Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah melatih hingga sebanyak 403 orang sebagai observer atau pemantau di atas kapal sebagai upaya untuk melakukan pembenahan data operasional kapal penangkap ikan.

"Untuk tahun ini, KKP telah berhasil melatih sebanyak 403 orang untuk menjadi observer yang saat ini telah ditempatkan di Medan, Tegal, Sidoarjo, Bitung, dan Ambon," kata Zulficar Mochtar dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, menempatkan observer atau pemantau merupakan salah satu terobosan penting kegiatan pengumpulan dan pengolahan data operasional penangkapan ikan di atas kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan.

Zulficar menambahkan, karena masih belum banyak tenaga observer, KKP juga telah bekerja sama dengan 11 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan tentang Pengumpulan dan Pengolahan Data Operasional Penangkapan Ikan di Atas Kapal Penangkap Ikan.

“Saya berharap, dengan adanya kerja sama ini dapat meningkatkan peran dan kontribusi dunia kampus, baik dosen maupun mahasiswa dalam mengumpulkan data perikanan, sekaligus sebagai bagian dari penyelesaian studi bagi mahasiswa di kampus masing-masing,” tutupnya.

Sebelumnya, KKP juga menyatakan bahwa pemasaran produk perikanan ikan tuna di dunia wajib mengikuti standard pengaturan internasional yang telah disepakati oleh berbagai organisasi regional Tuna Regional Fisheries Management Organization (RFMO).

"Antara lain, harus dipastikan bahwa kapal-kapal ikan Indonesia yang menangkap tuna adalah kapal-kapal yang terdaftar atau memiliki izin yang sah, serta bila menangkap di wilayah RFMO maka kapal-kapal tersebut harus didaftarkan di RFMO," kata Dirjen Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar.

Selanjutnya, ujar dia, hasil tangkapan tuna tersebut dan hasil tangkapan lainnya yang merupakan nontarget spesies atau bycatch (tangkapan sampingan) yang tertangkap bersama tuna tersebut harus dilaporkan setiap tahunnya kepada RFMO.

Di samping itu, juga terdapat aturan lainnya yang harus dipatuhi antara lain pemasangan rumpon di wilayah RFMO.

"Aturan dan standar internasional tersebut ditetapkan oleh FAO ataupun RFMO dengan tujuan untuk melindungi keberlanjutan stok sumberdaya ikan ikan di dunia. Hal ini dilakukan karena sumber daya perikanan adalah sumber daya renewable namun bukan tanpa batas," ucap Zulficar.

Khusus terkait dengan pemanfaatan tuna, lanjutnya, jenis sumberdaya perikanan ini sesuai dengan bukti ilmiah yang dihasilkan melalui program tagging atau penandaaan ikan terhadap jalur ruaya ikan tersebut, membuktikan bahwa jalur migrasi dan pola ruaya ikan ini tidak mengenal batas administrasi negara.

Dengan demikian, kelompok sumber daya perikanan tuna yang hari ini tertangkap di perairan Indonesia di lain waktu mungkin saja tertangkap di wilayah perairan negara lain sehingga pengelolaan sumber daya jenis spesies yang kerap bermigrasi, harus dikelola secara bersama-bersama dengan negara-negara lainnya yang memanfaatkannya.

"Pada hari ini kita telah menjadi anggota IOTC (Komisi Tuna Samudera Hindia) untuk bersama-sama negara lain mengatur pengelolaan pemanfaatan tuna di wilayah Samudera Hindia, menjadi anggota WPFC (Komisi Perikanan Pasifik Barat) untuk mengatur pengelolaan pemanfaatan tuna di Samudera Pasifik dan menjadi anggota CCSBT (Komisi Konservasi Tuna Bluefin Selatan) untuk pengelolaan pemanfaatan species Southern Blue Fin tuna," paparnya.

Baca juga: KKP klaim reformasi kebijakan kelautan perikanan berikan hasil nyata

Baca juga: Kapal pengawas ikan Vietnam provokasi KRI Tjiptadi-381

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019