Terdapat bukti yang jelas bahwa perkembangan pesat teknologi informasi seperti pedang bermata ganda, propaganda radikalisme dan ekstrimisme dapat mengalir dengan bebas hanya dalam sekali 'klik'
Jakarta (ANTARA) - Kemajuan teknologi komunikasi telah membuat manusia semakin berkembang dan lebih cepat mendapatkan kabar dan informasi mengenai apapun.

Tanpa dibatasi, manusia dari belahan dunia mana pun dapat mengakses apa saja di dalam dunia maya.

Permainan video, aplikasi obrolan, media sosial, kanal video, hingga konten dewasa, bahkan cara pembuatan bahan peledak mudah didapat oleh seluruh generasi bangsa Indonesia, bahkan dunia.

Dahulu, penggunaan komputer terbatas hanya di dalam ruangan dengan menggunakan perangkat keras yang serba besar, dan tidak mudah untuk dipindahkan.

Namun pada era milenium, perangkat komputer hanya segenggaman tangan dan bahkan bisa "setipis" kacamata yang digunakan di kepala manusia.

Dalam sentuhan ujung jari, manusia "zaman now" bisa terkoneksi dengan rekannya yang berada ratusan ribu kilometer di belahan dunia lain, atau mengakses konten-konten apapun yang mereka inginkan.

Kemajuan teknologi ini jelas memiliki fungsi yang begitu positif. Namun, ada juga sisi negatifnya bagi manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab.
Wakil Presiden Jusuf Kalla disambut oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron saat menghadiri pertemuan Christchurch Call to Action, Paris, Prancis pada Rabu (15/5/2019). (istimewa)


"Terdapat bukti yang jelas bahwa perkembangan pesat teknologi informasi seperti pedang bermata ganda, propaganda radikalisme dan ekstrimisme dapat mengalir dengan bebas hanya dalam sekali 'klik'," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam sambutan yang disampaikan saat Pertemuan Paris: "Christchurch Call to Action" dihelat di Istana Elysee, Paris, Prancis pada Rabu (15/5/2019).

Pertemuan itu dilaksanakan atas kerja sama Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern.

Selain Indonesia, sejumlah negara yang datang pada acara itu dan mendukung Rencana Kerja Christchurch Call yakni Australia, Kanada, Prancis, Jerman, India, Irlandia, Italia, Jepang, Jordania, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Senegal, Spanyol, Swedia dan Inggris.

Pertemuan itu juga melibatkan pemangku kepentingan yang berkecimpung dalam jagat maya seperti Amazon, Daily Motion, Facebook, Google, Microsoft, Qwant, Twitter, dan Youtube.

Pertemuan bertema "Christchurch Call to Action" itu dilandasi pada "kemirisan" masing-masing negara atas kejadian penyerangan oleh terorisme, baik di Christchurch, Selandia Baru yang menewaskan sejumlah jamaah masjid, serta serangan bom di Sri Lanka yang juga menewaskan sejumlah jemaat gereja.

Sejumlah negara dan para pemangku kepentingan dalam internet menyadari bahwa internet tidaklah kebal terhadap paparan propaganda radikalisme dan ekstrimisme.

Penyerangan oleh teroris di masjid di Christchurch bahkan menyalahgunakan fungsi "live video" di media sosial Facebook untuk menyiarkan secara langsung tindakan kriminal yang dilakukan oleh pelaku.

Hal itulah yang mendasari diperlukannya aksi dan penguatan kerja sama diantara pemangku kepentingan termasuk pemerintah, masyarakat serta penyedia jasa internet dan juga perusahaan media sosial untuk memberantas konten-konten terorisme, kekerasan dan ekstrimisme dalam jagat maya.

Para perwakilan negara dan perusahaan media sosial serta penyedia jasa internet harus tetap berpegang kepada prinsip-prinsip internet bebas, aman, dan terbuka tanpa bertentangan dengan HAM serta kebebasan fundamental termasuk kebebasan berekspresi.

Oleh karena itu, pemerintah dalam Kesepakatan Christchurch Call to Action berkomitmen untuk; memberantas ajakan terorisme dan kekerasan ekstrimisme; memastikan penegakan hukum secara efektif; mendorong kanal media untuk menerapkan kode etik; mendukung kerangka kerja standar industri guna memastikan laporan mengenai serangan teroris tidak memperkuat konten-konten terorisme.

Pemerintah juga diharapkan dapat mencegah penggunaan jasa "online" atau daring untuk mendiseminasikan konten ekstrimisme dan terorisme dengan meningkatkan pengetahuan dan kapabilitas masyarakat; membangun standar industri digital; membuat regulasi yang memerhatikan azas keterbukaan dan keamanan internet tanpa mengabaikan HAM dan kebebasan berekspresi.

