Denpasar (ANTARA) - Tidak banyak diketahui bahwa ibadah puasa tidak hanya dilakukan dilakukan oleh umat Islam pada saat Bulan Ramadhan. Umat-umat terdahulu, sebut saja agama Mesir kuno, mereka melakukan puasa untuk menghormati Dewa matahari dan Dewa-dewa yang bersemayam di Sungai Nil yang bertujuan untuk penghambaan dan kasih sayang terhadap sesama.

Pemeluk agama Yunani kuno juga melakukan puasa. Dimana kewajiban ini lebih ditekankan kepada kaum wanita. Biasanya ketika kaum wanita tersebut berpuasa, mereka melakukannya dengan duduk di atas tanah dengan menunjukkan perasaan duka dan nestapa kepada Tuhan sebagai wujud ketidakberdayaan manusia di hadapan Tuhannya.

Begitu juga dengan agama Romawi Kuno. Mereka berpuasa pada hari-hari tertentu terutama ketika akan menghadapi musuh dengan harapan diberikan kemenangan pada saat berperang. Agama Zoroaster di Persia sekitar abad ke-8 sebelum masehi juga melakukan puasa, mereka menyebut puasa mereka dengan istilah puasa tolak bala bencana (deprecated fasting).

Puasa juga dilakukan oleh penganut Toisme dan Konfusionisme. Mereka umumnya berpuasa di hari-hari biasa, terlebih lagi ketika mereka mendapati ada fitnah dan bencana yang mengharuskan mereka untuk berpuasa agar terhindar dari fitnah dan bencana tersebut. Umat Yahudi juga berpuasa sebagai peringatan atas diterima wahyu oleh Nabi Musa di Bukit Sinai.

Demikian juga dengan umat Kristen. Menurut Ahmad Shalabi, Umat kristen berpuasa setiap hari Rabu yang merupakan hari Nabi Isa dikhianati dan ditangkap. Selain itu juga ada puasa Natal selama 43 hari dan puasa Agung selama 55 hari.

Di kalangan umat Hindu juga berpuasa yang dikenal dengan istilah Upawasa. Upawasa ini ada yang wajib ada juga yang tidak wajib. Upawasa yang wajib misalnya adalah Upawasa Siwa Ratri, dimana umat Hindu tidak boleh makan dan minum dari matahari terbit hingga terbenam. Lalu ada puasa Nyepi, yang dilakukan dengan cara tidak makan dan minum sejak fajar hingga fajar keesokan harinya. Puasa lain yang dianggap wajib adalah puasa untuk menembus dosa yang dilakukan selama tiga hari, puasa tilem, dan purnama.

Begitu pentingnya ibadah puasa sampai-sampai ibadah satu ini tidak saja dikerjakan oleh makhluk Tuhan yang berakal, makhluk Tuhan yang tidak berakal pun sebenarnya juga ikut melakukan puasa. Ayam misalnya, dia akan berpuasa beberapa hari untuk mengerami telur dengan tidak makan selama dia berada di atas telurnya.

Ular melakukan puasa untuk menjaga struktur kulitnya agar tetap keras, terlindung dari sengatan terik matahari dan duri hingga ia tetap bisa melata dan bergerak cepat di atas bumi. Ulat-ulat pemakan daun juga ikut berpuasa, jika tidak, ia tak akan mampu menjadi kupu-kupu dan menyerbuk bunga-bunga. Bahkan semua makhluk Tuhan di muka bumi berpuasa karena berpuasa ini merupakan sunnah thabi’iyyah (sunah kehidupan).

Pertanyaannya adalah mengapa semua makhluk ciptaan Tuhan diwajibkan untuk berpuasa? Hal ini tentu mempunyai makna tersirat dan hikmah tersendiri.

Puasa yang dalam Bahasa Arab disebut Shiam bermakna al-imsaq (menahan), yaitu menahan dari segala sesuatu yang merugikan diri sendiri atau orang lain, sekaligus menjadi sarana untuk mengevaluasi diri untuk bisa turut hidup berdampingan dengan orang lain secara selaras, harmonis, tidak merasa sombong, tidak egois, bersikap tepa selira, toleransi, menjalin hidup dalam keberbedaan untuk mewujudkan kebersamaan, serta melatih diri untuk peka terhadap lingkungan

Coba simak perintah berpuasa yang terdapat dalam kitab Al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 183. Di akhir ayat ini, Tuhan berfirman "agar kamu bertakwa". Kata "takwa" sama dengan ittiqa yang berarti menjaga diri dari segala bentuk nafsu bahimmiyah (kebinatangan) yang menjadikan perut sebagai Tuhan.

