Jakarta (ANTARA) - Batik adalah produk unggulan Indonesia yang telah diakui Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) sebagai warisan budaya tak benda.

Industri batik juga dinilai mampu menjadi penggerak perekonomian nasional, mengingat ekspor produk batik yang telah mencapai 58,46 juta dolar AS pada 2017, dengan negara tujuan utama meliputi Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa.

Tidak salah jika kemudian batik menjadi salah satu produk yang ditonjolkan dalam kegiatan Indonesia Fair, yang diselenggarakan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Dhaka pada 25-27 April 2019.

Kali ini merupakan pameran tahun kedua, diikuti 40 pelaku usaha yang sebagian besar bergerak di bidang kreatif, serta 13 BUMN Indonesia.

Di antara berbagai produk yang dipamerkan mulai dari kerajinan tangan, otomotif, konstruksi, obat-obatan, serta makanan dan minuman—batik bisa disebut primadona karena hampir di setiap sudut International Convention City Bashundhara (ICCB), tempat pameran tersebut digelar, batik dengan mudah tertangkap mata pengunjung.

Produk batik berupa kain, blus, tunik, kemeja, bahkan tas dan aksesoris memanjakan mata ribuan warga Bangladesh yang mengunjungi Indonesia Fair tahun ini.

“Batik adalah spesialisasi Indonesia, tidak ada negara lain yang bisa mengalahkan,” kata Dilshad Rahman, salah satu pengunjung pameran.

Menurut dia, batik Indonesia memiliki keunikan dari segi motif dan detail, yang tidak dimiliki batik negara lain seperti Thailand dan Malaysia.

Dilshad juga menyukai proses batik Indonesia dibuat dengan sangat beragam dan kaya warna, mulai dari batik tradisional hingga batik modern.

“Meskipun sekarang banyak pengrajin batik yang berimprovisasi terhadap karyanya, saya pribadi lebih menyukai batik tradisional karena saya menghargai sesuatu yang lebih lekat dengan akar budaya. Sesuatu yang orisinil tidak boleh hilang,” tutur perempuan itu.

Warga Bangladesh melihat produk yang dipamerkan dalam Indonesia Fair 2019. (ANTARA News/Yashinta Difa)

Kecintaan masyarakat Bangladesh terhadap batik Indonesia juga ditunjukkan oleh Khaleda Sultana, yang memborong sejumlah produk batik dalam pameran tersebut meskipun ia mengakui harga-harga batik yang dijual cukup tinggi.

Sehelai gamis batik, misalnya, dia beli dengan harga 4.000 Taka atau sekitar Rp670 ribu. Sementara harga saree atau gamis berbahan katun di Bangladesh bisa ia beli dengan harga 800 Taka atau sekitar Rp130ribu.

“Harganya cukup tinggi buat kami, mungkin kebanyakan warga Bangladesh tidak mampu membeli,” kata dia.

Namun, perkara harga ternyata tidak menyurutkan niat Khaleda untuk membelanjakan sejumlah uangnya demi produk-produk batik Indonesia.

“Saya suka kombinasi warna dan motifnya, juga bahan katun dan pengerjaan tangan yang rapi. Dan kami tidak bisa menemukan batik seperti ini di Bangladesh, jadi tidak ada tandingannya,” tutur Khaleda.

Menurut desainer fesyen Ai Syarif yang telah dua kali membawa produk batik karyanya ke Bangladesh, antusiasme masyarakat setempat terhadap batik Indonesia cukup bagus, terutama untuk produk dengan warna-warna terang.

“Saya cukup kaget juga, ternyata mengenakan batik jadi sesuatu yang sakral dan prestise bagi mereka,” tutur Ai.

Perancang busana yang memiliki merek Ai Syarif 1965 itu sebelumnya telah berpartisipasi dalam pameran batik yang diselenggarakan KBRI Dhaka pada 2018, di mana 80 persen produknya terjual.

Bagi Ai, memamerkan batik Indonesia ke sejumlah negara seperti Bangladesh, Belanda, dan Inggris, bukan hanya tentang menjual produk tetapi juga memperkenalkan budaya asli Indonesia.

Teknik pembuatan batik, pewarnaan, dan filosofi yang terkandung dalam motifnya adalah hal yang perlu diperkenalkan ke khalayak luas.

