Jakarta (ANTARA News) - Apa yang dikhawatirkan akhirnya menjadi kenyataan. Pada perdagangan Rabu (2/1) lalu, harga minyak dunia menembus batas psikologis yang tidak dibayangkan sebelumnya yakni 100 dolar AS per barel. Banyak kalangan termasuk Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) menilai tingginya harga minyak tersebut bukanlah menggambarkan kondisi pasar yaitu antara pasokan dan permintaan yang sebenarnya. Meski, mereka meyakini harga minyak yang tinggi akan terus berlanjut di masa-masa mendatang. Keyakinan tersebut lebih dikarenakan minyak bukanlah bahan bakar yang dapat diperbarui, sehingga lama kelamaan akan habis juga. Lalu, bisakah Indonesia mengambil manfaat dengan menarik lebih banyak investasi dengan tingginya harga minyak dunia dan semakin terbatasnya cadangan minyak? Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Pri Agung Rakhmanto mengungkapkan, harga minyak tinggi memang akan menjadi insentif bagi investor mencari lapangan-lapangan migas baru. "Namun masalahnya, Indonesia sudah tidak banyak lagi memiliki cadangan migas. Potensi lapangan-lapangan migas baru hanya ada di daerah-daerah sulit, sehingga memiliki risiko lebih tinggi," katanya. Catatan Departemen ESDM menunjukkan, cadangan minyak Indonesia tahun 2006 hanya tertinggal 4,39 miliar barel atau sudah merosot dibandingkan tahun 1991 yang tercatat enam miliar barel. Misalkan saja, produksi minyak Indonesia sebesar satu juta barel per hari atau 365 juta barel per tahun, maka tingkat cadangan tersebut akan habis hanya dalam waktu 12 tahun saja. Terbukti lagi, lanjutnya, banyak penawaran blok migas yang ditawarkan pemerintah tidak laku karena memang sudah tidak menarik lagi. Dari 26 blok migas yang ditawarkan akhir Desember lalu, sebanyak 12 di antaranya merupakan blok yang tidak laku pada penawaran sebelumnya. Hal senada dikemukakan Manajer Proyek Yayasan Institut Indonesia untuk Ekonomi Energi Booby A Tamaela Wattimena. Menurut dia, pemerintah masih harus bekerja keras menghilangkan hambatan-hambatan investasi yang ada seperti ekonomi biaya tinggi agar investor mau menanamkan dananya di sektor migas. Indonesia juga mesti bersaing di kawasan regional seperti Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Laos untuk menarik investor. Investasi Naik Namun, bagi pemerintah, tingginya harga minyak diyakini akan semakin meningkatkan investasi migas dan juga sektor lainnya seperti pertambangan serta perkebunan. Kenaikan harga minyak juga akan menggeser pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya bertumpu di Pulau Jawa ke luar Jawa. Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mengatakan, pada 2008, pemerintah menargetkan investasi migas mencapai 14,4 miliar dolar AS atau naik 42,6 persen dibandingkan 2007 yang 10,1 miliar dolar AS. Kenaikan yang cukup besar, mengingat nilai investasi tahun 2007, hanya sedikit mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2006. Kalau 2006, investasi migas tercatat mencapai 9,6 miliar dolar AS, maka tahun 2007 hanya naik menjadi 10,1 miliar dolar AS. Keyakinan pemerintah dapat menaikkan investasi migas di tahun 2008 tersebut juga didukung terbitnya aturan yang membebaskan bea masuk dan pajak dalam rangka impor untuk barang eksplorasi dan eksploitasi migas pada akhir Desember lalu. "Dengan diberlakukannya aturan itu, maka investasi migas akan semakin meningkat," kata Purnomo. Namun, ia mengakui, pemerintah masih harus menyelesaikan beberapa persoalan untuk menarik lebih banyak investasi di sektor migas. Di antaranya, lebih dari 90 persen merupakan lapangan migas yang sudah tua, persaingan investasi dengan negara tetangga, perizinan instansi terkait seperti pengadaan lahan dan tumpang tindih lahan, serta gangguan keamanan. Namun, Pri Agung meminta, pemerintah tidak lagi memberikan insentif kepada para investor. Sebab, insentif yang ada sudah cukup dan malah bisa dibilang pemerintah telah mengobral insentif. Apalagi pemberian insentif tersebut tidak berbanding lurus dengan peningkatan produksi dan cadangan. "Jangan obral insentif lagi," ujarnya. Ia mencontohkan, sejak tahun 2000 pemerintah bahkan telah memberikan insentif pengembalian biaya operasi (cost recovery) hingga 120 persen untuk lapangan di daerah marjinal. Pri Agung juga mengingatkan, kinerja sektor energi sangat penting bagi perekonomian Indonesia sebab selain sebagai penyedia energi bagi sektor lain, juga masih menjadi andalan penerimaan negara. Ketergantungan perekonomian khususnya APBN terhadap kinerja sektor energi makin terasa sejak tahun 2004 seiring dengan kecenderungan tingginya harga minyak. Namun, di saat bersamaan kinerja sektor energi justru memprihatinkan dengan adanya penurunan baik cadangan maupun produksi minyaknya. Pri mencontohkan, pada 2007, penerimaan migas hanya mencapai Rp174 triliun atau turun Rp32 triliun dibandingkan 2006 yang Rp207 triliun. Padahal, harga minyak Indonesia naik dari 63,86 dolar AS per barel di tahun 2006 menjadi 72,3 dolar AS per barel. Anggota Komisi VII DPR Ramson Siagian meminta pemerintah meningkatkan produksi minyaknya agar kenaikan harga minyak memberi manfaat. "Tingginya harga minyak harus menjadi peluang pemerintah menarik lebih banyak investasi dan selanjutnya berdampak ke produksi minyak," ujarnya. Memang, disayangkan saat negara-negara produsen minyak seperti Timur Tengah menikmati harga minyak yang tinggi, Indonesia yang juga produsen minyak justru harus ketar-ketir dengan kenaikan harga minyak. (*)

Oleh Oleh Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2008