Jakarta (ANTARA) - Ada sajadah panjang terbentang/Dari kaki buaian/Sampai ke tepi kuburan hamba/Kuburan hamba bila mati/Ada sajadah panjang terbentang/Hamba tunduk dan sujud/Di atas sajadah yang panjang ini.

Diselingi sekadar interupsi/Mencari rezeki, mencari ilmu/Mengukur jalanan seharian/Begitu terdengar suara azan/Kembali tersungkur hamba/Ada sajadah panjang terbentang/Hamba tunduk dan rukuk/Hamba sujud dan tak lepas kening hamba/Mengingat Dikau/Sepenuhnya.

Syair puisi "Sajadah Panjang" milik Taufik Ismail ini banyak dikenal setelah digubah dalam bentuk lagu oleh kelompok musik religi Bimbo. Penggunaan kata "sajadah" dalam puisi tersebut memang merujuk pada kegiatan utama yang dilakukan di atasnya, yakni ibadah shalat.

Meski bukan sajadah panjang yang digelar melainkan karpet merah yang terhampar di depan gedung Merah Putih KPK, namun suasana ngabuburit cukup terasa dalam acara "Silaturahim dan buka puasa Pimpinan bersama Media" pada Jumat (24/5) petang.

Setidaknya ada tiga orang pimpinan KPK yaitu Agus Rahardjo, Alexander Marwata dan Saut Situmorang duduk bersila di panggung kecil menghadap ke wartawan. Mendampingi mereka ada juga tiga orang penasihat KPK yaitu Budi Santoso, Mohammad Tsani Annafari dan Sarwono Sutikno juga ikut dalam acara.

Momen tersebut bisa jadi menjadi acara "ngabuburit" terakhir bagi Agus, Alexander dan Saut sebagai pimpinan KPK karena per 20 Desember 2019 ketiganya akan melepaskan jabatan sebagai komisioner KPK. Sementara dua komisioner lainnya berhalangan hadir yaitu Basaria Panjaitan mendadak ada acara lain dan Laode M Syarif masih berada di Hong Kong.

Agus Rahardjo (63) menyatakan dengan jelas tidak akan mengajukan diri lagi sebagai pimpinan lagi. Sedangkan Saut Situmorang (60) mengaku ingin memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memimpin lembaga penegak hukum tersebut. Hanya Alexander (52) yang berterus terang masih memikirkan apakah akan melamar kembali sebagai pimpinan 2019-2023 atau tidak. Toh batas waktu pendaftaran pada 4 Juli masih lama.

Menjawab pertanyaan

Dalam acara tersebut, tiga orang pimpinan KPK itu pun menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan oleh wartawan.

Sejumlah wartawan juga mengungkapkan sekelumit kekecewaan kepada ketiganya, misalnya, mengenai janji pada awal pelantikan 2015 lampau bahwa kelima pimpinan akan menyediakan waktu sebulan sekali untuk acara bersama dengan jurnalis yang biasa meliput di KPK.

"Ya kami meminta maaf karena janji untuk bertemu tiap bulan tidak bisa dilaksanakan, tapi bila adik-adik media bertanya via 'whatsapp', Pak Laode selalu menjawa, Pak Saut juga menjawab kalau saya memang tidak selalu," aku Agus Rahardjo, sambil tertawa.

Pertanyaan lainnya adalah terkait bagaimana pimpinan jilid IV dinilai wartawan terlalu fokus ke kasus-kasus operasi tangkap tangan (OTT) di daerah yang menyeret puluhan kepala daerah dalam empat tahun kepemimpinan mereka. KPK mencatat 30 OTT pada 2018 atau yang paling banyak dalam sejarah KPK berdiri sejak 2003.

Namun, Agus mengaku bahwa bukan hanya OTT kepala daerah yang ditangani, melainkan kasus-kasus korupsi "besar" seperti korupsi penghapusan piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dalam penerbitan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hingga korupsi KTP-elektronik pun dibongkar dalam periode kepemimpinan mereka.

Meski demikian, masih ada kasus-kasus yang mandek seperti dugaan korupsi pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus SAS dan Rolls-Royce PLC pada PT Garuda Indonesia, dugaan korupsi pengadaan 3 Quay Container Crane (QCC) Pelindo tahun 2010 hingga sejumlah perkara pencucian uang masih belum terkuak.

"Untuk kasus Pelindo masalahnya masih sama yaitu terkait jumlah kerugian negara, meski 'MLA' (Mutual Legal Assistance) sudah kami ajukan sejak 3 tahun lalu tapi tidak ada respon dari pemerintah China sehingga kami ambil jalan lain yaitu dengan meminta menghitung kerugian negara oleh BPK, mudah-mudahan BPK sudah menurunkan timnya," ungkap Agus.

Agus juga menargetkan untuk perkara dugaan korupsi di tubuh Garuda Indonesia yang menyeret mantan dirut PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar dan "beneficial owner" dari Connaught International Pte.Ltd Soetikno Soedardjo dapat dibawa ke persidangan pada Juli 2019.

