Jakarta (ANTARA) - Pakar pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso menilai beras analog masih sulit untuk menggantikan keberadaan beras padi.

“Banyak tantangan yang harus dihadapi, salah satunya penerimaan pasar. Selama harga tidak bersaing dengan beras yang biasa, agak sulit diterima pasar,” ujar Dwi kepada ANTARA lewat sambungan telepon di Jakarta, Selasa (28/5).

Meskipun beras analog terbuat dari umbi-umbian, Dwi mengatakan harga beras analog jauh lebih mahal dibanding beras padi.

Dwi kemudian memberikan contoh singkong yang digunakan untuk menggantikan gandum sebagai bahan baku membuat mi.

Singkong yang seharusnya memiliki harga lebih murah dari gandum, setelah diolah menjadi mi, kemudian masuk ke pasaran harganya menjadi lebih mahal dari mi gandum.

“Sehingga mi yang terbuat dari singkong ini tidak bisa menembus pasar. Hal yang sama terjadi pada beras analog,” kata Dwi.

Selain harga, menurut Dwi, rasa juga menjadi faktor yang menentukan diterimanya beras analog.

Indonesia memiliki beragam varietas beras yang disukai oleh masyarakat daerah tertentu. Misalnya, varietas beras pera lebih diterima oleh masyarakat di daerah Sumatera, sementara masyarakat di daerah Jawa umumnya lebih menyukai beras pulen.

Selain tekstur beras, menurut Dwi, aroma beras juga disukai masyarakat tertentu. Beberapa daerah di Tanah Air lebih menyukai aroma beras yang wangi.

Tidak hanya itu, alasan kesehatan juga dapat membuat orang untuk lebih memilih mengonsumsi beras merah dan beras hitam.

“Banyak hal yang perlu kita cermati terkait beras analog ini. Kemungkinannya amat sangat kecil beras analog bisa menggantikan beras biasa,” ujar Dwi.

Pewarta: Virna P Setyorini/Arindra Meodia
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2019