Sebelum ada Tol Laut, masyarakat yang tinggal di daerah tertinggal, terpencil, terdepan dan perbatasan (T3P) mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok dan barang penting.
Jakarta (ANTARA) - Program Tol Laut perlu dikembangkan hingga berperan dalam mempertahankan atau untuk memenuhi stok barang dan menjaga stabilitas harga, tidak sebatas pengoperasian kapal.

Untuk itu, Direktur Angkutan Barang dan Tol Laut PT Pelni (Persero) Harry Boediarto dalam Bedah Buku “Tol Laut Jokowi, Denyut Ekonomi NKRI” di Jakarta, Senin, mengatakan pemerintah, yakni Kementerian Perhubungan dan Kementerian BUMN bersinergi dengan menugaskan BUMN transportasi laut, BUMN penyelenggara pelabuhan dan BUMN penyedia pangan untuk membangun “Rumah Kita” di daerah T3P.

Keberadaan “Rumah Kita” dengan tampilan modern sebagai pusat perdagangan dan distribusi logistik ke wilayah lanjutan di daerah tujuan Tol Laut, telah menjadi pelopor modernisasi perdagangan.

Pengelolaan “Rumah Kita” yang bekerjasama dengan BUMD, BUMDes, koperasi dan para pengusaha daerah juga menjadi acuan harga di daerah T3P.

Karena itu, Harry mengatakan pelaksanaan tol laut harus mendapatkan dukungan semua pihak karena pelaksanaannya di lapangan terus berkembang dari awalnya dua rute sejak diluncurkan pada 4 November 2015 menjadi 19 rute pada 2019.

“Tol Laut juga tidak hanya mengoperasikan kapal kargo untuk angkutan bahan pokok dan barang penting saja, namun Tol Laut juga mengoperasikan enam kapal ternak,” katanya.

Dalam Bedah Buku tersebut, Harry menilai program Tol Laut terus berkembang, sejak kapal ternak perdana yang diluncurkan perdana oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 10 November 2015 di Ujung Kamal, Madura, Jawa Timur ini, telah bertambah menjadi enam kapal ternak yang dioperasikan PELNI, ASDP Indonesia Ferry dan perusahaan pelayaran swasta nasional ini sangat mendukung distribusi ternak antar pulau.

“Sebelum ada kapal ternak, untuk mengirim sapi dari NTT, NTB dan Bali ke Jawa menggunakan kapal kargo yang disekat dengan bambu. Untuk menaikkan hewan, sapi diikat dan diangkat dengan crane, hewan menjadi stres dan bobotnya susut hingga 22 persen”, terang Sujadi.

Setelah ada kapal khusus angkutan ternak, cara memuat sapi ke kapal cukup mudah, yakni truk tinggal menempel ke kapal, sapi tinggal digiring, diarahkan ke kamar-kamar di kapal.

Demikian pula ketika membongkar muatan sapi, cukup digiring menuju truk yang sudah siap di sisi kapal.

“Kapal ternak juga dilengkapi dokter hewan serta kledeng atau pengurus ternak selama pelayaran, sehingga kesehatan hewan sangat terjaga dan dapat mengurangi susut bobot sapi hidup dari 22 persen menjadi lima persen saja. Ini tentu menguntungkan peternak dan juga pedagang,” katanya.

Penulis Buku “Tol Laut Jokowi, Denyut Ekonomi NKRI” Akhmad Sujadi mengatakan sebelum ada Tol Laut, masyarakat yang tinggal di daerah tertinggal, terpencil, terdepan dan perbatasan (T3P) mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok dan barang penting.

Bahkan di daerah Natuna, Tarempa, Kepulauan Riau dan Nunukan, Kalimantan Utara sebagian kebutuhan pokok dipenuhi dari negara tetangga, Malaysia. Demikian pula bagi warga di Moa dan Kisar, Maluku Tenggara Barat, sebagian kebutuhan dipasok dari Timor Leste.

Sujadi mengaku bahwa Tol Laut, memang kurang tenar dibandingkan jalan Tol Trans Jawa dan jalan Tol Trans Sumatera serta jalan Tol Kalimantan yang dibangun pemerintah.

 Padahal, menurut Sujadi Tol Laut punya manfaat yang sangat terasa bagi warga negara Indonesia.

Tol Laut yang merupakan pelayaran langsung, terjadwal dan rutin ini telah berhasil menurunkan disparitas harga sehingga kebutuhan pokok lebih terjangkau dan memberikan efek ekonomi.

“Warga di Tarakan, Kalimantan Utara kini mulai merintis berjualan ayam geprek yang di Jawa menjamur. Harga ayam beku yang lebih murah dari sebelumnya, membuat remaja di Tarakan merintis, membuka usaha ayam krispi dan ayam geprek”, kata Mantan Manajer Humas Pelni itu.

Buku “Tol Laut Jokowi Denyut Ekonomi NKRI” merupakan buku dokumentasi. Penulis hanya merangkum apa yang dilakukan pemerintah di bawah Presiden Jokowi dalam mewujudkan janji kampanye.

Buku setebal 278 halaman ini ditulis dengan bahasa sederhana agar Tol Laut mudah dipahami pembaca.

“Kami menulis buku secara mandiri. Pak Jokowi tidak kami beritahu, tidak pula dimintai izin untuk menulis buku ini. Mungkin beliau juga belum dapat bukunya”, kata Sujadi.
Baca juga: Program Tol Laut akan terus dilanjutkan

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019