Perlu kecukupan sarana dan prasarana untuk meningkatkan produksi tebu rakyat
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah melalui Kementerian Pertanian siap meningkatkan produktivitas dan luas areal perkebunan tebu guna mewujudkan swasembada gula nasional yang ditargetkan pada 2024.

Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Agus Wahyudi di Jakarta, Sabtu mengatakan, swasembada gula ditargetkan tahun 2024 dengan kebutuhan tiga juta ton, sedang tahun ini sebanyak 2,72 juta ton atau ada kenaikan 280.000 ton.

Sementara itu, lanjutnya, produksi gula pada 2024 harus naik tiga juta ton untuk mencukupi kebutuhan tersebut, sedang tahun 2019 diperkirakan 2,25 juta ton sehingga harus naik 775.000 ton.

Untuk mendukung produksi tersebut, menurut dia, tahun 2024 perlu lahan perkebunan tebu seluas 500.000 hektare, sementara tahun 2019 luas areal baru 420.000 hektare dan sehingga harus ditambah 80.000 hektare.

"Kenaikan yang luar biasa besarnya dalam kondisi saat ini mengingat kecenderungan luas areal tebu semakin menurun setiap tahun," katanya pada diskusi "Quo Vadis Pergulaan Nasional" yang diselenggarakan Media Perkebunan.

Sementara itu Agus menambahkan produktivitas gula tahun ini sebanyak 5,3 ton per hektare sehingga perlu dinaikkan jadi 6 ton per hektare. "Naik hanya 0,7 ton per hektare. Sebenarnya sangat sedikit tetapi dalam situasi sekarang sangat sulit," katanya.

Untuk itu, lanjutnya, fokus pemerintah adalah meningkatkan produktivitas dan peningkatan areal khususnya di luar Jawa karena sudah sulit dilakukan di Jawa.

"Maksimal di Jawa adalah 20.000 hektare, sedang 60.000 hektare lagi di luar Jawa. Ini yang jadi target pemerintah lima tahun ke depan," katanya .

Ketua Andalan Petani Rakyat PG Kebon Agung Dwi Irianto menyatakan pendapatan petani tebu di Jawa semakin menurun sehingga gairah menanam tebu juga ikut turun.

"Saya mendapat info bahwa Menko Perekonomian menetapkan harga pembelian tebu Rp51.000 per kuintal. Ini ironis sekali sebab dengan harga Rp55.000 per kuintal saja margin petani hanya Rp91.667/bulan/hektare," katanya.

Dengan kondisi itu, lanjut dia, maka produksi nasional cenderung stagnan bahkan menurun. Karena itu perlu dibentuk kembali Dewan Gula Indonesia dan keberpihakan pemerintah harus jelas terhadap industri gula nasional.

"Perlu kecukupan sarana dan prasarana untuk meningkatkan produksi tebu rakyat. Agar petani tebu sejahtera maka harga HPP gula sesuai dengan keinginan petani serta hasil survei tim independen bentukan Kementan," katanya.

Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Budi Hidayat menyatakan bahwa tren 20 tahun terakhir produksi, produktivitas, rendemen dan luas lahan semakin menurun. Minat petani untuk menanam tebu juga ikut turun.

Tidak banyak lagi subsidi yang diberikan pada petani tebu. Kredit pola KKPE (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi) yang semula longgar sekarang diganti KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang prosedurnya rumit.

"Dukungan Kementan juga kurang karena kalah oleh Pajale. Karena itu KUR perlu lebih dipermudah seperti KKPE," katanya.

Pengamat pergulaan Agus Pakpahan menyatakan sebenarnya di Indonesia ada pabrik gula (PG) bagus yang bisa dijadikan contoh yaitu PG Kebon Agung.

"Pengalaman PG Kebon Agung melakukan revitalisasi dan membina petani bisa dijadikan acuan oleh pabrik lainnya, tetapi sayang pengalaman bagus ini tidak menular," kata Prof Riset Balitbangtan itu.

Pewarta: Subagyo
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019