Brisbane (ANTARA News) - Tekanan Australia terhadap operasi perburuan ikan paus oleh Jepang di Laut Selatan pada musim panas ini mulai membuahkan hasil terbukti dari kesediaan Tokyo menangguhkan perburuan terhadap paus "humpback". Menteri Luar Negeri Australia, Stephen Smith, dalam pernyataan persnya, Sabtu, mengatakan bahwa pihaknya menyambut baik pengumuman Jepang tersebut. Namun, pemerintahnya tetap menginginkan pihak Tokyo menghentikan apa yang disebutnya "program perburuan paus untuk tujuan sains". "Pemerintah Australia berkeyakinan penuh bahwa tidak ada satu pun justifikasi yang kredibel untuk memburu ikan paus jenis apa pun dan Australia akan melanjutkan upayanya mengakhiri perburuan paus Jepang," katanya. Ia mengatakan, pihaknya telah mengirimkan protes diplomatik resmi melalui duta besar Australia untuk Jepang Jumat malam. Protes diplomatik resmi itu juga diikuti oleh sejumlah negara. Negara-negara itu adalah Argentina, Austria, Belgia, Brasil, Cili, Costa Rica, Kroasia, Republik Ceko, Ekuador, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Irlandia, Israel, Italia, Luxembourg, Meksiko, Monako, Belanda, Selandia Baru, Portugal, San Marino, Republik Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Inggris dan Uruguay. "Uni Eropa juga berpartisipasi dalam protes itu," kata Menlu Smith. Pada 19 Desember lalu, Menlu Smith telah mengumumkan pengiriman pengiriman satu pesawat dan kapal patroli ke perairan Laut Selatan untuk mengumpulkan bukti kegiatan penangkapan paus oleh kapal-kapal Jepang. Dalam misi penerbangan pengawasan itu, pesawat A319 milik Divisi Antartika Australia dan kapal patroli "Oceanic Viking" milik Bea Cukai Australia yang tidak dilengkapi senjata akan dikerahkan ke Laut Selatan, katanya. "Informasi tentang hasil pemantauan ini penting bagi pengambilan tindakan hukum," katanya. Sebelum adanya penangguhan Tokyo terhadap penangkapan paus "humpback", kapal-kapal pemburu paus Jepang yang sudah berada di perairan Laut Selatan itu diklaim Australia akan memburu 935 ekor paus "minke", 50 paus "humpback" dan 50 paus "fin" (sirip) untuk program "scientific whaling" negara itu. Pemerintah Australia, kata Menlu Smith, mempertimbangkan secara serius serangkaian opsi hukum internasional terhadap Jepang. Sehubungan dengan perbedaan sikap Australia dan Jepang dalam isu perburuan paus, kontroversi baru di seputar langkah Canberra sempat muncul setelah Perdana Menteri Kevin Rudd berencana melibatkan "aset-aset militer" dalam mendukung upaya pihaknya mengumpulkan bukti perburuan ikan paus oleh kapal-kapal Jepang di Laut Selatan itu. Rencana Perdana Menteri (PM) Australia, Rudd, melibatkan kapal dan pesawat tempur Australia dalam pengumpulan bukti-bukti keterlibatan Jepang dalam perburuan paus berdalih ilmu pengetahuan itu mengundang kekhawatiran kubu oposisi. Pemimpin oposisi, Brendan Nelson, yang pernah menjadi menteri pertahanan semasa pemerintahan PM John Howard yang kemudian kalah telak dalam Pemilu Federal 24 November lalu, sangat mengkhawatirkan langkah PM Rudd tersebut. Nelson tidak setuju dengan langkah pemerintah, karena rencana itu hanya akan memperluas ketegangan diplomatik dengan Jepang, negara yang selama 60 tahun menjadi sekutu dan mitra dagang utama Australia. Kubu oposisi melihat rencana pemerintah menggunakan aset militer dalam merespon aksi perburuan ikan-ikan paus oleh kapal-kapal Jepang di Laut Selatan itu sebagai langkah yang "tidak perlu". Argumentasi kubu oposisi itu tercermin dalam beberapa pertanyaan yang disampaikan Brendan Nelson walaupun dalam masalah perburuan ikan paus, pihaknya juga secara tegas menolak aksi penangkapan dan perburuan paus atas alasan apapun. Beberapa pertanyaan Nelson itu adalah seandainya pemerintah jadi menggunakan "aset" Angkatan Bersenjata Australia (ADF), apa yang akan dilakukan para personil ADF jika mereka melihat terjadinya aksi-aksi pelanggaran hukum laut? Selanjutnya, dalam soal efektivitas tujuan, tidakkah cukup hanya mengirim satu atau dua pesawat sipil dengan beberapa orang fotografer daripada pemerintah mengirim kapal dan pesawat tempur, dan tindakan apa yang akan diambil personil militer Australia jika mereka menyaksikan aksi pelanggaran hukum baik oleh para aktivis lingkungan maupun awak kapal paus Jepang. Pemimpin oposisi Brendan Nelson meminta PM Rudd, supaya tetap bertindak bersama-sama masyarakat internasional sebelum mengambil keputusan mengirim "aset perang" untuk mengawasi operasi kapal paus Jepang itu. Pemerintah Jepang sendiri telah secara tegas menolak campur tangan Australia dalam program "scientific whaling"-nya di perairan Laut Selatan itu dengan argumentasi bahwa program tersebut didukung perjanjian internasional. Selain pesawat pengintai dan kapal patroli milik Pemerintah Australia, kelompok-kelompok lingkungan hidup juga dilaporkan telah bersiap diri ke perairan Laut Selatan untuk menghalau kapal-kapal paus Jepang yang beroperasi di musim panas. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007