Palembang (ANTARA) - Pengamat politik sekaligus Direktur Center for Democracy and Civilization Studies (CDCS), Alip Dian Permata, berharap aparat keamanan hendaknya tetap bertindak persuasif dan tidak represif antisipasi kemungkinan aksi 22 Mei "people power".

"Jika dikaitkan bahwa oposisi akan memobilisasi massa dalam jumlah tertentu rasanya sulit, karena oposisi tidak punya kemampuan yang cukup besar, tidak relevan sekali jika memandang aksi 22 Mei sebagai aksi menggembosi pemerintah yang sah," kata Alip Dian Permata kepada Antara, Senin.

Ia berharap baik peserta 22 Mei dan pemerintah tetap menyuarakan hak masing-masing dengan kepala dingin, logis, bijak dan mengutamakan persatuan.

"Mungkin pemerintah perlu me-recovery pendekatan yang lebih lunak, ini kan hanya panggung politik, coba persuasif saja dengan oposisi," demikian Alip.

Dian menyatakan bahwa "people power" rencana aksi 22 Mei masih konstitusional karena bersifat menyuarakan pendapat dan tidak mengancam stabilitas negara.

"Massa 22 Mei ingin menyuarakan perihal dugaan kecurangan pemilu yang meminta transparansi penyelenggara pemilu, itu masih bagian dari demokrasi menyuarakan pendapat dan negara harus mendengarkan aspirasi ini," kata Alip Dian.

Menurut dia, rencana aksi 22 Mei mau tidak mau memang sudah diinterpretasikan oleh banyak pihak dengan berbagai pemahaman, sehingga masing-masing menanggapi sesuai pemahamannya, dalam hal ini aparat keamanan diamatinya berupaya menggunakan pendekatan represif untuk meresponnya.

Aparat keamanan, kata dia, harus tetap mengedepankan tugas pokok dan fungsinya menghadapi massa dengan melindungi hak asasi peserta aksi, menghargai asas legalitas berkumpul menyuarakan pendapat, menghargai asas praduga tak bersalah serta mengedepankan asas hukum.

"Jangan sampai ketika memandang peserta aksi, aparat keamanan sudah punya mindset bahwa massa akan mendekonstruksi negara yang berujung krisis keamanan dan campur tangan terorisme, rasanya tidak perlu menggiring opini jika massa 22 Mei akan mengganggu stabilitas negara," ujar Alip.

Selain itu, pada dasarnya Indonesia sudah sering menghadapi "people power" yang semuanya relatif berakhir damai, misalnya 212 dan 411, artinya "people power" di Indonesia sejauh ini masih tahap wajar.

"Jika 'people power' dimaksudkan dengan seperti yang terjadi di Mesir, Suriah atau Tunisia yakni berusaha melakukan suksesi kekuasaan dengan memaksa, maka maknanya terlalu besar untuk Indonesia, 'people power' di sini hanya sekadar proses politik, masih ada celah untuk konsensus bersama para elit politik," jelasnya.

Baca juga: OKP Sumbar ajak tokoh rajut kembali persatuan dan kesatuan

Baca juga: Ketua Masjid Baiturahman ajak masyarakat tolak "people power"

Pewarta: Aziz Munajar
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019