Jakarta (ANTARA) - Islamic Science Research Network (ISRN) Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) mengajak Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama berdialog mencari solusi tentang penetapan waktu Subuh dan Isya yang lebih tepat.

"Hasil riset di berbagai lokasi oleh ISRN Uhamka hasilnya sudah stabil dan highly reliable, sangat dapat diandalkan untuk mengoreksi jadwal shalat, tinggal apakah akan diterapkan," kata Ketua ISRN Uhamka Prof Dr Tono Saksono usai buka bersama dengan wartawan di Jakarta, Sabtu.

Kesimpulan risetnya adalah, ternyata kehadiran sinar fajar sekitar 80 menit sebelum Matahari terbit (dip -20 derajat) yang telah ditetapkan pemerintah rupanya harus dikoreksi karena sebetulnya sinar fajar baru terdeteksi sekitar 53 menit sebelum Matahari terbit (dip -13,3 derajat), katanya.

Fakta sebaliknya, lanjut dia, untuk awal waktu isya, ketetapan pemerintah bahwa menghilangnya sinar syafaq baru terjadi sekitar 72 menit setelah maghrib (dip -18 derajat) harus dikoreksi juga karena sinar syafaq sebetulnya telah habis sekitar 52 menit setelah maghrib (dip -13,2 derajat).

"Ini berarti, awal subuh kita rupanya sekitar 26 menit terlalu awal, sedangkan awal isya kita sekitar 19 menit terlalu lambat," tegasnya.

Ia menyayangkan adanya nuansa penolakan dari Badan Hisab Rukyat (BHR) Kemenag serta tuduhan bahwa data yang digunakan ISRN adalah data astronomi di Pulau Jawa yang sudah terpolusi berat, baik udara maupun sinar.

Padahal faktanya ISRN menggunakan data dari puluhan lokasi di barat, timur, utara dan selatan Indonesia pada ratusan hari, sementara BHR hanya mengambil data di Labuan Bajo dan bertahan pada dip -19,5 derajat, kata dia.

Menurut Tono, data yang diambil BHR Kemenag merupakan data yang cacat, bias, dan terlalu subjektif, karena perubahan tren kehadiran fajar sukar terdeteksi karena pola systematic trend dengan perubahan stokastik data yang terekam masih sukar dibedakan.

Tono juga mengatakan, bahwa penetapan waktu  Subuh dan Isya di dunia pun masih kacau, tidak didasarkan hasil riset yang seharusnya. Sementara untuk waktu Dzuhur, Ashar dan Maghrib, ia tidak mempermasalahkannya karena tidak dalam perhitungan kritis.

ISRN, ujar dia, sudah diminta menyampaikan pandangannya di Malaysia, karena negara-negara di Asia Tenggara selama ini juga masih menggunakan standar dip minus 20 derajat seperti halnya Indonesia.

"Hasil riset kami di Indonesia sudah final dan kami sedang menjajaki riset di sejumlah negara lain. Lembaga di Inggris juga sudah mengajak kerja sama dalam soal ini," katanya.

Baca juga: Astronom yakinkan waktu shalat tidak perlu dirisaukan

Baca juga: Waktu Isya Indonesia telat 18-19 menit dikoreksi ISRN

 

Pewarta: Dewanti Lestari
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019