Jakarta (ANTARA) - Beberapa warga mengatakan bahwa mereka masih kesulitan menemukan tempat pembuangan khusus untuk limbah elektronik di wilayah DKI Jakarta sehingga memilih barang-barang elektronik yang sudah dipakai teronggok di rumah atau membuangnya ke tempat sampah umum.

"Saya belum pernah dengar ada tempat pembuangan seperti itu, yang saya tahu cuma tempat pembuangan sampah biasa saja," kata Irfan Yogi Susanto (22), seorang pengemudi ojek, di Jakarta, Senin (20/5).

Pekerjaan sebagai pengemudi ojek yang bergabung dengan platform penyedia layanan pemesanan transportasi daring membuat Irfan hampir setiap tahun mengganti telepon seluler.

Untuk keperluan pekerjaan, dia setidaknya sudah 12 kali ganti ponsel. Tahun ini saja dia tiga kali ganti telepon seluler karena gawai miliknya jatuh saat berkendara dan rusak.

"Kalau ponsel yang benar-benar rusak saya buang ke tempat sampah biasa, kalau masih bisa dijual komponennya saya jual " kata Irfan, yang tidak tahu kalau membuang limbah elektronik sembarangan bisa menimbulkan bahaya.

Iyang Hizkia (17), seorang pelajar, juga mengaku kesulitan menemukan tempat pembuangan limbah elektronik Dia memilih menyimpan ponsel lamanya di rumah daripada membuangnya ke tempat pembuangan sampah.

"Saya sedikit mengetahui tentang bahayanya limbah elektronik, kalau dibiarkan terdegradasi alam," kata dia.

Warga DKI lainnya, Khairul (21), juga memilih untuk menyimpan limbah telepon seluler miliknya daripada membuangnya ke tempat sampah. Setidaknya, dia sudah mengoleksi enam ponsel yang sudah tidak dipakai karena rusak.

"Tapi kalau saya alasan lainnya siapa tahu aja bisa berguna di kemudian hari, ada beberapa yang rusak tapi masih bisa dipakai saya berikan kepada famili," ujarnya.

Menurut makalah berjudul Kebijakan Pengelolaan Limbah Elektronik dalam Lingkungan Global dan Lokal tulisan Sri Wahyono di Jurnal Teknologi Lingkungan di laman e-jurnal Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), jumlah limbah elektronik meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan perubahan gaya hidup.

Dalam makalahnya, Sri Wahyono dari Pusat Teknologi Lingkungan BPPT menyebut limbah elektronik sebagai salah satu limbah yang laju timbulannya tercepat di dunia.

Menurut Konvensi Basel Annex VIII, limbah elektronik masuk dalam kategori bahan beracun dan berbahaya (B3). Umumnya limbah elektronik dikategorikan sebagai limbah B3 karena mengandung elemen seperti merkuri, timbal, kadmium, khromium, arsenik, dan polychlorinated biphenyls yang berbahaya bagi kesehatan manusia maupun lingkungan.

Logam berat yang terkandung dalam limbah elektronik bersifat racun, karsinogenik (menyebabkan kanker) dan mutagenik (menyebabkan cacat bawaan) menurut makalah Sri Wahyono. Merkuri (Hg) misalnya, dikenal menyebabkan kerusakan sistem syaraf otak dan cacat bawaan.

Namun, menurut makalah itu, limbah elektronik juga mengandung material bernilai seperti plastik, kaca, logam besi dan baja, logam mulia (emas, perak, platina dan tembaga), serta logam tanah langka seperti skandium, yttrium, serium, dan neomidium yang bisa diolah kembali.

Baca juga: Warga DKI diajak kumpulkan sampah elektronik

Pewarta: Virna P Setyorini/Boyke LW
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019