Jakarta (ANTARA News) - Rieke "Oneng" Diah Pitaloka, membelai lembut punggung Daniri (16), gadis Jawa Tengah yang tengah menangis meratapi nasib sialnya. Daniri memang pantas menangis, karena dara itu tak kunjung bisa mengobati rindu pada ibunya, yang pergi ke Arab Saudi menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI), sepuluh tahun silam. "Ibu saya hilang sejak saya berumur enam tahun. Saat itu, ibu pergi ke Arab Saudi untuk menjadi TKI," kata gadis berjilbab putih itu. Harapan Daniri kepada Rieke hanya satu; "si Oneng" membantunya menemukan kembali ibunya sehingga keluarga yang ditinggalkan tidak lagi penasaran. Selain mendengarkan cerita Daniri, Rieke juga menyimak penjelasan dari sejumlah orang lainnya, seperti Yunita (18), seorang mantan TKI yang bekerja sebagai buruh pabrik di Malaysia empat tahun silam. Yunita bekerja pada usia yang sangat belia, 14 tahun. Ia bisa melakukan itu karena tahun kelahirannya di paspor dan surat izin kerjanya dipalsukan sehingga ia tercatat lebih tua dari usia yang sesungguhnya. "Saya sendiri pada awalnya dilatih untuk menjadi seorang pembantu rumah tangga (PRT), tetapi kenyataannya malah ditempatkan di pabrik," kata dara yang juga kehilangan separuh jari tengah di tangan kirinya karena kecelakaan saat bekerja di negara jiran tersebut. Kisah-kisah pilu itu sesungguhnya merupakan titik awal dari tugas Rieke Diah Pitaloka sebagai Duta Buruh Migran Indonesia. Terhitung sejak tanggal 18 Desember 2007 dalam acara peringatan Hari Buruh Migran Internasional di ibukota, Rieke ditasbihkan sebagai Duta Buruh Migran Indonesia oleh organisasi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). Menurut pengakuan Ketua SBMI, Miftah Farid, Rieke diangkat untuk mengemban amanat tersebut karena keaktifannya dalam berbagai aksi yang dilakukan untuk memperjuangkan nasib TKI. "Kami memutuskan untuk mengangkat Rieke Diah Pitaloka karena ia adalah sosok yang sangat bersemangat dalam membela buruh migran," kata Miftah. Miftah menuturkan, Rieke yang juga merupakan seorang selebritis itu, setiap tahunnya selalu ikut serta dalam merayakan Hari Buruh Migran Internasional yang jatuh setiap tanggal 18 Desember. Desak Ratifikasi Sementara itu, Rieke sendiri dalam kata sambutan pengangkatannya sebagai Duta Buruh Migran Indonesia juga menyampaikan komitmen bersama bagi keadilan buruh migran dan anggota keluarganya di Tanah Air. Ia mendesak berbagai instansi yang terkait termasuk pihak swasta, departemen pemerintah, kepolisian, lembaga peradilan, dan lembaga perwakilan rakyat di semua tingkatan (nasional, provinsi, kabupaten/kota) untuk mengintensifkan kerjasama dengan serikat dan lembaga buruh migran. Selain itu, perempuan kelahiran Garut, 9 Januari 1974 itu juga mendesak agar pemerintah untuk segera mengesahkan Undang-Undang Anti Perdagangan Manusia, meratifikasi Konvensi ILO (Organisasi Buruh Internasional) No 97 tentang Migrasi Kerja dan No 143 tentang Mempromosikan Kesempatan dan Perlakuan yang Sama bagi Para Buruh Migran. Rieke juga menginginkan agar pemerintah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tahun 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Mengenai julukan "pahlawan devisa" bagi TKI, ia menyatakan ketidaksetujuannya dengan istilah tersebut karena bisa merendahkan sisi kemanusiaan para TKI karena mereka seakan-akan lebih dianggap sebagai penghasil keuntungan bagi negara. "Gelar `pahlawan devisa` bagi para TKI seolah-olah mengangkat harkat, tetapi sesungguhnya menggerogoti kemanusiaan," kata Rieke. Menurut penulis buku kumpulan puisi berjudul "Renungan Kloset" itu, frase "pahlawan devisa" bagi TKI memiliki makna yang bias karena dapat diartikan bahwa TKI hanya dipandang sebagai angka-angka yang mengucur ke kas negara. "Mereka tak dianggap sebagai pahlawan karena mengurangi pengangguran di dalam negeri, atau orang yang telah memperbaiki kesejahteraan bangsa, apalagi orang yang berkorban untuk menyelamatkan keluarganya," kata Rieke. Terminal Tiga Selain itu, Rieke juga memprotes kebijakan dari pemerintah mengenai pemberlakuan tempat khusus untuk pemberangkatan dan kedatangan bagi TKI, yaitu Terminal Tiga di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. Lulusan Sastra Belanda Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia itu menjabarkan, pengkhususan tersebut selintas memberi kesan mengistimewakan, tetapi sesungguhnya mendiskriminasi TKI, karena pelayanan di terminal itu jauh lebih buruk ketimbang terminal untuk penumpang reguler. "Tengok saja kondisi Terminal Tiga yang jauh dari terminal lain, tertutup, dan dijaga ketat aparat sehingga membutuhkan izin khusus atau dokumen resmi untuk masuk," katanya. Untuk itu, ia berharap agar sistem pemberangkatan dan pemulangan yang ada dibuat secara lebih manusiawi dan transparan agar tidak luput dari sorotan publik. "Perlakukan mereka sama dengan penumpang lain yang lewat terminal biasa. Tak perlu Terminal Tiga," kata Rieke yang pernah menuai kontroversi lewat perannya di dalam sebuah iklan produk kontrasepsi. Menanggapi kecaman terhadap Terminal Tiga tersebut, Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans), Tjetje Al Anshori, mengemukakan, keberadaan Terminal Tiga sebenarnya adalah untuk melindungi TKI dari berbagai pihak yang berniat jahat. "Bayangkan bila ada orang-orang yang mengaku keluarga untuk menjemput para TKI padahal mereka berniat jahat. Terminal Tiga adalah untuk mengantisipasi hal-hal semacam itu," katanya. Tjetje juga menuturkan, pihaknya juga telah dan akan terus melakukan perbaikan layanan dari berbagai hal yang berkaitan dengan Terminal Tiga Bandara Soekarno-Hatta. Berbagai gebrakan pembuka yang dilakukan oleh Rieke memang dimaksudkan agar taraf kesejahteraan hidup para TKI dan anggota keluarganya dapat meningkat. Tentu saja, Si "Oneng" juga diharapkan oleh para TKI dan siapa saja yang bersimpati dengan kaum buruh migran, agar tetap bersemangat dan selalu konsisten dalam mengemban tugasnya sebagai Duta Buruh Migran Indonesia, tidak hanya di awal tetapi juga hingga seterusnya.(*)

Pewarta: Oleh Muhammad Razi Rahman
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007