Tulungagung, Jatim (ANTARA) - Sepasang seniman di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, berhasil mengembangkan produk batik alami dengan teknik "ekoprint", yakni membuat motif batik dengan memanfaatkan dedaunan yang ditempelkan pada kain basah sehingga membentuk corak warna alami dengan tekstur yang unik dan menarik.

"Teknik ekoprint ini baru pertama di Tulungagung, namun sudah ada beberapa di Indonesia. Khususnya di Yogyakarta yang disebut asal munculnya batik berpewarna alam ini," kata Elies Zulva Mastuti ditemui di rumahnya di Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumbergempol, Tulungagung, Minggu.

Berbeda dengan batik tulis maupun cetak, batik ekoprint dibuat lebih simpel.

Caranya adalah dengan memberi warna dasar pada kain polos warna cerah (biasanya warna putih) menggunakan bahan pewarna alami. Misal untuk warna pink kemerahan menggunakan kayu atau akar secang yang ditumbuk dan direbus menggunakan air hingga mendidih.

Kain polos yang telah dipersiapkan lalu dicelupkan hingga warna hasil larutan secang melumuri keseluruhan kain sehingga mengubah warna kain menjadi merah setengah pink.

"Dengan teknik yang sama, jika butuh warna oranye kecoklatan bisa menggunakan kulit kayu mahoni, kemudian coklat lebih gelap menggunakan kulit buah kelapa, ataupun warna coklat keunguan menggunakan kulit manggis. Bisa juga warna merah menggunakan bawang merah dan jika warna hitam menggunakan kulit Tunjung," paparnya.

Untuk memproses batik ekoprint, Elies tidak melakukannya sendirian. Ia dibantu sang suami, Mochammad Ashary yang berlatar seniman lukis.

Kain yang telah dicelupkan air berpewarna alami kemudian diperas dan dibentangkan di atas lantai yang telah diberi alas plastik lalu ditaruh sejumlah daun dengan tatanan tertentu.

Setelah itu kain berpewarna alami yang ditempeli dedaunan itu ditutup lagi menggunakan kain putih setengah basah dan lalu digulung rapi dan dilipat hingga seukuran panjang 40 centimeter.

"Dua lembar kain yang ditelangkupkan dengan sejumlah daun masih menempel di antaranya itu lalu direbus hingga kurang lebih dua jam. Setelah itu kain dibuka dan akan muncul hasil batik pola daun alami yang kemudian lebih dikenal dengan istilah batik ekoprint," katanya.

Kain batik ekoprint yang masih basah lalu dijemur hingga kering, kurang lebih tujuh hari, sebelum akhirnya di lakukan fiksasi menggunakan air tawas atau larutan alami tertentu.

"Fiksasi ini untuk menghasilkan warna asli dan menghilangkan warna semu yang dihasilkan dari batik ekoprint. Dan kalau sudah, selesai," ujarnya

Batik yang dihasilkan jika menggunakan teknik ekoprint diklaim lebih lembut. Warna dan coraknya unik dan bernuansa lokal yang khas.

"Batik ekoprint tidak bisa diproduksi banyak. Polanya hanya satu dan tidak bisa diulang atau ditiru. Kami yang membuat batik ekoprint pun bahkan tak bisa memprediksi pola batik yang dihasilkan dengan teknik ini," kata Elies.

Namun jangan salah, kendati cara membuatnya simpel dan lebih efisien dibanding batik tulis, kekhasan corak batik ekoprint membuat harga kain batik ramah lingkungan ini bernilai jual tinggi.

Menurut Elies, selembar kain batik ekoprint ukuran panjang rata-rata dua meter bisa dijual antara Rp450 ribu hingga Rp1,5 juta.

Nilai jual semakin tinggi disebabkan relativitas harga dan kualitas bahan kain yang digunakan. Kalau konsep dan pola batik biasanya nilai sama.

"Saya baru menggeluti batik ekoprint ini sekitar dua tahun lalu untuk mengisi kesibukan di rumah setelah toko gamis kami tutup karena beberapa alasan. Ternyata hasilnya banyak yang meminati. Kapan waktu kemarin kami juga ikut pameran dan kurasi di Jakarta, dan Alhamdulillah dapat penghargaan. Batik ekoprint kami juga diborong para pengunjung, termasuk penggemar batik dari Australia dan beberapa negara lain yang hadir saat itu," tuturnya.

Baca juga: Perajin batik sarung Tulungagung kewalahan layani permintaan

Pewarta: Destyan H. Sujarwoko
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019