Jakarta (ANTARA) - Momen politik paling dinanti-nanti adalah 22 Mei 2019, yang kehadirannya tinggal dalam hitungan pekan, yang bertepatan dengan hari ketujuh belas bulan puasa.

Di momen itulah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan keputusan pemenang dalam kontes politik lima tahunan, yakni pemilihan umum anggota legislatif dan Pemilu Presiden 2019.

Sejak hari-H pencoblosan, 17 April lalu, suasana politik menghangat dengan berbagai manuver elite politik dan masing-masing pendukung mereka.

Suasana di dunia maya, di layar-layar kaca dengan aneka program tayang bicang yang menghadirkan dua kubu yang berkompetisi dalam Pilpres 2019 kian memanaskan suhu politik.

Meski begitu, memasuki bulan suci Ramadan 1440 Hijriah, kebisingan politik boleh dikata mereda. Ada semacam pemahaman bersama bahwa meributkan kekuasaan di momen Ramadan tidaklah patut. Pemahaman semacam ini bisa bermakna buat memberi kesempatan kepada kaum elite politik untuk melakukan refleksi tentang sepak terjang mereka di dunia politik
.
Pengumuman pemenang kontes politik, teristimewa untuk pilpres, pada tanggal 22 Mei sempat dikhawatirkan akan menjadi momen yang merepotkan aparat keamanan karena sebelumnya ada elite politik yang mewacanakan unjuk kekuatan rakyat.

Pengondisian unjuk kekuatan rakyat yang menampik jalan konstitusional atas perkara penyelenggaraan pemilu jelas meresahkan publik, merepotkan aparat keamanan, menambah beban pekerjaan pemerintah.

Syukurlah bahwa hari pengumuman pemenang pilpres itu masih dalam suasana bulan suci Ramadan. Terlepas dari wacana unjuk kekuatan rakyat yang dilontarkan elite politik itu sekadar untuk perang urat syaraf, (hal yang lumrah dalam perpolitikan), kecemasan di kalangan publik yang berkepentingan dengan kehidupan sosial yang stabil dan guyub tak bisa dielakkan.

Beruntunglah momen Ramadan menyeimbangkan kembali meski semacam jeda sejenak, hiruk pikuk bertarung memperebutkan kursi kekuasaan untuk menuju ke arah keadaban berpolitik.

Mengajak pengikut, pendukung, atau simpatisan turun ke jalan guna melakukan protes politik padai bulan puasa bukan saja melawan batas kemampuan fisik yang sedang menurun karena sedang menunaikan puasa, melainkan juga memaksakan diri untuk segera melampiaskan syahwat berkuasa.

Demokrasi yang merupakan sistem nilai universal agaknya bisa disinergikan dengan momen Ramadan, dalam arti para elite politik memanfaatkan momen itu untuk menisbikan perbedaan ideologis dengan menjalin silaturahmi pada saat buka bersama.

Dua kontesten dalam Pilpres 2019 adalah sama-sama pemeluk Islam yang jelas punya respek terhadap Ramadan dan nilai-nilai ritual-spiritualnya.

Akan menjadi elegan bila menjelang, saat, atau setelah pengumuman pemenang Pilpres 2019 oleh KPU, kedua kontestan melakukan buka bersama.

Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden RI Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan penantangnya Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno layak memperlihatkan diri mereka di depan khalayak sedang silaturahmi buka bersama, bahkan akan lebih afdol lagi jika dilanjutkan dengan salat Tarawih bersama.

Sebagai silaturahmi yang menjalin kerukunan pada tataran kemanusiaan, yang dilakukan pada bulan puasa, punya makna keteladanan bahwa perbedaan politik tidak memecah belah nilai kemanusiaan.

Namun, yang perlu disadari di balik makna silaturahmi itu adalah bahwa misi utama berpolitik tidak boleh dikorbankan. Artinya, jangan sampai momen Ramadan menjadi jembatan kerukunan antara elite politik yang lebih condong membangun oligarki di antara mereka dan mengabaikan kepentingan publik.

Di poin inilah ketegangan menjaga keseimbangan antara kepentingan publik dan kepentingan oligarkis perlu dipertahankan. Itu sebabnya, para pengamat politik berharap bahwa kontestan yang kalah dalam pemilu sebaiknya memilih berada di luar kekuasaan untuk menjadi pengkritik, pengawal kebijakan yang prokesejahteraan publik.

Harapan itu menjadi urgen ketika kecenderungan untuk berbagi kekuasaan sesama politikus dalam perpolitikan di Tanah Air cukup kuat.

Dengan memahami kecenderungan yang demikian, sejumlah pengamat politik memprediksi bahwa kegetolan pihak penantang dalam menafikkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei setelah pencoblosan 17 April lalu adalah bagian dari tawar-menawar kekuasaan.

Di momen Ramadan inilah kesempatan bagi pihak penantang untuk membuktikan kekeliruan prediksi sejumlah pengamat politik bahwa manuver yang dia lakukan bukan untuk tawar-menawar kekuasaan.

Berpolitik, yang esensinya adalah untuk membuka peluang yang adil bagi perburuan kebahagiaan setiap warga negara, sering menjerumuskan pelakunya. Itu yang membuat Lord Acton (1834 s.d. 1902) sampai pada kesimpulan bahwa kekuasaan cenderung menyeret pemegangnya berbuat korup.

Momen Ramadan bisa menjadi jeda buat merenungkan kembali esensi berpolitik itu. Kekuasaan perlu direbut dengan asumsi untuk ajang mewujudkan cita-cita kebaikan bersama.

Menjadi ironis jika untuk mewujudkan cita-cita itu justru ditempuh dengan adu kuat gontok-gontokan. Elite politik dengan demikian lebih dituntut untuk memperlihatkan manuver-manuvernya yang etis, konstitusional dan menyejukkan.

Pertanyaan klasik yang relevan pada momen Ramadan ini adalah: sanggupkah elite yang berkompetisi dalam Pilpres 17 April lalu memperlihatkan wajah-wajah sejuk mereka pada bulan suci ini?

Dalam kancah rimba perpolitikan, selalu ada politikus yang etis, bermanuver sesuai dengan adab demokrasi. Sebaliknya, juga selalu ada politikus yang suka mengail di air keruh, yang cenderung menyukai karut-marut suasana perpolitikan.

Dalam menghadapi kompleksitas watak beragam politikus itulah, dua figur sentral dalam Pilpres 2019, capres petahana Joko Widodo dan capres penantang Prabowo Subianto ditantang untuk memihak ke kelompok etis ataukah kelompok pengail di air keruh. Sejarah sedang memanggil kedua aktor utama itu untuk dicatat dalam lanskap politik di Tanah Air.

Copyright © ANTARA 2019