah dimasuki banjir, mereka hanya membawa beberapa baju dan selimut, serta surat-surat penting, seperti sertifikat tanah dan ijazah anak-anak.

Ketika keesokan harinya, Deva Tuva yang berada di jalan provinsi antara Palu-Kulawi sudah terendam banjir, sedangkan jalan aspal sudah tidak ada,  berubah menjadi sungai. Rumah mereka lenyap.

"Yang terlihat hanyalah tumpukan-tumpukan potongan -potongan kayu yang berserakan di permukiman warga dan jalan yang ada di desa itu," ujarnya sembari menyeka air matan yang terus membasahi pipinya.

                                                                       Tetap Berpuasa
Sekali pun rumah dan harta benda sudah lenyap dan kini mereka tinggal bersama beberapa warga lainnya di pengungsian berupa tenda darurat berukuran kecil, mereka tetap bertekad melaksanakan puasa.

"Apapun yang terjadi, kami tetap akan berpuasa sampai hari terakhir," kata Nia, sambil memeluk erat anak laki-lakinya yang berusia lima tahun.

Menurut dia, selagi masih bernafas, puasa merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh umat Muslim. Kendati hanya makan sahur dan berbuka puasa dengan nasi dan garam, hal itu dianggapnya sebagai sudah cukup.

Ia menyatakan pasrah menerima musibah tersebut bersamaan dengan menjelang Ramadhan karena hidup anugerah Allah.

"Dia (Allah, red.) yang selama ini telah memberi kita kekuatan, kesehatan, umur panjang, harta, dan kekayaan," ujarnya.

Ia yakni meskipun harta dan kekayaan sudah diambil melalui banjir bandang, tubuh, jiwa, dan roh tetap dipelihara oleh Allah. Oleh karena itu, bencana alam sama sekali tidak bisa menghalanginya untuk melaksanakan ibadah puasa.

Hal senada diungkapkan dua ibu korban banjir bandang lainnya di Desa Tuva, yakni Ny Yulianto dan Ny Wiliam. Meski kehilangan rumah dan isi rumah, serta kebun kakao karena banjir bandang terbesar selama ini, keduanya terlihat cukup kuat dan bersemangat menyambut Ramadhan tahun ini.

"Bertahun-tahun kami tinggal di desa ini dan baru kali ini banjir sehebat ini," ujar mereka.

Saat ditemui, kedua korban banjir bandang tersebut sedang duduk dengan beberapa warga lainya di tenda darurat yang dibangun di pinggir jalan raya desa setempat. Di kanan dan kiri mereka duduk, terlihat dua kardus mi instan dan satu kantong beras bantuan dari salah satu lembaga kemanusiaan peduli bencana alam.

"Syukur ada bantuan yang datang. Biar hanya ini, cukup untuk dimakan saat sahur dan berbuka puasa," kata Ny Yulianto yang rumahnya terkubur lumpur dan limbah kayu akibat banjir bandang itu.

Saat banjir bandang menghajar desa mereka, ia bersama suami dan anak-anaknya lari ke gunung di dekat jalan raya. Semalaman mereka terpaksa mengungsi di gunung .

Dari atas gunung itu, mereka mendengarkan gemuruh suara banjir yang  dasyat dan menakutkan hingga memorak-porandakan rumah-rumah warga di dekat sungai. Begitu pula dengan kebun-kebun kakao milik warga disapu bersih oleh banjir bandang.

Kebanyakan warga, rumahnya hilang diterjang banjir maupun tertimbun lumpur. Mereka tidak mengetahui berapa lama bertahan di pengungsian. Kini mereka hanya berharap bantuan logistik, terutama bahan makanan dari berbagai pihak dan lembaga-lembaga serta relawan kemanusiaan,

Baik Ny Yulianto maupun Ny Wiliam mengatakan tetap melaksanakan puasa meski dalam kondisi apapun.

"Puasa bagi kami adalah ibadah yang harus dilakukan sebagai umat Muslim," ujar keduanya.

Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu Sagaf S Pettalongi menilai masyarakat Kabupaten Sigi agar menjaga kelestarian alam dan bersahabat dengan lingkungan.

Upaya menjaga kelestarian itu, katanya, selain sebagai bentuk pencegahan terjadinya bencana, karena alam juga akan memberikan banyak manfaat kepada masyarakat setempat.

                                                                              Bersabar
Sagaf Pettalongi yang juga Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulteng itu, mengatakan bahwa Islam menganjurkan umatnya untuk bersabar dan ikhlas menerima ujian dari Tuhan Yang Maha Esa

Selain itu, umat dianjurkan berikhtiar bangkit dari keterpurukan dan senantiasa bersahabat dengan alam, tidak merusak dan mengotorinya.

Dengan menjaga dan melestarikan alam, kata dia, masyarakat akan terhindar dari ancaman tanah longsor dan banjir bandang. Dengan menjaga alam dan lingkungan, pada akhirnya alam pun akan menjaga dan bersahabat dengan manusia, dengan memberikan banyak manfaat kepada manusia, bukan kemudaratan.

Sebelumnya, Bupati Sigi Moh Irwan memerintahkan penghentian penebangan pohon secara liar dan tanpa izin di pegunungan sekitar Desa Bangga yang merupakan daerah terdampak paling parah banjir bandang tersebut.

"Saya perintahkan agar dihentikan penebangan-penebangan pohon ini. Bukan saya menuduh tapi menduga masih ada masyarakat yang menebang pohon karena melihat itu sebagai mata pencaharian," katanya usai meninjau korban banjir bandang di Desa Bangga, Senin (29/4).

Saat banjir bandang itu menerjang kawasan setempat, disertai batangan-batangan pohon, baik pepohonan utuh dengan akar-akarnya yang terbawa banjir maupun telah dipotong menjadi beberapa bagian.

Banjir bandang itu dikaitkan dengan penebangan liar di pegunungan sekitar Desa Bangga. Bencana itu menyebabkan lumpur bercampur pasir mengubur rumah-rumah warga.

"Imbauan kepada masyarakat. Mungkin-mungkin, kalau kita lihat akar-akar pohon dengan pohon-pohon bekas barangkali penebangan liar dan lain sebagainya ini harus dihentikan," ucapnya.

Pemerintah Kabupaten Sigi tidak menutup mata atas banjir bandang yang menerjang Desa Bangga dan sejumlah desa di daerah itu.

"Kalau kita liat di medsos (media sosial) dikatakan pemerintah tidak ada, pemerintah ke mana dan sebagainya. Saya tegaskan pemerintah ada, kita di sini. Buktinya kita sudah memberi bantuan berupa beras dua ton di dapur-dapur umum untuk pengungsi. Kita juga sudah mendirikan tenda pengungsian dan posko kesehatan," katanya.

Bencana alam telah terjadi dan menyengsarakan banyak orang. Terlebih saat umat Muslim di Kabupaten Sigi harus menghadapi dampak bencana itu bertepatan dengan Ramadhan tahun ini.

Bulan Suci Ramadhan juga menjadi kesempatan yang tepat untuk semua orang dan berbagai pihak bersama-sama merefleksikan tentang pentingnya menyayangi lingkungan.

Hutan dan alam yang lestari, akan bersahabat dan memberi banyak manfaat bagi kehidupan manusia.

(T.BK03/)
Ibu Yulianto (kiri) dan Ibu Wilam (kanan), korban banjir bandang di Sigi. (ANTARA/Anas Masa)
 
Satu rumah warga di Desa Bangga, Kecamatan Dolo Selatan tertimbun lumpur akibat banjir bandang, 28 April 2019.

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019