Lebih jauh, dalam pandangan Agama Islam, setidaknya puasa memiliki tiga fungsi, yaitu mengarahkan (Tazhib), membentuk karakter jiwa seseorang (Ta'dib), dan sarana latihan untuk berupaya menjadi manusia paripurna. Ketiga fungsi tersebut pada hakikatnya bermuara pada satu tujuan, yaitu agar manusia bertakwa.

Prinsip dasar takwa adalah tauhid (kemahatunggalan). Takwa dan tauhid merupakan dua dari beberapa istilah religiusitas utama yang bisa mengukur tingkat moralitas atau etika dan konsistensi keimanan seorang Muslim terhadap ajarannya.

Signifikansi dari konsep takwa di sini adalah bagaimana cara Al-Qur'an mengaitkan takwa dengan interaksi sosial dan solidaritas pada sesama. Dalam Al-Qur'an dijelaskan, bahwa komitmen pada makhluk Tuhan (ciptaan Tuhan) adalah bagian yang tak terpisahkan dari komitmen kepada Tuhan.

Selain berpengaruh bagi diri seseorang, takwa juga terkait dengan praktik sosial. Seseorang yang teguh dengan komitmen ketakwaan-nya, maka ia akan memiliki sense of belonging terhadap sesama dan juga terhadap realitas yang tidak adil. Orang yang berpuasa dengan sungguh-sungguh, maka pasti tidak akan membuat keresahan, atau membuat gaduh suasana, dengan berkata-kata atau bersikap tidak benar, apalagi sampai menyebarkan hoaks.

Nah, inilah sebenarnya makna takwa sebagai tujuan akhir berpuasa dan ibadah puasa dijadikan Tuhan sebagai salah satu sarana untuk mendapatkan label takwa tersebut, karena semakin bertakwa maka manusia itu akan semakin beriman.

Sementara tauhid yang merupakan basis pemikiran bagi pandangan dunia Al-Qur'an yang berpengaruh terhadap struktur pengetahuan dan tindakan praksis lainnya, berimpilikasi pada aktivitas sosial sejak permulaan misi profetik-nya.

Dari semula, ajaran tauhid selalu diliputi oleh dua dimensi, yaitu dimensi normativitas akidah dan dimensi praksis sosial. Ungkapan Al-Qur’an bahwa "iman" harus selalu disertai dengan "amal saleh" merupakan inti ajaran Al-Qur'an.

Jangankan ajaran tauhid yang biasanya masuk dalam wilayah rukun iman yang bersifat abstrak, bahkan dalam wilayah rukun Islam yang praktis seperti shalat juga selalu dikaitkan dengan dimensi sosial. Ditegakkannya shalat adalah untuk menjaga diri seseorang dari perbuatan yang keji (fakhsya') dan buruk (munkar). Begitu juga dengan ibadah puasa, haji, zakat, infak, sedekah, dan sebagainya.

Jadi, ajaran tauhid menurut Al-Qur’an sangat terkait dengan persoalan-persoalan sosial, yaitu mengidealkan suatu tatanan masyarakat yang damai atas dasar kemanusiaan dengan tidak mengeksploitasi perbedaan-perbedaan dan inilah yang harus menjadi perhatian bagi umat Islam yang mayoritas di Indonesia. Bagaimana umat yang mayoritas ini dapat mengayomi, bahkan menjadi teladan bagi umat yang minoritas, bukan sebaliknya.

Jika takwa dan tauhid ini diimplementasikan dengan benar, maka ibadah puasa yang menjadi salah satu perintah wajib dari Tuhan dapat menjadi salah satu sarana untuk menciptakan perdamaian.*

*) Penulis adalah doktor lulusan UIN Jakarta yang mengajar pada sejumlah kampus di Jakarta.


Baca juga: Khasiat kurma untuk kesehatan hingga vitalitas pria

Baca juga: Ramadhan momentum kurangi sampah makanan

Copyright © ANTARA 2019