Jakarta (ANTARA) - Para pengambil kebijakan publik bidang pendidikan agaknya bisa tersentak oleh kritik yang disampaikan oleh pemerhati pendidikan Sidharta Susila, yang mengatakan bahwa hari-hari ini tidak mudah menemukan dinamika pembelajaran yang lugas, menyenangkan dan mengasyikkan.

Membandingkan esensi pendidikan menurut para tokoh pendidikan di masa silam dan praksis pendidikan saat ini, Sidharta yang juga pendidik itu berkesimpulan bahwa pendidikan tak lugas menghasilkan kesemuan: hanya membusukkan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Banyak variabel yang mengakibatkan pendidikan, sedikitnya untuk konteks jenjang pendidikan dasar, menjadi tak lugas, tak simpel dan membosankan buat peserta didik.

Variabel paling utama adalah pendidikan sudah terjerat birokratisasi. Ketika birokrasi sudah menelikung praksis pendidikan, ruang buat guru untuk mengeksplorasi beragam cara mengajar menjadi kian menyempit. Tentu pengambil kebijakan punya argumen kenapa pendidikan harus dikemas dalam format yang seragam lewat tangan brokrasi pendidikan

Mereka berpegangan pada standardisasi kualitas yang ditetapkan oleh sebuah tim yang menyusun kurikulum pendidikan, yang harus dijalankan oleh guru-guru, khususnya yang mengajar di sekolah-sekolah yang dibiayai negara.

Ironisnya, sekolah-sekolah swasta pun tak memiliki keleluasaan untuk menyelenggarakan proses belajar mengajar yang sesuai dengan idea pendidikan yang lugas, memerdekakan dan menyenangkan siswa.

Sekolah-sekolah swasta pun harus patuh pada regulasi pendidikan yang digariskan oleh negara. Apalagi ketika terjadi kasus radikalisasi di ranah pendidikan di sejumlah lembaga pendidikan tertentu.

Seruan kalangan politisi di Komisi Pendidikan di Dewan Perwakilan Rakyat yang meminta pemerintah melakukan evaluasi secara ekstra ketat terhadap sistem pengajaran di sekolah dasar untuk mencegah radikalisasi.

Akibat lebih lanjut dari terjadinya birokratisasi adalah lahirnya kecenderungan pendidik mengejar target mengajar sesuai dengan tahap-tahap pembelajaran yang digariskan oleh kurikulum. Di sinilah belajar menjadi kurang menarik lagi bagi siswa maupun guru karena harus mengejar satuan mata pelajaran, yang sudah disusun secara sistematis untuk diujikan di akhir semester.

Dalam kasus pembelajaran bahasa Indonesia, sebagai contoh, yang dikejar para pendidik bukan terbentuknya pemahaman siswa tentang satu masalah tapi lebih menyasar topik-topik pembelajaran yang fragmentaris. Konkretnya begini, guru tak mengajak siswa untuk menikmati kisah secara utuh, tapi penggalan kisah untuk mengupas topik yang sesuai dengan panduan kurikulum.

Pendidikan yang menyenangkan, mencerahkan dan memerdekakan mestinya yang begini: guru memilih satu kisah secara utuh dan mengajak siswa untuk menyelami dunia yang terbangun oleh cerita itu.

Kerugian akibat menyelenggarakan pendidikan yang tak lugas antara lain bisa dilihat pada fakta bahwa anak-anak setelah lulus sekolah dasar tak punya pengalaman membaca kisah secara utuh sehingga mereka tak punya gairah untuk membaca kisah-kisah secara utuh.

Hilangnya karakteristik pendidikan yang lugas juga diakibatkan oleh pemahaman yang keliru tentang keberartian belajar. Ini terlihat bagaimana sekolah-sekolah swasta, apalagi yang berafiliasi dengan lembaga yang watak keagamaannya dominan, yang memperumit sistem belajar dengan memperbanyak mata pelajaran yang bercabang-cabang untuk materi yang dibayangkan bisa memperkuat penghayatan keagamaan siswa.