"Untuk perkara pencucian uang Setya Novanto memang butuh waktu yang lama. Saya sendiri tidak yakin perkara itu akan selesai pada zaman saya. Namun, tunggakan kasus selalu jadi 'concern' saya. Kami terus menyisir perkara-perkara mana saja yang sudah jelas putusan pengadilannya namun masin 'pending'. Insya Allah tunggakan kasus akan makin sedikit untuk menjadi warisan pimpinan berikutnya," tambah Agus.

Sementara terkait OTT, Agus pun mengakui bahwa operasi tersebut agak "seret" pada 2019, tapi tidak menutup kemungkinan akan mengejar jumlah 30 OTT seperti pada 2018 hingga akhir masa kepemimpinan mereka pada Desember 2019.

Alexander dalam acara tersebut menjelaskan bahwa selama menjabat sebagai pimpinan KPK ia tetap bisa tidur nyenyak setiap hari.

"Selama di KPK saya tetap bisa tidur 7 jam sehari, tidak terganggu dengan kritikan dari WP (Wadah Pegawai) KPK atau lainnya. Memang ada suasana yang membuat kecewa atau marah tapi hal itu biasa saja," kata Alexander yang merupakan matan hakim ad hoc pengadilan tipikor Jakarta itu.

Memang sejak 2018 lalu, WP KPK yang menaungi seluruh pegawai KPK kerap meluncurkan kritikan kepada pimpinan terkait sejumlah kebijakan internal di tubuh KPK, misalnya, soal rotasi-mutasi jabatan hingga pengangkatan penyidik. Tidak ketinggalan soal desakan WP KPK agar pimpinan KPK mengusulkan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pelaku penyerangan penyidik senior KPK Novel Baswedan.

Bukti bahwa desakan itu kuat adalah dengan pernyataan Saut Situmorang bahwa salah satu pengalaman paling berkesan semasa memimpin KPK adalah permintaan Ketua WP KPK Yudi Purnomo untuk menaruh sepeda di teras KPK bagi mereka yang dapat mengungkapkan pelaku penyerangan Novel.

"Pengalaman menarik saya sepanjang di KPK adalah saat Yudi meminta saya untuk menaruh sepeda di (teras) itu. Saat saya di Australia, saya sempat membeli sepeda yang bagus, tapi saya belum taruh di sana, nanti saya akan taruh sepeda itu di sana," ungkap Saut sambil menunjuk teras KPK yang sudah dilengkapi monitor penghitung hari penyerangan Novel dan dua sepeda bagi pengungkap kasus tersebut.

Sedangkan mantan komisioner Ombudsman RI yang saat ini adalah penasihat KPK, Budi Santoso menyebutkan setidaknya 1 atau 2 dari 3 penasihat akan mendaftar untuk menjadi calon pimpinan KPK 2019-2023.

"Tapi bukan saya karena 3 orang penasihat KPK kan selesai bertugas pada 2021, akan lebih indah bila penasihat dapat bertugas 2 tahun pada masa kepemimpinan jilid IV dan 2 tahun lagi pada kepemimpinan jilid V. Memang idealnya salah satu dari 5 orang pimpinan saat ini mendaftar lagi dan lolos untuk 2019-2023 sehingga menjadi 'staggering' agar tidak terputus sama sekali, tapi karena belum pernah ada yang bisa seperti itu maka lebih baik saya yang menjadi penyambung antara program (pimpinan) jilid IV dan jilid V," jelas Budi.

Penasihat KPK lainnya, Tsani Annafari yang adalah bekas Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai Kantor Wilayah DJBC Kalimantan bagian Timur itu pun dengan tegas memperlihatkan niatannya untuk mendaftar capim KPK.

"Tunggu saja 4 Juli, saya daftar atau tidak," ucap Tsani, tertawa.

Sedangkan Sarwono Sutikno yang sebelum mengabdi di KPK adalah Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB hanya menjawab normatif ketika ditanya ketertarikannya untuk menjadi pimpinan KPK.

"KPK sedang membangun sistem analisis 'big data', kebanyakan kita tidak tahu perkembangan 'big data' saat ini sudah meningkat, itu saja," ujar Sarwono kalem.

Hingga akhir acara memang tidak ada kesimpulang siapa saja yang akan mendaftar dan apa yang akan dilakukan oleh pimpinan KPK dalam sisa jabatannya yang tinggal lebih kurang 7 bulan lagi, tapi memang sepertinya bukan itu tujuan "ngabuburit" tersebut dilaksanakan.

Makan-makan dan menjaga silaturahim memang perlu dilakukan setidaknya untuk menjaga semangat, karena sejatinya tugas sebagai pimpinan KPK bukan hanya jalan untuk mencari rezeki dan menambah pengalaman tapi juga ibadah panjang di negeri yang menyebut korupsi sebagai penyakit kronis tapi, tak sedikit yang memandang sinis terhadap sepak terjang lembaga pemberantasan korupsi.
 

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019