Denpasar (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Bali akan menampilkan oratorium kolosal Gerakan Kekuatan Pancasila untuk memperingati Hari Lahirnya Pancasila dan menjadi awal dari sejumlah rangkaian kegiatan Bulan Bung Karno.

"Pada Bulan Juni ada tiga peristiwa historis yang sangat penting bagi Bangsa Indonesia dan semuanya berhubungan dengan Bung Karno. Pada 1 Juni kita akan memperingati Hari Lahir Pancasila, pada 6 Juni memperingati Hari Lahir Bung Karno, dan pada 21 Juni memperingati Hari Wafat Bung Karno," kata Gubernur Bali Wayan Koster, di Denpasar, Kamis.

Koster menambahkan, Bulan Bung Karno yang berlangsung sebulan penuh mulai 1 Juni ini merupakan perayaan Bulan Bung Karno berskala besar pertama di Bali. Selain diisi dengan berbagai lomba yang melibatkan pelajar dan anak muda, juga menampilkan sejumlah pementasan kesenian, termasuk pemanggungan naskah drama yang ditulis oleh Bung Karno.

Khusus untuk peringatan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, Pemprov Bali mengangkat tema Gerakan Kekuatan Pancasila, yang kemudian tema tersebut diterjemahkan ke dalam oratorium kolosal dan teatrikalisasi puisi Aku Melihat Indonesia, yang merupakan sajak karya Bung Karno. Oratorium akan dipentaskan di Panggung Terbuka Ardha Chandra Taman Budaya, Denpasar pada Sabtu (1/6) petang.

Koster mengemukakan, pelaksanaan Bulan Bung Karno pada dasarnya memiliki lima tujuan utama. Pertama, mengarusutamakan Pancasila dalam kehidupan masyarakat Bali dalam berbangsa dan bernegara. Kedua, meningkatkan pemahaman masyarakat Bali tentang sejarah, filosofi dan nilai-nilai Pancasila.

Ketiga, memperkokoh inklusi sosial di tengah kontestasi nilai (ideologi) dan kepentingan yang mengarah kepada menguatnya kecenderungan politisasi identitas.

Keempat, membangkitkan dan memelihara memori kolektif masyarakat Bali tentang ketokohan dan keteladanan Ir Soekarno sebagai penggali Pancasila dan Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia. Kelima, memperkuat institusionalisasi nilai-nilai Pancasila sesuai dengan kearifan lokal masyarakat Bali.

"Perjalanan hidup Bung Karno bisa menjadi teladan bagi anak-anak muda ini untuk berani menginisiasi perubahan sosial yang positif dan progresif. Bung Karno itu berani luar biasa, dalam usia muda sudah berani melawan penjajahan sampai kemudian ditangkap, dipenjara, dan diasingkan. Tapi semua itu tidak pernah menyurutkan niatnya untuk melihat bangsa-nya merdeka," ujar Koster.

Menurut dia, kalau generasi milenial kita bisa meneladani keberanian, kecerdasan dan semangat kebangsaan Bung Karno maka yakinlah bahwa Indonesia akan menjadi bangsa dan negara yang besar.

Peringatan 74 Tahun Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni, selain dimeriahkan dengan oratorium kolosal yang disutradarai oleh dosen ISI Denpasar I Made Sidia, juga ditandai dengan Pameran Foto Bung Karno dan Keberagaman Indonesia.

Pergelaran oratorium ini akan disaksikan masyarakat lintas agama, bendesa adat, kepala desa/lurah, pelajar/mahasiswa, seniman, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah provinsi/kabupaten/kota, dan wakil rakyat.

Kemudia Bulan Bung Karno juga akan diisi dengan ramah-tamah Lintas Agama pada 6 Juni 2019 untuk memperingati 118 tahun Hari Lahir Bung Karno. Ada pula pemutaran film dokumenter, Lomba Cerdas Cermat, dan Pidato Bung Karno pada 21 Juni 2019 untuk mengenang 49 tahun Hari Wafat Bung Karno.

Sebagai penutup rangkaian acara Bulan Bung Karno pada 30 Juni 2019 akan dipentaskan teater kontemporer berdasarkan naskah drama yang ditulis Bung Karno. Presiden RI pertama itu sempat menulis sejumlah naskah drama dan bahkan mendirikan sebuah grup teater selama masa pengasingannya di Ende, NTT pada awal 1930-an.

"Yang akan kami pentaskan adalah naskah karya Bung Karno yang berjudul Koetkoetbi. Di permukaan, Koetkoetbi tampak sebagai cerita dendam-asmara, tapi substansinya adalah tentang betapa hidup akan menjadi indah saat kita berani melupakan dendam," ujar Putu Satria, tokoh teater Bali Utara yang menyutradarai pementasan tersebut.

Koetkoetbi akan dipentaskan dengan menggunakan teknik-teknik pemanggungan drama gong gaya Buleleng. "Drama Gong gaya Buleleng memiliki kedekatan dengan seni drama modern karena akting dan pemanggungannya yang cenderung realis. Drama Gong gaya Buleleng lahir dari interaksi dengan teater zaman kolonial, yaitu stambul dan tonil, sedangkan drama gong Bali Selatan berkembang dari sendratari.

Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019