Beragamnya mata pelajaran dan fragmentarisme pengetahuan hanya menghasilkan siswa-siswa yang berprestasi semata-mata karena kemampuan menghapal bukan kemampuan kreatif. Ini juga yang menjadi sebab kenapa rata-rata kemampuan berkreasi siswa relatif kurang berkembang.

Kemampuan berkreasi bisa ditempuh misalnya dengan memberikan porsi yang seimbang antara mata pelajaran yang menuntut penghapalan dan penciptaan. Misalnya, porsi waktu pelajaran bahasa diisi dengan tugas-tugas mengarang cerita atau puisi secara intens.

Tentu untuk menyelenggarakan pendidikan yang lugas sekaligus menumbuhkan semangat berkreasi mewajibkan lembaga penyelenggara pendidikan menyediakan guru-guru yang juga kreatif.

Persoalannya: seberapa banyak guru yang juga punya kesanggupan menulis cerita atau puisi. Jumlahnya tentu sangat minim. Masalah ini pernah coba dipecahkan dengan memberi kesempatan para sastrawan masuk sekolah, sebagaimana digagas dan dipraktikkan oleh komunitas sastrawan yang dikelola Taufiq Ismail dalam program Siswa Bertanya, Sastrawan Menjawab.

Namun, disimak dari segi nama programnya, kehadiran sastrawan di sekolah itu belum sampai ke taraf mengajak siswa berkreasi. Mereka baru memberi jawaban atas pertanyaan siswa.

Dengan diterapkannya kurikulum nasional 2013, pengambil kebijakan publik bidang pendidikan sudah mencoba membangun sistem belajar yang kreatif, dengan memberikan porsi lebih banyak kepada siswa untuk aktif, bukan lagi pasif mendengarkan guru berbicara menerangkan pelajaran di depan siswa.

Usaha untuk membuat belajar jadi menyenangkan telah dicoba oleh penulis buku bertajuk Menjadi Indonesia. Buku yang dimaksudkan untuk siswa kelas 5 yang ditulis Rusiati Yo dan Renny Turangga itu memperkenalkan materi ajar lewat lagu-lagu yang dipilih dari beberapa lagu populer seperti Laskar Pelangi gubahan Nidji. Setelah menyanyikan lagu-lagu, siswa diajak mengenali makna diksi yang menjadi bagian lirik lagu.

Selanjutnya, guru mengajak siswa untuk membawakan lagu lain dan menuliskan lirik lagu itu untuk kemudian dijadikan bahan penulisan cerita pendek.

Ketika materi pelajaran yang menyenangkan sudah di tangan siswa dan guru, pertanyaannya adalah: sanggupkah guru menerjemahkan materi itu sebagai praksis pendidikan yang menyenangkan.

Bagaimana jika guru itu tak suka bernyanyi, dan tak sanggup menyanyi dengan baik, apalagi lagu-lagu populer masa kini yang belum tentu dikenalnya?

Hal-hal semacam ini kadang menjadi kendala bagi implementasi pendidikan yang diidealkan oleh kalangan pemerhati pendidikan.

Tampaknya pengambil kebijakan bidang pendidikan dituntut untuk memastikan bukan saja menjamin ketersediaan materi belajar yang lugas dan menyenangkan, tapi juga ketersediaan guru yang mumpuni yang piawai yang dituntut oleh Kurikulum 2013, setidaknya guru yang tak asing lagi dengan lagu-lagu pop dan sanggup menyanyikannya di depan siswa.

Di samping itu juga harus mampu berperan sebagai aktor atau aktris untuk memerankan tokoh-tokoh cerita yang dijadikan bagian materi pelajaran.

Tampaknya, guru yang mumpuni dibutuhkan untuk membangun suasana belajar yang menyenangkan!*



Baca juga: Cendekiawan: Pendidikan sebagai kunci membangun Indonesia bermutu

Baca juga: Menristekdikti: Kurikulum harus sesuai kebutuhan industri




Copyright © ANTARA 2019