“Masyarakat Bangladesh lebih tahu batik cap, tetapi kita harus edukasi mereka mengenai batik tulis yang memang harganya lebih mahal karena prosesnya lebih lama dan sulit. Makanya sambil berjualan juga saya jelaskan ke mereka bahwa sehelai kain batik tulis ada yang dikerjakan hingga tiga sampai enam bulan,” kata Ai.

Selama Indonesia Fair tahun ini, selain menjual produk di salah satu stan, Ai juga diberi kesempatan memamerkan sejumlah koleksi rancangannya dalam peragaan busana.

Batik Lasem dan Pekalongan yang ia kombinasikan dengan motif lurik, tampak cocok dan pas dikenakan oleh para model asli Bangladesh.

Duta Besar RI untuk Bangladesh Rina P Soemarno memberikan buket kepada desainer Ai Syarif yang memamerkan busana batik rancangannya dalam Indonesia Fair 2019. (ANTARA News/Yashinta Difa)

Selain batik, produk fesyen seperti tas dan dompet kulit, serta kosmetik halal, ikut meramaikan penyelenggaraan Indonesia Fair 2019.

Selama tiga hari pelaksanaan pameran, tercatat total transaksi dan potensi perdagangan barang dan jasa senilai 186,5 juta dolar AS. Jumlah ini belum termasuk potensi kerja sama investasi kedua negara.

Duta Besar RI untuk Bangladesh Rina P Soemarno menyebut pelaksanaan Indonesia Fair sebagai upaya meningkatkan kehadiran Indonesia di Bangladesh.

Ia berharap melalui kegiatan tersebut, para pelaku usaha kedua negara dapat menindaklanjuti kerja sama yang sifatnya jangka panjang, bukan hanya beli putus.

Ai Syarif, misalnya, dari pameran tersebut berhasil mendapatkan pesanan 700 helai pakaian batik senilai Rp350 juta dari dua mitranya di Bangladesh.

“Teman-teman kita ini mungkin selama pameran penjualannya sedikit, tetapi mereka dapat order dari mitra mereka di Bangladesh. Kerja sama seperti ini sebetulnya yang kami sasar,” tutur Dubes Rina.

Menurut Dubes Rina, Bangladesh adalah pasar yang sangat potensial untuk produk-produk Indonesia.

Sebagai negara berkembang dengan populasi 160 juta jiwa, Bangladesh memiliki pertumbuhan tercepat ketiga di dunia dan tercepat pertama di Asia Selatan.

Tahun ini, pertumbuhan ekonomi Bangladesh diproyeksikan di atas 8 persen, dan akan menjadi ekonomi terbesar ke-28 pada 2030.

“Secara bilateral khususnya ekonomi, Indonesia dan Bangladesh berbagi hubungan dan kerja sama yang kuat dan progresif,” tutur Dubes Rina.

Total nilai perdagangan bilateral Indonesia dan Bangladesh pada 2018 mencapai 1,97 miliar dolar AS, atau meningkat 48 persen sejak 2016.

Tren peningkatan nilai perdagangan kedua negara berlanjut tahun ini, dengan total nilai perdagangan selama Januari-Februari 2019 mencapai 410 juta dolar AS, atau meningkat 11 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

“Karena itu melalui pameran ini kami mendorong pengusaha dan perusahaan Indonesia untuk memperluas bisnisnya ke Bangladesh,” pungkas Dubes Rina.

Khurshid Jahan, seorang pebisnis perempuan Bangladesh, menyebut Indonesia Fair sebagai upaya yang baik untuk memperkenalkan budaya dan kerajinan tangan Indonesia

Khurshid tengah menjajaki peluang kerja sama dengan pengusaha batik atau kerajinan dari Indonesia, agar produk mereka bisa dijual di salah satu toko di mal yang ia miliki di Chittagong, kota terbesar kedua di Bangladesh.

“Saya ingin bisa mempromosikan produk tradisional dan kerajinan tangan dari Indonesia, karena Indonesia punya desain yang unik dan tampak berbeda,” ujar perempuan yang pernah mengunjungi Pulau Bali itu. 
Baca juga: Produk Indonesia dipamerkan di Bangladesh
Baca juga: Upaya peningkatan perdagangan Indonesia-Bangladesh berbuah manis


Editor: Maria D Andriana
Copyright © ANTARA 2019