Magelang (ANTARA News) - Sejumlah mahasiswa Jesuit School at Theology at Berkeley, California, Amerika Serikat, menjalani studi lapangan di lereng Gunung Merapi, Magelang, Jateng, untuk memelajari upaya komunitas seniman petani dalam melestarikan dan mengembangkan seni, tradisi, dan budaya Jawa. "Kami ingin memelajari tradisi Jawa untuk lebih tahu apa nilai-nilai dan arti penting upacara tradisi Jawa," kata pendamping mahasiswa, Tom Mitchel, S.J., di Magelang, Sabtu. Sejumlah peserta studi trip yang juga mahasiswa pascasarjana itu dialog dengan para seniman petani komunitas Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jateng pimpinan Sitras Anjilin. Padepokan itu berdiri sejak 1937 dengan kekuatan utama keseniannya adalah wayang orang, namun komunitas itu juga mengembangkan kesenian kontemporer berbasis seni, tradisi, dan budaya Jawa. Setiap tahun mereka wajib menggelar wayang orang yakni saat bulan Suro (kalender Jawa), HUT kemerdekaan RI, Idulfitri, dan Maulud Nabi Muhammad SAW. Mitchel yang juga Sekretaris Ordo Jesuit untuk Dialog Antaragama yang berkedudukan di Roma itu mengatakan, para mahasiswa menjalani proses pendidikan dengan melihat secara langsung tradisi budaya masyarakat. "Untuk mengetahui apakah tradisi itu positif untuk mendukung pengembangan iman atau bertentangan dengan iman. Mereka melihat tradisi budaya masyarakat yang berbeda-beda," katanya. Peserta studi trip, Jim Redington, S.J., menyatakan pentingnya merasakan secara langsung kehidupan tradisi budaya masyarakat di suatu tempat. "Pengetahuan bisa dari buku dan internet, tetapi kami ingin merasakan langsung kehidupan masyarakat dengan tradisi budayanya. Kunjungan ini pertama kali di Asia untuk melihat keberagaman budaya," katanya. Pada kesempatan itu para peserta menanyakan kepada pengelola padepokan antara lain tentang arti penting gamelan bagi orang Jawa, religiusitas awam, pementasan cerita Ramayana serta Mahabarata, dan minat kalangan pemuda terhadap tradisi dan kesenian Jawa. Sitras menjelaskan, musik gamelan membentuk suasana tertentu dalam pementasan kesenian dan pelaksanaan tradisi budaya Jawa seperti suasana agung, takzim, kerakyatan, sakral, sedih, dan gembira. "Musik gamelan juga menjadi bagian sajian kepada Tuhan, membuat suasana menjadi khidmat," katanya. Para penabuh gamelan di padepokan itu, katanya, tak lagi memainkan alat musik itu berdasarkan notasi melainkan dari perasaan dan gerak refleks tangannya. Pada kesempatan itu peserta studi trip mendapat suguhan tarian kontemporer secara spontan berjudul "Nyanyian Jiwa" dari sejumlah seniman padepokan dengan iringan tabuhan kenong, kendang, dan gender. "Mereka menggerakan tangan, kepala, kaki, dan tubuhnya bukan karena hafalan, tetapi mengikuti emosi atau perasaannya dan memadukan dengan ritme iringan," katanya. Umumnya, katanya, para pemuda lebih tertarik dengan kemajuan teknologi tetapi pemuda di sekitar padepokan itu hingga saat ini masih memiliki minat belajar kesenian dan melestarian tradisi budaya. Minat kalangan pemuda setempat terhadap seni dan tradisi budaya, katanya, menjadi harapan bagi keluarga padepokan yang didirikan almarhum Romo Yososudarmo itu bahwa kebudayaan dan kesenian Jawa bakal tetap lestari. Rahmat pemuda setempat mengakui generasinya cenderung tidak tertarik terhadap seni dan tradisi budaya Jawa. Mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu menyatakan bergabung dengan padepokan itu karena tidak ingin kehilangan kesenian dan kebudayaan Jawa. "Setidaknya bagi diri saya sendiri, tidak ingin kehilangan lagi, memang tidak bisa berharap dari banyak orang sehingga saya berharap pada diri sendiri supaya tradisi tidak lenyap," katanya. Budayawan lereng Merapi, Romo Kirjito Pr., mengatakan seniman padepokan itu tidak menghadirkan cerita kematian tokoh wayang, kecuali tokoh cakil, yang kalah dalam peperangan. Tokoh wayang yang kalah, katanya, digambarkan bertobat dan hidup dalam jalan kebenaran dan kebaikan. Pementasan wajib wayang orang oleh padepokan itu terutama sebagai bentuk syukur atas kesuburan bumi Merapi. "Kecuali tokoh cakil, tokoh lainnya tidak ada yang mati tetapi diceritakan sebagai bertobat, artinya padepokan ini menghadirkan semangat antikekerasan, pementasan di sini untuk berdoa bagi kesuburan pertanian," katanya. Selain melakukan dialog budaya, mereka juga melihat lokasi penambangan pasir Gunung Merapi, mengikuti misa budaya, dan dialog dengan kalangan pondok pesantren "At-Tauhid Al-Islamy, Desa Kapuhan, Kecamatan Sawangan pimpinan K.H. Mohammad Abdul Azis.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008