Jakarta (ANTARA) - Salah satu yang acapkali diperbincangkan oleh sebagian masyarakat Indonesia menjelang Lebaran adalah Tunjangan Hari Raya (THR). THR di Indonesia pada awalnya diberikan kepada pegawai negeri saja, tetapi kemudian juga diberikan kepada karyawan swasta.

Seiring berjalannya waktu istilah THR kemudian tidak hanya monopoli pegawai negeri dan karyawan swasta, tetapi juga melebar ke soal pemberian menjelang Lebaran dari seseorang yang berkecukupan kepada orang-orang yang ada di lingkungan sekitarnya, seperti dalam bentuk uang dan sembako.

Pemberian tersebut tidak akan memicu pertanyaan berarti bila yang memberikan adalah sama-sama muslim.

Lalu, bagaimana jika si pemberi THR itu non-muslim?

Berikut penjelasan Ustadz Mahbub Maafi, Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, mengenai hal tersebut:

Dalam pandangan kami pemberian tersebut adalah sebagai sebuah hadiah karena diberikan tanpa meminta konpensasi. Dari sini kemudian lahir pertanyaan lanjutan, jika pemberian THR non-muslim kepada muslim itu dianggap sebagai hadiah apakah boleh menerimanya?

Menerima hadiah dari non-muslim adalah boleh. Salah satu dalilnya adalah hadits sahih riwayat Imam Bukhari yang dapat kita baca dalam bab qabulu hadiyyah al-musyrikin (tentang menerima hadiah dari orang-orang musyrik/non-muslim) yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari berikut ini:

وَقَالَ سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ إِنَّ أُكَيْدِرَ دُومَةَ أَهْدَى إِلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Said berkata, dari Qatadah dari Anas ra, sesungguhnya Ukaidira Dumah pernah memberikan hadiah kepada Nabi saw”. (HR. Bukhari).

Dalil lain yang bisa dijadikan sebagai landasan kebolehan menerima hadiah dari non-muslim adalah kisah sahabat Salam al-Farisi ra dimana sebelum masuk Islam pernah memberikan hadiah kepada Rasulullah SAW dan beliau menerima pemberian tersebut. Hal ini sebagaimana yang dipahami dari yang dikemukakan Imam Zainuddin al-‘Iraqi dalam kitab Tharh at-Tatsrib fi Syarh at-Taqrib berikut ini:

إِنَّ سَلْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمْ يَكُنْ أَسْلَمَ إذْ ذَاكَ وَإِنَّمَا أَسْلَمَ بَعْدَ اسْتِيعَابِ الْعَلَامَاتِ الثَّلَاثِ الَّتِي كَانَ عَلِمَهَا مِنْ عَلَامَاتِ النُّبُوَّةِ وَهِيَ امْتِنَاعُهُ مِنْ الصَّدَقَةِ ، وَأَكْلُهُ لِلْهَدِيَّةِ وَخَاتَمُ النُّبُوَّةِ وَإِنَّمَا رَأَى خَاتَمَ النُّبُوَّةِ بَعْدَ قَبُولِ هَدِيَّتِهِ

“Sesungguhnya pemberian hadiah oleh Salman al-Farisi ra kepada Rasulullah saw itu terjadi ketika ia belum memeluk Islam. Salman al-Farisi ra memeluk Islam setelah mengetahui tiga tanda kenabian yaitu penolakan Rasulullah SAW terhadap shadaqah (zakat), memakan hadiah pemberiannya, dan melihat khatam an-nubuwwah. Hanya saja Salman al-Farisi ra melihat khatam an-nubuwwah setelah Rasulullah saw menerima hadiahnya”. (Zainuddin al-‘Iraqi, Tharh at-Tatsrib fi Syrah at-Taqrib, Bairut-Mu`assah at-Tarikh al-‘Arabi, tt, juz, 4, h. 40).

Di bulan puasa yang penuh berkah ini mari kita saling berbagi kepada sesama. Salah satunya bisa diwujudkan dengan saling memberikan hadiah. Sebab hal pemberian hadiah itu bisa menjadi sarana untuk menumbuhkan kembangkan benih kasih sayang, menghilangkan permusuhan, dan menguatkan tali persaudaraan.

Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2019