Wapres JK menjelaskan bahwa upaya preventif untuk "mengcounter" ajaran terorisme dan radikalisme selama ini hanya dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) maupun Detasemen Khusus 88 Antiteror.

"Sekarang kita sepakat semuanya 'declare' bahwa provider-provider ikut serta mengatasi karena mereka bisa menyebarkan masalah dengan cepat. Akibatnya daripada itu orang berpendidikan tepengaruh, seperti kasus Sri Lanka, justru orang pendidikan, orang kaya," jelas Wapres.

Dia menambahkan dengan kemudahan akses internet, masyarakat dapat juga dengan mudah menyaksikan ideologi radikalisme dan ekstrimisme di dunia maya.

Kemudian para penyedia jasa internet pada pertemuan itu berkomitmen mengambil langkah khusus mencegah konten kekerasan ekstrimisme, dan terorisme serta mencegah diseminasi hal itu dalam media sosial dan jasa distribusi konten lainnya.

Perusahaan digital juga diminta lebih transparan dalam memberikan acuan penggunaan kepada masyarakat, dan melakukan upaya cepat serta efektif dalam memitigasi risiko ketika ada konten yang mendiseminasikan kekerasan ekstrimisme dan tindak terorisme melalui siaran langsung.

Penyedia jasa internet diharapkan dapat mengkaji operasi algoritma dan proses lain yang dapat mengarahkan pengguna kepada konten terorisme ataupun kekerasan ekstrimisme.

Kesepakatan itu kemudian dipaparkan lagi kedalam kerangka kerja sama yakni pemerintah dan penyedia layanan daring berkomitmen bekerja dengan masyarakat mempromosikan upaya memberantas segala bentuk kekerasan ekstrimisme.

Upaya intervensi yang efektif dalam berbagi informasi terpercaya mengenai dampak dari penyusunan algoritma pencarian konten terkait terorisme serta mendorong penelitian dan pengembangan solusi teknis guna mencegah penyebaran konten radikalisme mutlak diperlukan.

Sejumlah negara, penyedia servis internet, perusahaan media sosial, dan tokoh masyarakat diharapkan berpartisipasi lebih lanjut dalam aksi kerja sama untuk membahas lebih jauh konten daring yang berbahaya antara lain dengan forum KTT Biarritz G7, pertemuan G20, serta Pertemuan Aqaba Process dan forum-forum internasional lain.

Wapres JK pun meyakini upaya untuk menghadang penyebaran paham-paham ekstrimisme maupun penangkalan diseminasi informasi terkait kegiatan terorisme dapat dicapai dengan kerja bersama.

"Prinsipnya saat pertemuan kita setuju untuk bekerjasama antara pemerintah dan pihak swasta, dalam hal ini pihak platform dan perusahaan media sosial itu," ujar Wapres.

Dia mengatakan pemerintah Indonesia berpartisipasi pada Juni 2019 melalui pertemuan internasional yang akan membahas secara teknis perihal kerja sama itu.

Indonesia sendiri, dalam berupaya mencegah penyebaran konten negatif via internet telah memberlakukan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dengan regulasi tersebut, pemerintah melindungi kepentingan publik dari penyalahgunaan informasi digital dan transaksi elektronik.

Indonesia juga tengah menyusun Rencana Kerja Nasional berfokus kepada pencegahan kekerasan ekstrimisme.

"Namun, hukum saja tidak cukup tanpa dukungan seluruh pemangku kepentingan termasuk para perusahaan penyedia internet dan perusahaan media sosial. Mereka dapat berkontribusi dengan mengeluarkan peraturan penggunaan, pengawasan siber dan menciptakan teknologi seperti kecerdasan buatan untuk mencegah konten-konten berbau terorisme atau ekstrimisme," demikian JK.

Indonesia berharap dengan kesepakatan Christchurch Call to Action dapat memfasilitasi pergerakan dunia dalam membangun ketahanan masyarakat, pembangunan kapasitas dan kerja sama swasta dengan pemerintah untuk mencegah tindakan brutal terorisme, terutama melalui internet.

Mungkin nantinya penelusuran konten mengenai perakitan bahan peledak, penyalahgunaan siaran video langsung yang menampilkan tindakan kekerasan, serta konten-konten yang berpotensi "menyihir" masyarakat untuk melakukan kekerasan akan disesuaikan melalui algoritma khusus dalam "web" atau laman.

Tanggung jawab dan kedewasaan dari masyarakat sendirilah yang sebaiknya menjadi penyaring atas apa yang didapatnya dari dunia maya dengan mengimplementasikan "bebas namun terbatas" karena tetap ada hak-hak orang lain di dalam penggunannya.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019